Tulisan ini, tentu saja tidak sedang fokus hanya mencermati fenomena Kota Kupang dan seluruh dinamika jenaka yang ada di dalamnya, tetapi ini tulisan berminat untuk melakukan perluasan (scaling up) topik sebebas-bebasnya terkait gejala aktual global sambil membenturkannya dengan pengalaman empirik kini dan di sini di Provinsi NTT.
Oleh Pius Rengka
Terminologi volatilitas, biasanya dipakai untuk ukuran perubahan statistik harga saham sekuritas dalam periode tertentu. Konsep ini pun diadopsi para teoritisi ilmu politik untuk menganalisis politik empiri dengan maksud mengukur fluktuasi dukungan politik dan game politik para aktor politik untuk kepentingan politik mereka (bandingkan pengalaman Eropa Tengah dan Timur, post komunisme melalui: Gherghina, S., 2014; Mainwaring, S. and Zoco, E., 2007).
Pada konteks permainan politik (political game), maka politik adalah saham. Atau, saham politik adalah politik. Setiap aksi politik adalah saham demi mendapatkan simpati politik atau malah sebaliknya. Saham politik sesungguhnya ialah tatakelola birokrasi yang bersih, akuntabel dan kesanggupan pemimpin memecahkan masalah rakyat. Kita memilih pemimpin karena kita tahu pemimpin itu diutus untuk memecahkan masalah yang dihadapi rakyatnya (bandingkan: Downs, A., 1957). Memecahkan masalah rakyat adalah politik, tetapi politik pemecahan masalah mungkin saja bermasalah secara politik.
Pemimpin lemah, biasanya, tak sanggup mengatasi masalah. Kehadirannya malah menciptakan masalah. Pemimpin lemah (weak leader), tak boleh terlalu banyak diharapkan memecahkan banyak masalah karena game politik para pemimpin lemah pasti selalu memproduksi masalah karena kelakuan politiknya selain berorientasi looking back demi “aman” re-election, tetapi juga pemimpin lemah tak sanggup memecahkan masalah.
Cara bertindak pemimpin looking back selalu mengulangi tindakan para pemimpin sebelumnya bahkan tidak sanggup bergerak ke mana-mana kecuali mengkonstruksi sesuatu yang tampak gebyar kasat mata demi menghibur mata politisi rabun jauh. Cara berpikir demikian mengalir dalam otak pemimpin yang berhasrat kuat re-election (membangun rakyat sambil bernafsu terpilih kembali).
Salahkah itu? Sama sekali tidak. Tetapi, gerakan politiknya mudah dikalkulasi. Mereka bahkan mudah terjebak dalam pancingan sirkuit kemelut yang diciptakannya sendiri. Sedangkan pemimpin kuat (strong leader and strong leadership) selalu pasti decisive. Tetapi kepemimpinan yang kuat tidak persis sama dengan pemimpin otoriter atau pemimpin tiran, apalagi pemimpin asal terabas hingga anggaran tak jelas arah digunakan untuk apa.
Strong leader adalah pemimpin demokratik. Mereka sanggup membawa rakyat ke jalan bebas masalah. Artinya? Apa yang diharapkan rakyat bertemu dengan apa yang dilakukan pemimpin. Pandangan ini, sama sekali tidak baru. Tetapi agak teoretikal bahkan klasik.
Maka aksi politik para aktor politik (presiden, anggota parpol, anggota legislatif, gubernur, bupati/wali kota, kepala desa) tidak jauh dari perspektif dan imajinasi tentang cara berpolitik agar mereka terpilih kembali (re-election). Pada sisi lainnya, pemimpin decisive tidak terlalu peduli dengan re-election, karena baginya memecahkan masalah adalah panggilan wajib tugas konstitusional, sekaligus promosi tugas kemanusiaan universal. Bagi pemimpin jenis ini, masalah terpilih kembali atau tidak bukanlah urusan prioritas. Keterpilihan kembali hanyalah urusan peripheral belaka.
Sebagai misal. Pilihan program atau kegiatan membereskan masalah sampah di Kota Kupang. Program itu tak hanya fungsional seturut konteks lingkungan sehat dan bersih, tetapi serentak dengan itu pun pemberesan masalah sampah sebagai pantulan dari kapasitas dan imajinasi pemimpin di kota serta perwujudan dari strata peradaban penduduk kota.
Begitu pun pemasangan aneka lampu warna warni di Kota Kupang. Kita pernah menikmati lampu merah berbentuk bunga sepe di Jalan Frans Seda dan Piet A. Tallo. Tetapi, entah kenapa lampu merah sepe itu senyap lenyap entah ke mana tanpa penjelasan rinci.
Tetapi, proses tender, penentuan kontraktor dan pengerjaannya smooth dilakukan pada masa kepemimpinan Jefri Riwu Kore. Jefri Riwu Kore melakukan program pemasangan lampu warna warni dan lampu merah sepe itu tentu tidak hanya agar dia dapat terpilih kembali (re-election), tetapi karena problem lampu jalan di Kota Kupang telah menjadi dambaan masyarakat kota. Jadi Jefri menjawabi keluhan rakyat itu.
Kelanjutannya atau implikasinya atau manfaatnya, dirasakan kini oleh rakyat Kota Kupang di bawah kepemimpinan George Hadjoh. Karena itu, tatkala tampak ada beberapa lampu yang belum pernah maksimal berfungsi, urusannya tidak hanya melibatkan kontinuitas administrasi kepemimpinan dan kepemerintahan, tetapi juga terkait kontinuitas medan tanggung jawab hukum yang mungkin muncul di baliknya setelah itu yang melibatkan banyak pihak, kontraktor dan aparat penegak hukum.
Sebagai warga Kota Kupang, kita patut bersyukur. Kota Kupang, kini kian bersinar, berhijau dan seterusnya. Tulisan ini, tentu saja tidak sedang fokus hanya mencermati fenomena Kota Kupang dan seluruh dinamika jenaka yang ada di dalamnya, tetapi ini tulisan berminat untuk melakukan perluasan (scaling up) topik sebebas-bebasnya terkait gejala aktual global sambil membenturkannya dengan pengalaman empirik kini dan di sini di Provinsi NTT.
Menimbang harga beras
Belum lama berselang, Bank Dunia merilis berita bahwa harga beras Indonesia paling mahal se-ASEAN dalam 10 tahun terakhir (Sbr: grup alumni PMKRI Yogyakarta, 29/12/2022). World Bank dalam laporannya mengatakan, 10 tahun terakhir ini harga beras Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN. Data Juni 2019, menurut Food and Agriculture Organizations (FAO), harga internasional beras ekspor kualitas bawah (varietas white rice 25% broken) dari Thailand Rp 5.395. Harga beras kualitas sama dari Vietnam Rp 5.324/kg. Sedangkan, data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga beras dalam negeri kualitas bawah, termurah yakni di wilayah DKI Jakarta Rp 8.200/kg.
Mengapa Indonesia kalah bersaing dengan Thailand dan Vietnam. Pertama, topografi lahan tidak semua rata seperti Thailand dan Vietnam. Kita negara kepulauan. Otomatis biaya logistik jauh lebih mahal dibandingkan Thailand dan Vietnam.
Kedua, lahan sawah yang dimiliki petani rerata 0,5 hektare. Sebagian besar mereka adalah penyewa tanah para tuan tanah. Dengan lahan terbatas dan sewa, sangat sulit petani efisien. Andaikan alat produksi dengan mesin, tetap saja tidak efisien. Jadi cara kerja konvensional itu lebih karena keterbatasan lahan. Pengalaman sangat lama pernah dialami NTT pasca-kepemimpinan Ben Mboi.
Sebaran lahan pertanian sawah kita sporadik di Flores, Timor, Rote, Sumba Timur. Tetapi hasil panen tidak maksimal mencukupi kebutuhan domestik rakyat NTT. Kebutuhan beras di NTT dipasok dari Sulawesi dan Jawa melalui para pedagang kaki tangan mereka dengan harga yang cenderung naik saban waktu.
Tetapi, belakangan, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi, memasifikasi dan ekstensifikasi pembukaan lahan sawah baru khususnya di Sumba Tengah menyusul perluasan program Tanam Jagung Panen Sapi yang didukung Presiden Jokowi. Sumba Tengah dijadikan padang food estate. Luas sawah bukaan baru 10.000 hektare. Hasil tiap ha, gabah kering 7-10 ton/sekali musim panen.
Sesungguhnya masalah keterbatasan lahan ini sudah pernah dicermati kader PDIP. Kader PDIP paling nyinyir pada janji SBY akan melakukan reforma 9 juta hektare lahan pertanian. Tetapi, di saat PDIP sukses menempatkan Jokowi sebagai presiden, program reforma agraria itu menjadi agenda utama PDIP. Setelah 7 tahun Jokowi berkuasa apa hasil dari reforma agraria itu? Masih jauh dari harapan. Kendalanya karena lemahnya ketentuan yang diatur dalam Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Andaikan reforma agraria itu sukses, toh masih ada kendala serius untuk memakmurkan petani. Yaitu keterbatasan lahan dan teknologi serta pasar. Pemerintah NTT di bawah kepemimpinan Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi menyadari fakta nasional ini sebagai pengalaman riil NTT juga. Realitas empirik itu adalah tantangan pembangunan pertanian di NTT. Maka, sejak 2019 Pemda NTT memperkenalkan pembangunan inklusi.
Pilar-pilar utama pembangunan seperti pemerintah, swasta, petani, dan lembaga-lembaga masyarakat sipil berkolaborasi dan bersinergi menciptakan lingkungan kerja sama harmonis. Pemerintah berfungsi sebagai dinamisator. Mereka menyiapkan alat pertanian, bibit dan pupuk. Petani menyiapkan lahan demi produksi jagung dan tanaman hortikultura. Sedangkan Bank NTT membantu akses pasar dengan mencari offtaker. Masalah utama petani NTT ialah modal usaha dan pemasaran.
Berguru pada pengalaman ketika 70 tahun silam China melakukan reformasi agraria radikal. Tetapi reformasi radikal ini tidak serta merta mengubah kemiskinan China menjadi kemakmuran. Karena jumlah komunitas miskin yang besar dan terbelakang dalam segala hal persis sebagaimana pengalaman Nusa Tenggara Timur post Ben Mboi.
Jika demikian, solusi masalah tidak bisa hanya diserahkan begitu saja kepada petani atau diatur dalam tata niaga lewat koperasi. Bagaimana China keluar dari benang kusut sektor pertanian? Berikut inilah yang mereka lakukan tahun 2008.
Lahan pertanian yang ada pada satu desa, ditentukan apa yang bernilai ekonomi untuk ditanam. Kemudian, lahan perorangan disatukan sebagai food estate. Hak akan tanah berubah dalam bentuk penyertaan saham.
Dengan lahan yang luas, dalam satu manajemen, tentu tidak sulit bagi petani mendapatkan sumber pembiayaan untuk mekanisasi pertanian dan biaya produksi, dan SDM. Kemudian, pemerintah memberikan insentif membangun pusat stockist dan logistik. Sehingga stok tersedia, logistik terjamin akan mendorong lahirnya ekosistem bisnis, seperti industri pengolahan (agroindstustri).
China kini telah berhasil memproduksi seperempat biji-bijian dunia dan memberi makan seperlima populasi dunia. Padahal lahan subur mereka hanya 10 persen dari lahan subur dunia. Saat ini, China menempati urutan pertama di dunia dalam hal produksi sereal, kapas, buah, sayuran, daging, unggas, telur, dan produk perikanan. Jumlah petani China yang hidup di bawah garis kemiskinan juga turun drastis, dari 770 juta menjadi 5,5 juta selama 40 tahun terakhir.
Sederhana saja caranya. Itu kalau dikerjakan. Menjadi rumit kalau dibahas, apalagi diseminarkan. Karena terbukti sekian puluh tahun kita sibuk membahas nasib petani, tetapi tidak juga berubah. Ada ribuan sarjana pertanian yang diproduksi perguruan tinggi. Petani kita tetap saja menjadi komunitas buram. Mereka kalah dalam segala hal dan bahkan kalah berkali-kali. Yang berubah nasipnya adalah oligarki bisnis dan politisi.
Pengalaman serupa sebetulnya dialami petani Sumba Barat Daya, seperti Agustinus Wakurkaka. Awal mula perkenalan program Pemda NTT Tanam Jagung Panen Sapi (2019), Agustinus sinis. Dia mengatakan, kebohongan jenis apa lagi yang dilakukan Pemerintah NTT, karena sebelumnya dia mengalami wacana serupa dengan tagline “NTT Provinsi Jagung”.
Tetapi, Agustinus Wakurkaka berubah sikap ketika dia mengalami hal sangat serius yaitu ketika pemerintah di seluruh lapisan Sumba Barat Daya menjadikan program TJPS ini sebagai gerakan sosial. Maka dirinya pun terlibat serius dan total. Kemudian hari Agustinus akhirnya dengan bangga mengatakan: “Tanam jagung bukan panen sapi, tetapi tanam jagung panen Fortuner nol kilometer”.
Baca juga:
- Agustinus Wakurkaka: Panen Jagung Beli Fortuner Nol Kilometer
- Viktor Itu Gubernur Viral, Fenomenal, Kontroversial Tetapi Desisif
Terpuruk seperti Venezuela
Indonesia ini tidak mungkin kalah dibandingkan negara lain. Tidak mungkin jatuh terpuruk seperti Venezuela. Mengapa?
Pertama, kita negara dengan sumber daya sangat besar. Sejak merdeka, SDA kita baru 20% yang diolah dengan rasio ekonomi terhadap PDB di bawah 50%. Selebihnya potensi ekonomi kita dibiarkan nganggur. Karena sebagian besar juga otak kita nganggur. SDM kita mayoritas kaum muda. Total belanja domestik kita di atas Rp 10.000 triliun per tahun. Itu mengalahkan gabungan semua negara ASEAN. Tetapi mengapa kita masih terseok-seok?
Kita membangun selalu melihat ke luar. Tidak bergerak sesuai chemistry kita sendiri. Kita ikutan arus bisnis IT. Tapi bukan dimanfaatkan untuk adanya transformasi ekonomi malah sibuk kembangkan bisnis di hilir, unicorn. Sementara yang di hulu seperti insfrastruktur jaringan tergantung kepada asing. Tidak sedikit uang dibuang untuk unicorn.
Kalaulah dana itu disalurkan kepada kekuatan ekonomi berbasis agro, itu sama saja dengan membuat puluhan industri vegacab atau bahan baku kapsul dari rumput laut yang harganya per kg USD 500. Tidak dihitung berapa juta nelayan dan UKM bisa makmur. Tantangan ini justru dilihat oleh Pemerintah NTT sebagai “kekalahan bahkan patahan” sejarah. Saya teringat apa kata Prof. Daniel Kameo, Ph.D. Kata Kameo, siapa yang menguasai hulu, dialah pemenangnya. Dialah pengatur ekonomi sesungguhnya.
Maka meski dibantai aneka cibiran bahkan dihajar bencana alam beruntun, toh potensi laut NTT harus terus menjadi icon politik pembangunan di NTT, selain urusan pariwisata dan perkuat infrastruktur. Rumput laut digalakkan, dan 9 dari 10 jenis ikan terandalkan di pasaran dunia dikelola sendiri, dan pariwisata bahari digalakkan di tengah terseok-seoknya anggaran terbatas. Tetapi, UMKM masif digalakkan melalui puluhan Desa Binaan Bank NTT di seluruh NTT. Desa Binaan Bank NTT terus didorong dengan aneka cara untuk berinovasi dan berkreasi sesuai potensi terberi di desa masing-masing.
Kita punya kekuatan bisnis informal rumah tangga yang sangat besar. Ini jaring pengaman sosial terbesar. Mengapa negara tidak sediakan ekosistem bisnis dengan dukungan sistem stokis dan supply chain untuk retail market berskala nasional. Sehingga bisa mudah diakses pedagang rumahan. Tidak perlu ada hegemoni bisnis retail modern yang dikuasai korporat. Tetapi dengan lemahnya negara dalam mengawal keadilan tataniaga, tak terbilang bisnis rumahan yang tutup karena kehadiran 3 retail modern di seluruh Indonesia.
NTT tidak demikian. Meski diketahui NTT dililit aneka problem sosial politik dan terutama anggaran serba terbatas dan bahkan minus sebagaimana pengalaman Kota Kupang, ikhtiar untuk terus bergerak tak pernah pupus dan putus.
Dalam skala nasional, kita punya SDA berupa mineral. Dari nikel, batubara, bauksit dan lain-lain. Mengapa negara tidak sediakan pusat logistik dan smelter dalam satu Kawasan Ekonomi Khusus, sehingga negara bisa kontrol sumber daya dan lingkungan. Kalau ekspor semua berasal dari kawasan khusus, tentu mudah mengontrol pemasukan devisa. Tidak perlu mengemis seperti sekarang “tolong dong masukin devisanya ke dalam negeri. Kasihan tuh rupiah keok.” Negara tidak boleh kalah sama swasta. Tetapi swasta diajak bekerja sama untuk mengurai problem multidimensional.
Tercatat begitu luasnya lahan sawit. Anehnya kita tidak punya pusat downstream seperti Malaysia. Akibatnya harga komoditas CPO tergantung market Malaysia dan sebagian besar perusahaan CPO terdaftar di Singapura. Jutaan hektare lahan kita di leverage mereka di Singapura dan uangnya dipakai untuk kendalikan sumber daya kita. Negara Indonesia besar. Besar dalam segala hal. Tentu tidak sulit mengelolanya.
Misalnya penduduk kita lebih besar dari Singapura, SDA kita juga lebih besar. Benar, negara kita luas, tetapi besar juga SDMnya. Apa artinya? Kita ditakdirkan menjadi bangsa besar. Tetapi karena cara berpikir kecil, kita jadi kecil. Hanya sibuk membahas seputar like and dislike terhadap tokoh politik atau figur calon presiden yang belum tentu lebih bermutu dari siapa pun yang kita duga.
Otak mungkin pintar, tetapi pintar nyinyir tanpa menemukan solusi inovatif. Cerdas, tetapi cerdas sebagai predator kepada bangsa sendiri dan daerah sendiri bahkan tak sanggup mengurus rumah sendiri. Di luar pun sekadar menjadi ayam sayur.
Problem reformasi birokrasi digital
Reformasi birokrasi tidak boleh diberikan kepada pendengki laten. Kita mendukung rencana reformasi birokrasi berbasis digital. Buku Digital Government Principles and Best Practices melukiskan bagaimana teknologi antara lain sanggup menjinakkan pendengki sakit jiwa di birokrasi di tanah air. Karena teknologi tidak punya romantisme emosional. Tak ada problem psikologis akut di teknologi.
Munculnya internet sebagai kekuatan teknologi dan sosial utama pada 1990-an memiliki dampak transformatif pada hubungan pemerintah dan warga negara. Mengakhiri pemerintahan yang monolitik dan tidak efisien, apalagi kurang sensitif humanisme dan tidak produktif secara politik dan ekonomi, maka perlu didefinisikan kembali hubungan antara sektor publik dan pemerintah yang menggunakan teknologi digital ini. Itulah yang disebut reformasi. Apakah kita serius melakukan reformasi birokrasi menuju digitalisasi?
Maka kita perlu tahu apa saja yang diperlukan untuk digitalisasi itu. Digitalisai itu bukan hanya bicara konten aplikasi, tetapi juga infrastruktur telekomunikasi. Tanpa backbone internet, digitalisasi itu omong kosong dan hanya bentuk lain dari penjajahan model baru.
Backbone internet itu terbagi tiga tier (tingkat). Tier 1 adalah jaringan utama yang menghubungkan internet ke seluruh dunia. Siapa yang menguasai? AT & T, CenturyLink, Cogent Communications, Deutsche Telekom, Global Telecom and Technology (GTT), NTT Communications, Sprint, Tata Communications, Telecom Italia Sparkle, Telia Carrier, dan Verizon.
Jika teliti, semua itu asing belaka. Bagaimana Indonesia? Tier 2 adalah local backbone. Ini penyedia jaringan nasional (fiberoptic) dengan route ke Tier 2. Tier 3, agen yang memberikan akses kepada Tier 2 terhubung dengan Tier 1. Indonesia hanya ada pada Tier 2. Rute ke Tier 1 tidak langsung, tetapi melalui Tier 3.
Kalau bicara nation interest harus juga bicara tentang infrastruktur internet. Tanpa itu, Indonesia tidak punya kedaulatan digital. Pemerintah sebaiknya jangan terapkan digital kepada semua instansi, server bisa dijebol asing atau mendadak diputus. Bisa stuck sistem pemerintahan. Tetapi juga harus menempatkan aktor profesional secara ilmu pengetahuan dan juga secara moral untuk menjaga agar tetap bersikap transparan dan akuntabel.
Apakah Indonesia mampu? 90% traffic internet sekarang tergantung kepada SeaMeWe-3. Apa itu SeaMeWe-3? Kabel optik bawah laut yang menghubungkan internet kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Eropa Barat. Proyek ini dibangun konsorsium France Telecom dan China Telecom, serta diadministrasikan oleh Singtel. Walau Indonesia melalui Telin anak perusahaan PT. Telkom ikut dalam konsorsium Asia-America Gateway namun pemanfaatnya sangat terbatas dan sampai kini belum beroperasi karena kendala teknis.
Keterlibatan konsorsium hanya sebatas user off taker dan izin melintasi kabel bawah laut Indonesia. Visi Indonesia di bidang digital hanya visi rendah. Hanya ojol, pinjol, unicorn, game online termasuk judi online dan jualan quota internet. Bukan berorientasi kepada kedaulatan digital yang melindungi kepentingan nasional. Apa jadinya jika reformasi birokrasi berbasis digital yang infrastruktur dikuasai Asing? Itu sama saja kita tempatkan leher di Guillotine untuk dipancung asing. Apa solusinya?
Pemerintah jadikan PT. Telkom (BUMN) sebagai private company atau perusahaan tertutup, dengan cara buy back saham di bursa lokal maupun New York. Kemudian beri penugasan kepada PT. Telkom sebagai provider infrastruktur IT dengan skema SWAP saham kepada pihak asing yang gelar Fiberoptik (FO) di wilayah Indonesia. Dengan demikian negara punya akses mengendalikan provider dan kita berdaulat terhadap sistem digital.
Bagaimana NTT 2023
NTT 2023, berjalan dalam kondisi anggaran pembangunan terseok-seok. Tetapi ikhtiar pembebasan NTT tidak pernah surut. Meski tampak ada sejenis penyakit lemah letih di sejumlah dinas dan badan, tetapi birokrasi pemerintah toh harus terus melangkah maju.
Sementara itu, pemerintah sediri bergerak di tengah kegelisahan para aktor partai politik yang berusaha merebut pengaruh pada Pemilu 2024 awal. Artinya, 2023, adalah waktu banyak kalangan ingin berlari kencang meski di dalam balutan karung rantai politik dan sirkuit kemelut volatilitas politik.
Partai-partai politik baru, berusaha menawarkan anggur kebaruan meski semua orang tahu persis bahwa mesin produksi anggur yang ditawarkan itu justru dikelola para pemain lama dengan tabiat lama juga. Akibatnya, narasi yang ditemukan dan mereka ciptakan semacam sejenis jenaka baru dalam arena volatilitas politik.
Di samping itu, kita dapat menyaksikan imajinasi para incumbent di hampir semua level. Para aktor politik di legislatif, bukan hanya sangat berselera menggemukkan anggaran pokir dan reses demi akses ke masyarakat pemilih di daerah pemilihan masing-masing, tetapi juga awan risau membalut tingkah laku kunjungan terstruktur mereka ke bawah belum sanggup dihapus tuntas.
Ada juga di antaranya sibuk menggelar cercaan pada partai saingan dengan maksud mendapatkan acuan khalayak untuk partai asal pencerca. Tetapi yang saya tahu, hasil riset para ahli ilmu politik hingga hari ini belum bergeser banyak. Bahwa pemilih selalu mengikuti orang bukan mengikuti partai. Karena jika mengikuti partai, maka partai politik di Indonesia tidak ada yang bebas dari dekil masa silam.
Begitulah.