Soe, detak-pasifik.com – Yayasan Tafena Munif Kuan, bekerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, tengah mengembangkan kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 314 hektare di Desa Noinbila, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Lahan ini telah memperoleh izin dari pemerintah, namun membutuhkan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan guna memastikan pengelolaannya berjalan optimal.
Dalam upaya memanfaatkan potensi lahan yang luas ini, UKSW Salatiga turut dilibatkan untuk memberikan kajian ilmiah serta mendukung perencanaan pembangunan berbasis konservasi dan ekonomi berkelanjutan.
Rencana Pengembangan Pariwisata
Pengelolaan kawasan ini mencakup pengembangan beberapa destinasi wisata berbasis ekowisata dan budaya, di antaranya: Embung Nifu Koko, sebagai sumber daya air sekaligus daya tarik wisata alam.
Pengembangan Hutan Mahoni, yang diintegrasikan dengan program konservasi dan edukasi lingkungan dan Revitalisasi Tugu Adat, sebagai pusat budaya dan sejarah masyarakat setempat.
Selain itu, sejumlah bangunan pendukung akan dibangun untuk meningkatkan daya tarik kawasan, seperti, Tugu Adat sebagai ikon budaya lokal, Café Mahoni, tempat wisata kuliner yang menawarkan suasana alami hutan mahoni dan Nifu Koko Park, area rekreasi yang dirancang untuk wisata keluarga.
Dalam sebuah kegiatan sosialisasi yang digelar di Hotel Timor Megah, Soe, Rabu (12/2/2025), Ketua Yayasan Tafena Munif Kuan, Sembeno, menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang hadir dalam kegiatan ini. Ia menegaskan bahwa pengelolaan lahan produksi ini tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, serta berbagai lembaga terkait.
“Kami berharap kerja sama ini menjadi puncak kolaborasi dan sinergi dalam satu hati dan tujuan untuk mengoptimalkan lahan ini sesuai peruntukannya,” ujarnya.
Rektor UKSW, Prof. Dr. Intiyas Utami, S.E., M.Si., Ak., menyampaikan ketertarikannya terhadap NTT didasari oleh kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sesuai dengan visi UKSW, perguruan tinggi ini berkomitmen untuk membantu masyarakat dan daerah yang membutuhkan dukungan ilmiah dalam pengelolaan sumber daya.
“UKSW tidak hanya menerima tawaran kerja sama, tetapi juga menyiapkan kajian ilmiah yang komprehensif agar pengelolaan hutan produksi ini tetap berkelanjutan dan tidak beralih fungsi,” jelasnya.
Prof. Intiyas menekankan bahwa mahasiswa di UKSW juga cukup banyak yang berasal dari NTT, Khususnya TTS, jadi sudah terjalin kedekatan yang kuat.
“Kegiatan hari ini menjadi aksi nyata awal menuju pengembangan yang lebih terarah, dengan kerja sama antara universitas, pemerintah, yayasan, dan masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, Pejabat Bupati TTS, Drs. Seperius Edison Sipa, menyampaikan apresiasi atas kehadiran berbagai pihak dalam kegiatan ini. Ia menilai kehadiran akademisi dan praktisi merupakan kebanggaan bagi TTS dan dapat menjadi dorongan dalam pembangunan daerah.
“Potensi utama TTS ada di sektor pertanian, peternakan, dan pariwisata. Namun, tantangan terbesar kami adalah bagaimana mengelola hasil dari sektor-sektor tersebut agar memiliki nilai tambah,” ujarnya.
Ia berharap agar kajian yang dilakukan UKSW dapat memberikan solusi konkret dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk identifikasi tanaman yang cocok untuk dikembangkan di wilayah ini, seperti alpukat, jeruk, dan apel.
Pemerintah daerah juga menekankan pentingnya pengembangan komoditas hortikultura sebagai salah satu strategi meningkatkan kesejahteraan masyarakat TTS.
“Kegiatan ini menjadi momentum untuk bangkit dan bergerak maju, terutama di tengah tantangan sektor pertanian yang kerap mengalami gagal panen akibat kesalahan dalam proses tanam,” tandasnya.**(Arsen Setiawan)