Merenung dari skenario kekerasan menuju skenario kasih dan pengampunan dalam Tuhan.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Dari yang tertua hingga yang termuda, begitulah kisah injil, semuanya akhirnya tinggalkan perempuan itu. Padahal, batu-batu kematian itu telah tergenggam. Siap dilontarkan segera untuk berujung maut. Itulah hukuman yang pantas bagi perempuan tak senonoh.
Seharusnya darah bakal segera terciprat. Dan kematian pun jadi tak terelakan. Namun, di hari dan momentum itu, tak ada setetes darah pun untuk akhiri satu kehidupan. “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh 8:7). Kasih sungguh kuat untuk melampaui hukum manusiawi.
Tetapi, bandingkan dengan kisah tak sedap dua tua-tua Israel, yang akhirnya dirajam hingga mati tragis. Gelora dan hasrat tak terkendali, yang masih ditikungi lagi dengan kesaksian palsu serta paras ayu Susana membuat keduanya terhanyut dan terbuai. Daniel, nabi itu, mesti segera jadi penengah dan hakim.
Di ujung kisah Susana, ada darah kematian yang mesti terjadi. Iya, kedua tua-tua dapati hukuman mati. Dan dilukiskan pula, “Maka berseru-serulah seluruh himpunan itu dengan suara nyaring. Mereka memuji Allah yang menyelamatkan siapa saja…” (bdk Daniel 13:41c-62). Sebuah kematian demi hukum terjadi. Dan lalu disambut gempita. Penuh sukacita.
Drama balas dendam telah jadi energi suram. Energi seperti itu tetap dikekalkan dalam kisah-kisah hidup manusia. Hasrat suram itu disuburkan pula melalui pelbagai tayangan. Mata kita akrab dan hati kita bersorak bila terjadi aksi balas dendam terjadi.
Kita idolakan perbagai tokoh yang tampil heroik untuk sebuah alur cerita balas dendam. “Tuhan kita adalah Rambo yang bersenjatakan kekerasan. Yang balas menghancurkan semua musuh.”
Iklanisasi balas dendam harus ditiup sebagai satu ‘kebenaran dan kepastian hidup.’ “Anda orang-kami juga orang; kalian jual-kami beli; kalian keras-kami akan lebih keras lagi.” Pelestarian aura dan hasrat balas dendam diyakini bisa datangkan rasa puas dan suka cita.
Mari menelisik sedalamnya ke sudut hati terjauh. Menyusuri jiwa kita yang paling dalam. Memaknai ‘tiara iman-harapan-kasih’ dalam Yesus, Tuhan. Satu alarm iman dan moralitas baru sudah diproklamasikan. Kita tak hidup dalam ‘alam yang silam, yang dulu, yang sudah-sudah.’
Kini, semuanya mesti diikhlaskan dalam heroisme iman yang baru. Dan itu dalam kepasrahan di dalam Tuhan sendiri. “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. TETAPI Aku berkata kepadamu: Jangan kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu….” (Mat 5:38).
Sungguhkah Tuhan mendengar doa dan harapan kita bahwa pada waktunya ‘Utang nyawa harus dibayar nyawa?’ Ataukah sebenarnya iblis lagi tertawa bersorak akan satu rasa nikmat atas sukacita palsu karena gelora balas dendam?
Tuhan yang tersalib terlalu mulia dalam seruan lembutNya. Namun sesungguhnya seruan itu berdaya pembebasan, “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Apakah, Stefanus, martir perdana itu tak mewariskan ajaran agung yang terilham dari Suara Salib? “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka” (Kis 7:60).
Kita tentu, sebagai manusia, terbantai rasa penuh kepedihan oleh rasa kehilangan dan prasangka akan ketidakdilan. Hati kita terbakar kegetiran oleh rasa benci dan amarah. Kita sungguh goyah untuk tetap bertahan teduh alam iman di bawah kaki salib. Untuk harus berkanjang dalam iman akan kematian yang sungguh tragis.
Kita memang harus belajar untuk berani keluar dari segala skenario insani. Untuk masuk dalam skenario Tuhan. Tidakkah seruan “Kasih dan damai sejahtera Tuhan senantiasa menyertai?” Kita terlalu keliru bahwa kita sungguh sepi sendiri. Dan karena itulah kita bertarung atasi segalanya dengan segala kekuatan kesendirian manusiawi kita.
“Tuhan beserta kita” adalah Tuhan yang atasi segala kerentanan dan kerapuhan kita. Yang membesarkan jiwa dan hati kita yang sering kerdil dan tak berdaya. Demi hadapi dan melampaui segala kisah pahit yang tak terbayangkan dan tak sanggup kita hadapi sendirian.
Yesus, Tuhan yang diimani itu, “bukanlah Allah balas dendam serta penuh kekerasan.” Tidakkah sejak di taman Zaitun, di taman doa dan perdamaian itu, sudah dimaklumkan: Pedang harus disarungkan?” (Yoh 18:11). Sebab pedang dan kekerasan adalah jembatan anti perdamaian dan pengampunan.
Di hari-hari ini, batu-batu penghakiman sudah ada di tangan kita! Perjuangan akan keadilan seturut rasa manusiawi kita akan segera terpuaskan. Namun, dalam Tuhan, itukah yang disoraki?
Tetapi, haruskah kisah balas dendam yang mesti diwariskan? Mestikah narasi ‘mata ganti mata dan gigi ganti nantinya terestafet dari generasi ke genarasi? Maka, mari putuskan mata rantai skenario manusiawi menuju skenario Tuhan maha pengasih dan penyayang. Panjang sabar dan tetap penuh kasih setia.
Dan Allah seperti itulah yang kita imani dalam Yesus, Tuhan dan Guru agung semua kita.
Dan yakinlah! Kita tak sedang berhalusinasi, atau pun sekian spiritualistik yang sia-sia. Sebab itulah kebenaran Kasih di dalam Tuhan sendiri. Yang membebaskan kita, yang mengampuni serta sungguh menyelamatkan kita.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma