Solo, detakpasifik.com – Zainudin, 35 tahun, sopir grab Kota Solo, Rabu petang, 18 Desember 2024, mengakui mutu toleransi manusia NTT. Pengakuannya itu berdasarkan pengalaman konkret dua tahun ketika dia ikut membangun sejumlah pangkalan Base Transceiver Station (BTS) di daratan Timor, khususnya di Kabupaten Belu.
Menurut ayah dua anak ini, masyarakat Timor menerima dirinya dengan sangat hangat bahkan dianggap keluarga sendiri. Orang Timor selalu memandang tamu atau pendatang sebagai anggota keluarga. Mereka menerima para pendatang dengan sangat hangat dan penuh perhatian. Hidup di Timor, kata dia, tidak akan kelaparan, karena setiap penduduk membuka rumah mereka bagi para tamu yang datang.
“Kesan saya, orang Timor atau umumnyalah manusia NTT, menerima para pendatang dengan damai, hangat dan terbuka. Mereka tidak membedakan asal usul atau apa pun latar belakang agama para pendatang,” ujarnya mengenang.
Pengalaman dua tahun hidup di Pulau Timor, baginya sangat membekas. Kata Udin, orang Timor itu persis berbeda dengan orang Jawa, khususnya orang Kota Solo. “Di sini orang masih bergaul dengan cara pandang bersekat atau berkotak-kotak,” ujar pria jebolan STM Solo ini.
Menurut Udin, demikian pria ini biasa disapa, orang Jawa umumnya dan khususnya orang Solo, masih membeda-bedakan orang seturut kelompok sosial dan latar belakang etnik dan agama. Bahkan bergaul menurut kelas strata sosial ekonomi. Dia menyimpulkan, manusia Timor atau umumnya manusia NTT sangat toleran dibandingkan dengan orang Jawa pada umumnya, sehingga baginya, tinggal di NTT jauh lebih nyaman dibandingkan tinggal di Jawa.
Menurutnya manusia NTT itu baik sekali. Tetapi, orang NTT itu kalau sudah marah, seperti tidak ada obatnya.
Tentang Jokowi
Obrolan dengan Udin, tidak sekadar tentang pengalamannya dua tahun tinggal di Pulau Timor. Dia juga berceritera tentang bagaimana Joko Widodo membangun Kota Solo dua periode kepemimpinannya.
Udin berkisah. Semasa dia remaja, Kota Solo itu kumuh. Tetapi, tatkala Joko Widodo menjadi Wali Kota, Kota Solo berubah drastis. Perubahan itu semakin membaik dan menarik perhatian orang dari luar Solo, ketika Gibran Rakabuming Raka memimpin Kota Solo.
Menurut Udin, keluarga Jokowi itu adalah contoh konkret dari pemimpin yang pro orang miskin. Jokowi lahir dari rahim rakyat biasa. Dia pernah mengalami menderita diusir dari bantaran sungai.
Kata Udin, pemimpin yang lahir dari pengalaman derita biasanya cenderung berhasrat kuat untuk mengubah nasib rakyatnya. Pemimpin seperti Jokowi tidak mau rakyat yang dipimpinnya mengalami derita seperti yang dialaminya. Jokowi itulah contoh konkret yang membenarkan pandangan Udin.
Menjawab pertanyaan tentang ujaran kebencian yang dialami Jokowi dari berbagai pihak setelah dirinya menjadi rakyat biasa, Udin sangat prihatin. Dia prihatin atas perlakuan para politisi partai politik. Mereka seperti tidak jenuh dengan menghujat keluarga Jokowi.
“Menurut saya, PDIP menerima akibatnya jika politisi PDIP selalu menyudutkan keluarga Jokowi. Contoh konkret pada pemilihan Wali Kota Solo, Wali Kota Salatiga dan Gubernur Jawa Tengah,” ujar Udin.
Semua contoh itu, kata Udin, adalah peristiwa awal dari kecenderungan politik di Jawa Tengah di masa depan. Dia mengaku sebagai pemilih PDIP garis keras. Tetapi, kemudian berubah total karena Jokowi berubah haluan. “Jadi kami mengikuti apa maunya Jokowi. Beliau itu sabar. Beliau kelebihan kesabaran Mas. Kok gak marah ya,” ujarnya menutup pembicaraan.
(dp/pr)