Kupang, detak-pasifik.com- Kupang berpotensi menjelma menjadi kota besar nan beradab apabila pemerintah mampu mengelola tiga aspek kunci secara serius. Pertama, tata kelola sampah harus ditangani dengan tuntas; kedua, seluruh bangunan di pesisir dari Lasiana hingga Pelabuhan Tenau perlu dibongkar demi membuka ruang bagi pembangunan pariwisata, ekonomi kreatif, dan olahraga; serta ketiga, aktivitas bongkar muat kendaraan berat harus diatur secara tertib, sehingga hanya berlangsung antara pukul 22.00 hingga 04.00 WITA.
Pembongkaran gedung pesisir itu bukan semata-mata merobohkan warisan lama, melainkan membuka cakrawala baru. Dengan menata ulang kawasan pesisir, kota ini dapat menciptakan destinasi wisata yang menarik, mengembangkan ekonomi kreatif, bahkan membangun pelabuhan mini yang mampu menampung kapal asing.
Di sisi lain, pembatasan operasional kendaraan berat pada malam hari akan menciptakan ruang bagi kehidupan kuliner yang dinamis, tersedianya area parkir bagi mobil kecil, dan mengurangi kemacetan serta kecelakaan lalu lintas.
Dalam wawancara yang dilakukan detakpasifik.com pada Senin, 3 Maret 2025, Ir. Zeth Malelak, MS, cendekiawan dan peneliti Universitas Kristen Artha Wacana di Kupang, menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah harus ditiru dari contoh nyata di Kelurahan Nunbaun Sabu.
“Jika pemerintah kota benar-benar serius mengatasi masalah sampah, mereka dapat mengambil inspirasi dari tata kelola sampah yang sudah berjalan di Nunbaun Sabu. Masyarakat tidak membutuhkan rangkaian narasi kosong yang mudah diucapkan, tetapi contoh praktis yang dapat mereka lihat dan rasakan manfaatnya,” ujarnya.
Tak hanya itu, Zeth menambahkan bahwa gagasan yang dikemukakan oleh pengamat ekonomi dan pembangunan NTT, Guido Fulbertus dan Ir. Piet Djami Rebo, tentang pentingnya pengelolaan sampah, penerapan konsep clean and green, serta reformasi birokrasi, sudah sangat mendesak.
“Saya sama sekali tidak meragukan kecerdasan dan kehandalan kedua tokoh tersebut. Namun, ide-ide mereka harus segera diwujudkan melalui implementasi nyata oleh pemerintah tanpa terhalang oleh kepentingan sempit,” tegasnya.
Mengemban tanggung jawab tersebut, Zeth pun menawarkan konsep inovatif untuk mengembangkan hutan kota melalui pendekatan tradisional agroforestry dan smart agroforestry. Ia mengusulkan agar area kantor, tempat parkir umum, sekolah, serta lahan kosong milik negara dijadikan ruang hijau, sebuah konsep yang telah dikirimkan ke Bappenas sebagai langkah awal transformasi.
Dalam perspektifnya, semangat politik pembangunan yang diusung Walikota Chris Widodo harus dimulai dari pengelolaan sampah di setiap kelurahan. “Apa yang perlu dikerjakan pertama adalah mengelola sampah di setiap kelurahan. Jika sampah diolah sejak di sumber, tidak perlu lagi mengandalkan TPA yang justru menghasilkan emisi CO2 tinggi karena pembakarannya,” jelas Zeth.
TPA, atau Tempat Pemrosesan Akhir, merupakan fasilitas untuk menampung sampah yang tidak bisa didaur ulang. Di sana, ada tiga metode pengelolaan:
Open Dumping, di mana sampah ditimbun tanpa perlakuan khusus sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Controlled Landfill, dengan proses penimbunan yang dikontrol melalui penutupan berkala dengan tanah.
Sanitary Landfill, metode modern dengan sistem pelapisan yang mencegah pencemaran tanah dan air tanah serta mengelola gas metana.
Idealnya, TPA tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembuangan, melainkan juga sebagai pusat inovasi dengan memanfaatkan gas metana untuk energi dan mengimplementasikan teknologi daur ulang.
Di tingkat akar rumput, peran pemerintah melalui RT, RW, dan Kelurahan amat vital. Ketua RT dan RW menjadi ujung tombak dalam mewujudkan kebersihan lingkungan melalui pembentukan bank sampah dan kegiatan gotong royong yang mendukung pemilahan serta pengumpulan sampah secara sistematis. Mereka juga ditugaskan untuk mengedukasi masyarakat mengenai manfaat daur ulang, pengomposan, dan pengurangan sampah—menjadi penghubung antara warga dan aparat kelurahan.
Sementara itu, pemerintah Kelurahan berperan mengkoordinasikan dan memfasilitasi seluruh program pengelolaan sampah di wilayahnya, termasuk membantu pembentukan bank sampah serta melakukan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan program melalui laporan berkala. Dengan sinergi antara aparat pemerintahan dan masyarakat, diharapkan program pengelolaan sampah di Kupang dapat berjalan berkelanjutan dan memberikan dampak positif bagi lingkungan.
Dengan tekad dan implementasi nyata dari semua pihak, Kupang tidak hanya akan menjadi kota besar yang modern, tetapi juga kota yang beradab dan lestari. (dp/pr)