Bagaimana pembangunan atau kebudayaan bisa berkembang, kalau proses pembenahan SDM kurang diletakkan secara proporsional dalam bingkai kependidikan yang tepat?
Oleh Umbu Tagela, Pengajar di FKIP UKSW Salatiga
Globalisasi dan internasionalisasi memaparkan tuntutan baru bagi seluruh sistem kehidupan manusia, khususnya sistem pendidikan, antara lain dalam hal penerusan ilmu pengetahuan, pengembangan kemampuan sumber daya manusia, pembentukan nilai-nilai baru, penyadaran masyarakat tentang penyesuaian sikap yang adaptif dan tidak sekadar meniru. Dalam konteks demikian sistem pendidikan dituntut untuk akomodatif terhadap berbagai masalah kemanusiaan, agar deraan globalisasi tidak mencederai dan menghadirkan rumpang dalam kehidupan manusia.
Dalam tautan yang demikian maka pembangunan dalam bidang pendidikan mesti diarahkan untuk dapat menjawab dan mengantisipasi problematika dimaksud. Para pakar kajian masa depan mengkonstatir bahwa masyarakat masa depan akan ditandai oleh globalisasi yang disertai dengan peningkatan peranan individu-individu (Naisbitt dan Aburdene).
Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa di satu pihak kemajuan ilmu dan teknologi khususnya di bidang informatika, telekomunikasi dan komputer berdampak meningkatkan akses terhadap berbagai kajian di segenap permukaan bola dunia sampai ke taraf yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga menampilkan “tatanan kekuasaan baru” yang dapat menantang kalau tidak menjungkirbalikkan tatanan kekuasaan yang telah mapan (Toffler).
Pada pilahan lain untuk dapat menetapkan fondasi serta mengambil tindakan secara bertanggung jawab dalam kehidupan yang ditandai oleh perubahan yang semakin cepat akibat aksesibilitas informasi yang semakin tinggi sebagaimana diutarakan sebelumnya, para individu warga masyarakat perlu diperlengkapi dengan acuan dan keterampilan untuk menilai dan memanfaatkan, di samping menemukan informasi. Hanya dengan kemampuan mengelola informasi yang memadai yang dimiliki oleh setiap individu warga masyarakat dapat diharapkan masyarakat yang demokratis.
Merujuk pada uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa di samping partisipasi langsung, para individu warga masyarakat ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan yang dilandaskan atas pemahaman (informed consent).
Keputusan dan tindakan individu mulai dari almarhum Ibu Teresa, Putin dan Biden hingga pemakai fasilitas angkutan jalan raya dan para wanita yang mempercantik diri dengan kosmetik yang dikemas dalam kaleng aurosal, pada hakikatnya berdampak global, sehingga permasalahan global bukan saja perlu dipecahkan melainkan seyogianya diupayakan untuk dihindarkan, baik secara preventive bahkan kalau mungkin secara preemptive di tingkat individual melalui pendidikan. Oleh karena itu pendidikan mempunyai kesempatan dan sekaligus tanggung jawab untuk memberi urunan secara sistematis dalam mereka masa depan.
Hal ini berarti bahwa program-program pengajaran yang mendidik dirancang bukan semata-mata sebagai penerusan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, melainkan penerjemahan nilai-nilai tersebut ke dalam latar masa kini dengan antisipasi masa depan secara bermakna bagi setiap peserta didik.
Baca juga: Pluralisme Agama, Anugerah atau Bencana?
Berdasarkan sudut pandang yang demikian upaya mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mungkin membuahkan hasil yang dikehendaki apabila pendidikan terhayati oleh peserta didik sebagai kesempatan untuk, “Answering question, questioning answer and questioning questions” (Houston dkk) sehingga kelas terwujud sebagai “a vigorous community of learness where intelectual authority derives from evidence and argument and not from assertation” (White).
Revolusi teknologi yang berpusat pada komputer, informasi, komunikasi, digitalisasi dan multimedia membawa kita memasuki “Masyarakat Informasi (embaran)” yang menjadikan pendidikan sebagai pemain peran pusat (a central role) pada tiap segi kehidupan. Pada saat yang sama perubahan penting dalam bidang kependudukan dan sosial-politik di seluruh dunia menyodorkan tantangan baru agar seluruh umat manusia sukses berpartisipasi dalam kehidupan dunia yang makin kompleks.
Melalui tulisan ini penulis mengusulkan teori kritis tentang pendidikan untuk mendemokratisasikan dan merekonstruksi pendidikan guna menanggapi tantangan masyarakat global yang sarat dengan teknologi.
Penulis mengusulkan rekonstruksi pendidikan demokratis dan multikultural dibangun berdasarkan wawasan yang mensintesiskan filsafat pendidikan klasik, pragmatisme Dewey, pedagogi Freire yang kritis, poststrukturalisme dan berbagai teori kritis tentang gender, suku bangsa, kelas sosial dan masyarakat seraya mengkritisi gagasan konsep pendidikan tradisional yang sarat dengan muatan idealis, elitis dan antidemokrasi.
Teori kritis pendidikan berdimensi normatif dan utopis, dengan berteori cara pendidikan dan kehidupan mengkonstruksi berbagai alternatif. Mengembangkan model pendidikan yang mempromosikan kehidupan dan masyarakat yang baik dapat disokong oleh refleksi normatif terhadap filsafat pendidikan klasik, seperti kecintaan pada kearifan (philo-sophia) dan praktik filsafat paideia, yaitu pembentukan dan pengembangan manusia dan warga negara.
Pendidikan di Inggris misalnya berkenaan dengan mendewasakan generasi muda agar belajar sopan santun, kebiasaan, mengembangkan kepribadian dan alam pikiran. Praktik pendidikan berupaya dikembangkannya potensi manusia setinggi-tingginya serta membangun warga negara menjadi warga masyarakat yang adil, menyelaraskan siswa dengan sistem sosial, serta menjadikan sekolah sebagai sarana untuk reproduksi sosial yang masih dipandang penting dalam teori kritis pendidikan kontemporer kini.
Dewey mengembangkan refleksi pendidikan progresif yang mengaitkan pendidikan dengan demokrasi. Tanpa pendidikan takkan ada masyarakat demokrasi yang mensyaratkan kesetaraan derajat dan partisipasi sehingga tiap orang berperan secara cerdas di dalam kehidupan sosial politik.
Baca juga: Tantangan Dosen di Perguruan Tinggi
Pendidikan harus praktis, bertujuan memperbaiki hidup keseharian dan masyarakat, melalui metode coba-coba ralat, seseorang mempelajari kecakapan hidup dan secara bertahap meningkatkan masyarakat dan pendidikan. Makna pragmatis berarti bahwa teori harus muncul dari praktik. Pengembangan pedagogi pihak yang tertekan (pedagogy of the oppressed) menghendaki penciptaan proses belajar yang membantu individu memperbaiki diri dan menciptakan hidup lebih baik melalui trasnformasi dan pemberdayaan sosial. Pedagogy of the oppressed merupakan pedagogi emansipatoris yang bertujuan untuk mentransformasi sosial.
Menarik bahwa seluruh filsafat pendidikan klasik beserta Marx dan Freire beranggapan bahwa pendidikan adalah kepentingan sentral dalam menciptakan hidup yang lebih baik sehingga individu dan masyarakat berkembang optimal. Filsafat kritis pendidikan adalah model pendidikan dalam demokrasi barat dan menyediakan model kementakan (alternatif) yang masih penad (relevan) dengan situasi terkini.
Filsafat pendidikan ini berkenaan dengan rumusan reason/penalaran, subjektivitas dan demokrasi tetapi mengabaikan pentingnya tubuh manusia, gender, suku bangsa, seksualitas, lingkungan alam dan dimensi lain hidup manusia. Sebaliknya kritik poststrukturalis teori modern pendidikan menyediakan sarana penting bagi munculnya teori kritis pendidikan.
Poststrukturalis teori menekankan pentingnya perbedaan, marginalitas, heterogenitas dan multikulturalisme, memperhatikan dimensi pengalaman, kelompok dan suara-suara yang telah ditekan agar tidak bergaung dalam tradisi pendidikan modern. Teori kritis ini mengembangkan multikulturalisme liyan/pihak lain dan perbedaan kelas sosial, gender, suku bangsa, seksualitas, lingkungan alam, komponen identitas dan kehidupan: sekaligus memperhatikan penalaran dan pengetahuan, menekankan pentingnya konteks dan konstruksi sosial tentang realitas yng membolehkan terjadinya rekonstruksi konstan.
Karena kondisi sosial dan hidup senantiasa berubah, maka teori kritis pendidikan perlu memperhatikan sejarah melalui merekonstruksi pendidikan sebagai kondisi sosial dan menciptakan alternatif pedagogis dalam kerangka kebutuhan, masalah dan kemungkinan kelompok-kelompok manusia yang spesifik dalam situasi konkret.
Berarti wawasan dan kritik filsafati dan normatif diperlukan, dengan mengarahkan upaya merekonstruksi pendidikan dan masyarakat melalui visi apa itu wujud pendidikan dan hidup manusia beserta keterbatasan-keterbatasan spesifiknya dalam masyarakat kini.
Baca juga:
Teori kritis pendidikan harus berakar dari teori kritis masyarakat yang mengonseptualisasi sifat spesifik masyarakat kapitalis kini dan relasinya dengan dominasi dan subordinasi, kontradiksi dan terbukanya perubahan sosial dan praktik transformatif yang hendak menciptakan teori yang memproyeksikan hidup dan masyarakat yang lebih baik.
Wacana postmodern bermanfaat menemukan tanda-tanda perubahan dan transformasi dalam situasi sosial kini beserta rumusan tantangan baru penciptaan teori dan praktik. Diusulkan agar model dan pendekatan kritis dan metateoretikal diperlukan untuk memberikan esensi perubahan dalam ekonomi, politik, masyarakat, hidup keseharian dan subjektivitas dalam era kini.
Teori kritis bersifat interdisipliner agar diperoleh wawasan majemuk tentang masyarakat kini. Metateori pendidikan berisikan model yang holistik/menyeluruh yang menyatukan berbagai mata pelajaran yang menjelaskan kehidupan masa kini.
Selanjutnya dimensi berikut penting memperhatikan dalam memikirkan kembali dan merekonstruksi pendidikan masa kini: 1) Merumuskan perubahan kondisi kehidupan, subjektivitas dan identitas generasi muda. 2) Mengembangkan kemahirwacanaan majemuk untuk merespon teknologi yang pesat berkembang dan tantangan globalisasi. 3) Atas dasar analisis tersebut diajukan restrukturisasi dan demokratisasi radikal pendidikan.
Perlu digunakan dimensi kritik Illich terhadap sistem kini dan mengajukan konsep kementakan (alternatif) dengan tata nilai pertahanan-pengembangan hidup, keadilan dan takrif (definisi) diri tentang pekerjaan sebagai norma positif untuk memandu rekonstruksi pendidikan dalam melayani kebutuhan komunitas yang bervariasi, untuk mempromosikan demokrasi dan keadilan sosial serta menakrifkan kembali belajar dan bekerja guna mengembangkan kreativitas, masyarakat dan keseimbangan ekologis antara manusia dan bumi.
Untuk mengatasi keterpakuan sekolah pada media cetak dan keterpisahan pengetahuan akademik ke dalam sains sosial, sastra dan pendidikan jasmani, maka sekolah perlu mengembangkan sekolah agar memasuki kawasan kemahirwacanaan majemuk seperti media, komputer dan informasi yang akan merespon teknologi dan kondisi budaya serta memberdayakan siswa agar berpartisipasi dalam memperluas budaya teknologi tinggi/high tech dan masyarakat yang berjejaring (network society).
Perlu merestruktur pendidikan agar seluruh siswa memiliki akses pada teknologi dan kemahirwacanaan baru sehingga pendidikan menjadi terdemokratisasikan serta pemikiran kembali proses belajar dan relasi siswa dengan guru.
Demokratisasi pendidikan dikembangkan agar lebih interaktif dan bersifat partisipatoris dengan membangun jejaring web-sites, diskusi online serta proyek riset kolaboratif berbasis komputer. Dalam belajar pembelajaran, buku dan bahan cetak maupun materi multimedia berbasis web harus bersifat suplementer serta bukan hal yang perlu dipertentangkan.
Kendala institusi pendidikan kini adalah keterpakuan pada pembelajaran dengan rencana pembelajaran, kurikulum dan pedagogi yang homogen, serta kurang mengindahkan masalah politik, budaya dan ekologi. Pengembangan pedagogi yang ramah, familiar dan radikal akan memampukan guru dan siswa melepaskan diri dari model yang kaku itu agar kemudian mengikuti pendidikan eksperimental Dewey.
Rekonstruksi pendidikan akan membantu terciptakannya mata-mata pelajaran yang memadukan kompleksitas hidup keseharian dengan dunia kerja dan budaya karena kehidupan sekarang menjadi makin kompleks dan berbahaya. Relasi sosial dalam situasi pendidikan yang makin kooperatif, dialogis dan interaktif dapat mengembangkan kerja sama, demokrasi dan tata nilai sosial yang positif sekaligus terpenuhinya kebutuhan akan berkomunikasi, harga diri dan belajar siswa.
Baca juga:
Pedagogi kritis dapat menghasilkan kecakapan-kecakapan yang memampukan individu mengarahkan hidupnya dalam wawasan kemajemukan dan tantangan kehidupan masa kini. Pendidikan Dewey berfokus pada pemecahan masalah, proyek yang mengarah ke pencapaian tujuan serta keberanian untuk bereksperimen. Sedangkan Freire mengembangkan pedagogi alternatif dan Illich merumuskan konsepsi pendidikan dan belajar yang bertolak belakang dengan pendekatan kini.
Pendidikan merupakan bagian inheren sejarah peradaban umat manusia. Makna pendidikan secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan yang melingkupinya.
Berdasarkan alur pikir yang demikian dapat dikonstatir bahwa bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan.
Pada dasarnya proses pendidikan adalah proses transformasi atau proses perubahan kualitas tingkah laku individu (Edgar Faure). Perubahan tingkah laku yang diharapkan bukanlah sekadar perubahan dalam penambahan jenis tingkah laku, tetapi perubahan struktural yang berkenaan dengan perubahan dalam pola tingkah laku atau pola kepribadian yang makin sempurna.
Transformasi pendidikan tidak hanya dimaksudkan agar seseorang makin banyak mengerti tentang segala sesuatu, tetapi terutama agar orang tersebut makin memiliki kemampuan untuk meningkatkan taraf hidupnya lahir batin dalam peranannya sebagai pribadi, warga masyarakat, warga negara dan makhluk Tuhan.
Atas pijakan yang demikian, maka proses pendidikan dapat dipahami sebagai upaya manusia mentransformasikan atau mengubah kemampuan potensial seseorang menjadi kemampuan nyata yang diperlukan dalam meningkatkan taraf hidup lahir batin.
Sebagai proses, maka di dalam pendidikan ada salingtindak (interaction) fungsional antarkomponen pendidikan yang juga berinterdependen satu sama lainnya. Sesuai fungsinya menyongsong hari esok, maka pendidikan selayaknya dilandaskan bukan saja pada apa yang diketahui oleh pendidik/guru/dosen tentang hidup dan kehidupan, melainkan juga pada apa yang dikehendaki dari hidup dan kehidupan itu (Rakajoni).
Memang, agak ironis jika andaian (asumsi) di atas dipadukan dengan praktik pendidikan/pengajaran yang terjadi saat ini, di mana putusan-putusan dan tindakan-tindakan instruksional yang digagas dan dilaksanakan oleh para pendidik tidak didasarkan pada andaian-andaian kependidikan yang eksplisit, melainkan diturunkan saja dari pengalaman pribadi, kalau tidak sepenuhnya dikendalikan atau lebih tepat diombang-ambingkan oleh rentetan kebetulan dan kecelakaan, atau serangan konseptual serta godaan pragmatis, sehingga sangat mudah mempengaruhi keputusan serta tindakan guru/dosen yang kurang mantap wawasan kependidikannya.
Pada akhirnya proses pendidikan bukan lagi sebagai proses transformasi tingkah laku tetapi lebih menyerupai proses domestikasi yang menjebak para guru/dosen pada pekerjaan rutin yang bersifat mekanistis. Realitas objektif ini agaknya memiliki tautan dengan kepentingan subjektif masyarakat akan pendidikan formal.
Misalnya dalam pendidikan tinggi, masyarakat kurang peduli terhadap proses pendidikan yang terjadi, dan yang penting putra/putrinya berhasil menyandang gelar sarjana. Pola pikir seperti di atas juga telah muncul pada abad 19 melalui pemikir-pemikir neo marxism yang dipelopori oleh Bowles, Gintis dan Cain yang terkenal dengan teori Screening Hypothesis dan teori Dual Labor Market Hypothesis yang hanya melihat keluarannya sebagai aset, tanpa menghiraukan proses pendidikan (Wardiman dan Suryadi).
Tahapan selanjutnya setelah mahasiswa berhasil menyandang gelar sarjana merupakan dimensi baru yang lepas dari rangkaian proses pendidikan formal, di mana orang tua/masyarakat dan guru/dosen tidak lagi ikut bertanggung jawab. Dalam kerampatan makna yang demikian banyak guru/dosen mendaku (claim) tindakannya sebagai tindakan profesional yang derajad akuntabilitasnya dapat ditakar berdasarkan pedoman teknis mengelola proses belajar mengajar yang dikeluarkan oleh Depdikbud.
Untuk melengkapi analisis di atas, penulis memberikan dua contoh, yakni:
- Pada umumnya setelah ujian atau tes semester selesai, orang tua selalu menanyakan besaran indeks prestasi kumulatif putra/putrinya. Pertanyaan ini menjadi sangat wajar, lantaran orang tua tidak mengetahui indikator lain untuk mengukur kemajuan pendidikan anaknya. Sayangnya para guru/dosen juga terjebak pada pola pikir yang sama, lantaran cara ini dianggap paling mangkus dan sangkil karena memiliki bobot kebeningan (transparan) yang dapat dipertanggungjawabkan. Memang dalam prinsip perencanaan oleh Ferari and Lancaster dikatakan,“ recovery of cost principles”, tetapi persoalanya adalah apakah pengembalian investasi oleh anak hanya dalam bentuk indeks prestasi yang dapat di kuantifikasi? Bagaimana dengan perubahan sikap, tingkah laku, tutur kata, nalar, logika, kepribadian? Yang oleh pakar pendidikan sering dikemas dalam bahasa performance intelectual, performance social? Agak aneh jikalau kita temukan seorang mahasiswi yang memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi, tapi bertingkah laku seperti anak Taman Kanak-kanak jika keinginannya tidak dituruti oleh orang tuanya. Kalau sudah demikian, siapa yang bertanggung jawab?
- Banyak ditemui sarjana yang tidak mampu membuat surat lamaran kerja, hingga mereka harus menyewa orang lain untuk membuatkan. Kenyataan ini memang sangat memilukan, tetapi apa lacur. Lalu, apanya yang salah dalam proses pendidikan? Apakah proses pendidikan kita berorientasi pada inarticulate genius, di mana mahasiswa menguasai konsep pengetahuan dengan baik tapi tidak mampu menyatakan secara verbal, atau orientasi pendidikan pada articulate idiecy dimana mahasiswa pandai menyatakan secara verbal tetapi kurang penguasaannya terhadap konsep pengetahuan secara benar (Richey).
Mestinya kedua orientasi di atas harus diramu dan dikemas dalam suatu anyaman proses belajar mengajar di kelas, karena di situlah mahasiswa dibentuk untuk mulai berkarya, kreatif, memiliki inisiatif, dinamis, menjadi inovator dan memiliki attitude dalam pembangunan (Noto Hamidjojo).
Bagaimana pembangunan atau kebudayaan bisa berkembang, kalau proses pembenahan SDM kurang diletakkan secara proporsional dalam bingkai kependidikan yang tepat?
Catatan redaksi:
Redaksi detakpasifikcom menerima tulisan atau opini dari pembaca: akademisi, praktisi, pakar di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, budayawan, aktivis organisasi, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah atau swasta juga mahasiswa dan pelajar.
Tulisan tidak sedang dikirim ke media lain, dan dikirim ke email: forumpasifik8@gmail.com. Disertakan nomor kontak dan biodata singkat.
Terima kasih.