Ia hanya menetap sementara sambil menunggu tuan tanah mengusirnya dari tempat ini.
Oleh Riko Raden
Setiap kali orang melewati jalan itu, tentu melihat seorang lelaki tua sedang mengumpulkan sampah-sampah yang bercecer di samping jalan. Lelaki tua bertubuh kecil, rambut putih dan pakaian compang-camping ini, tak pernah lelah mengumpul barang-barang kotor itu.
Ia tak punya rumah dan keluarga. Satu-satunya yang ada sekarang ialah sebidang tanah di tepi jalan ini. Itu pun bukan milik atau warisan dari nenek moyangnya. Ia hanya menetap sementara sambil menunggu tuan tanah mengusirnya dari tempat ini. Apabila tuan tanah mengusirnya, maka dia pun pergi. Ia pergi tentu mencari tempat yang penuh dengan sampah-sampah.
Tempat yang ditinggalnya sekarang ini, entah menjadi tempat yang keberapa. Ia sebelumnya pernah tinggal di kota juga dekat tumpukan sampah. Karena orang-orang kota kurang senang dengan penampilannya, maka ia diusir oleh warga setempat.
Ia juga pernah tinggal di bawah kolong jembatan dekat rumah seorang anggota dewan, juga diusir karena penampilan. Rupanya ia tidak cocok tinggal di kota atau dekat orang lain. Maka pilihan terakhirnya ialah tinggal di tepi jalan ini. Di sini ia merasa aman dan cukup betah. Tak ada orang yang mengusirnya kecuali tuan tanah datang dan mengusirnya.
Lelaki tua ini juga sering tidak memakai baju apabila mencari sampah di siang hari. Bukan karena sengaja atau memamerkan tulang rusuk supaya kaum hawa tertarik, tapi karena kekurangan pakaian. Ia hanya punya satu celana dan baju kaus oblong yang tak pantas lagi untuk dipakai.
Ia merawat pakaian ini seperti ia pernah merawat hati seseorang yang dicintainya. Tapi itu dulu, waktu masih muda dan pandai membuat kata-kata romantis. Sekarang tak ada lagi yang dicintainya. Mungkin yang membuat dia bahagia sekarang bisa melihat sampah-sampah di tepi jalan ini.
Di tepi jalan ini, ia membangun sebuah pondok. Ia membangun pondok ini tanpa bantuan dari pemerintah. Cukup sederhana dan buat sesuai dengan seleranya. Atapnya terbuat dari alang-alang. Dinding samping kiri dan kanan kosong tanpa dibalut apa-apa. Pintunya tidak ada dan angin selalu bebas keluar masuk pondoknya ini.
Sedangkan lantai hanya tanah telanjang tanpa ada semen apalagi keramik seperti rumah-rumah pejabat di kota. Tinggi pondok ini sesuai dengan tinggi badannya. Sedangkan lebarnya, lebih luas dari tubuh kecilnya itu.
Selain sebagai tempat tinggalnya, pondok ini juga tempat untuk menyimpan barang-barang sampah. Apabila malam hari saat tidur, ia membiarkan angin malam terus datang menyetubuhi tubuh kurusnya. Tak ada lawan, pun merontak seperti seorang gadis diperkosa oleh perampok di tengah malam.
Ingin mencari selimut untuk menghangatkan tubuhnya, tapi yang ada hanya sebuah karung, tempat menyimpan sampah-sampahnya. Lelaki tua pencinta sampah-sampah ini hanya terdiam bisu dan membiarkan angin malam terus datang hingga mentari tiba.
Cukup sedih melihat kehidupan lelaki tua ini. Tak ada istri, anak-anak dan rumah. Hari-hari hidupnya selalu sendiri. Ia tak lagi punya apa-apa dan tak punya siapa-siapa menjadi teman hidupnya. Yang ada hanya belalang yang rancak beterbangan kian kemari tanpa peduli ini itu, apalagi peduli sama lelaki tua ini.
Kadang orang-orang yang melintasi jalan ini, mengira bahwa dia adalah orang gila yang tak punya rumah dan keluarga. Kadang juga ada yang mengatakan dia adalah lelaki tua yang telah lama pergi ditinggal oleh istrinya dan yang paling menjengkelkan mengatakan bahwa dia adalah lelaki yang barusan keluar dari penjara karena korupsi.
Entahlah, intinya lelaki tua ini bahagia dengan hidupnya. Kamu mengatakan dia sebagai koruptor atau agen human trafficking yang masih berkeliaran di tengah kota ini atau sejenis kejahatan lain, tak ada rugi untuk lelaki tua ini. Dia hanya mencintai sampah-sampah yang tak dipakai lagi oleh para pejabat di kota ini.
***
Ketika senyum mentari pelan-pelan pudar dan dunia seolah-olah dekat tungku api, aku sadar bahwa matahari sudah panas. Maka aku berjalan pelan-pelan sambil melihat pemandangan di tepi jalan ini. Di tepi jalan ini, terlihat rumah-rumah warga di seberang hamparan sawah yang kelabu karena jerami mengering setelah panen.
Tampak juga pohon mahoni besar yang tumbuh di tepi jalan yang membuat orang berhenti berteduh sejenak sambil berfoto-foto dengan latar begitu indah. Sekelompok burung jalak melintas di atas kepalaku. Sambil terbang burung-burung itu berkicau dengan suara jernih dan sangat enak didengar. Belalang beterbangan ketika mendengar sepeda motorku.
Sampai di tengah perjalanan, aku melihat lelaki tua ini sedang duduk di tepi jalan dengan karung ditangannya. Lelaki tua penuh dengan uban dan kurus kerempeng ini, tampaknya sedang menunggu kendaraan yang melewati tempat ini.
Mungkin dari tadi ia sudah ada di tepi jalan ini. Lihat saja raut wajahnya, seperti seseorang yang sedang sakit. Pucat! “Ah, mungkin dia orang gila yang tinggal di sini.” Kataku dalam hati sambil terus berjalan mendekatinya. Lihat saja penampilannya. Ia tidak memakai baju. Warna kulitnya seperti batu yang hidup di padang gurun. Kering dan pudar.
Celananya kotor dan penuh dengan sobek-sobek. Celana yang dipakainya hanya bagian depan saja yang baik. Sedangkan bagian belakang dekat pantat sudah robek. Celana itu ia pakai seakan hanya untuk menutupi auratnya. Begitu kumal sehingga aku tidak tahu lagi warna asli celana itu. Dia benar-benar orang gila. Gumamku.
Saat itu juga aku telah berada di depannya. Begitu melihatku, lelaki tua dengan kaki tak beralas itu berdiri. Dia berdiri dengan senyum bertengger di bibir kering keriput tua itu. Lalu kaki tak beralas itu tertatih menyambutku dengan karung di tangan. Aku melihat sepintas isi karung itu belum ada benda yang ada. Kosong seperti pertama kali ia mengambil karung itu dari pondoknya.
“Selamat siang Pak Tua!” Sapaku dengan nada lembut. Matahari siang terus membakar tubuhku. Peluh mengalir di sekujur tubuhku. Terik surya menikam kepala dan bahu. Membakar kulit hingga gosong! Pedis! Perih! Aku juga haus dan lapar bergabung menjadi satu.
“Selamat siang juga anak muda!” Jawabnya dengan nada agak pelan. Ia memanggilku anak muda mungkin karena melihat raut wajahku lebih muda darinya. Atau mungkin penampilanku. Entahlah, itulah kata yang tepat baginya saat itu. Ia juga ramah menyambutku seolah-olah kami masih keluarga. Sikap ramahnya ini mengingatkan aku akan ibuku di rumah. Apabila aku pulang libur, ibu menyambut dengan penuh antusias. Lihat sikap ramah lelaki tua ini, jadi teringat akan ibuku di rumah.
Dalam hatiku merasa bersalah karena telah mencurigainya sebagai orang gila. Padahal lelaki tua ini sangat baik dan ramah ketika menyambutku. Matahari siang itu semakin panas. Aku melihat raut wajah lelaki tua ini mengerut, membentuk kanal bersinar oleh pantulan sinar surya siang bolong. Tak ada raut wajah curiga atau takut pada wajahnya.
“Anak muda!” Ia memanggil dengan nada agak lembut. “Mari, kita masuk saja ke dalam pondok, biar agak teduh sedikit.”
Awalnya aku ragu ajakannya. Tapi karena matahari semakin panas, maka aku pun mengiyakan dan pelan-pelan mengikuti masuk ke dalam pondoknya. Dalam hatiku terus berkata bahwa lelaki tua ini ternyata benar-benar baik sekali. Jarang aku menemukan orang-orang seperti ini di tengah perjalanan. Apalagi di tengah kota yang dihuni oleh para pejabat yang korup dan egois dengan harta duniawi.
Aku juga berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang baik datang dari lelaki tua ini. Ia membimbing dengan senyum dan rangkulan bak seorang ayah merangkul anaknya yang pulang dari perantau. Dia begitu antusias membimbingku menuju pondoknya seolah-olah ingin menunjukkan sesuatu yang baru, yang dapat mengangkat harga dirinya.
Sebelum aku masuk ke dalam pondoknya, aku melihat atap alang-alang yang sudah usang, lapuk dan tercabik. Ada rasa kasihan yang muncul dari sanubari melihat situasi yang menggambarkan cara hidupnya.
Lelaki tua ini sudah masuk dan duduk di sebuah karung sampah-sampahnya. Bajunya sudah dipakai dan tampak sekali baju itu sudah tak layak pakai. Tercabik di mana-mana dan tak karuan. Dekil!
“Mari nak, selamat datang di pondokku ini.” Ia menyapaku lembut. Sambil memberikan sebuah karung berisi sampah.
“Terima kasih Pak Tua.” Jawabku sambil duduk di atas karung ini. Rasanya aman walau sangat sederhana. Di pondok ini suasana begitu teduh dan sejuk. Aku merasa hidup di surga walau tak pernah melihat surga.
Pondok ini sudah tua mungkin seumur dengan pakaian yang dipakai lelaki tua ini. Tercabik di mana-mana. Walau atapnya sudah tua dan kayu sudah lapuk, tapi pondok ini tetap memberikan rasa nyaman untuk lelaki tua ini.
Aku sendiri juga merasa nyaman ketika berada di pondok ini. Aku hendak menanyakan pada lelaki tua ini, kira-kira sudah berapa lama dia menyendiri di sini, mengapa harus menyendiri, mengapa harus di sini.
Banyak pertanyaan yang ingin aku ungkapkan tetapi belum saatnya. Aku melihat dekat tungku api, ada sebuah periuk tanah yang tampak sudah lama tak terpakai, sebuah periuk aluminium yang sudah hitam arang, sebuah piring plastik kotor dan gelas plastik yang tak tampak bening lagi karena kotor. Dengan gelas itulah dia memberiku air.
“Pak Tua, apakah aku bisa membuka baju?” Tanyaku sambil tersenyum tak pasti.
“Silakan anak muda! Di sini panas sekali.” Jawabnya singkat.
“Terima kasih Pak Tua.” Ujarku sambil membuka baju dan membiarkan perutku telanjang. Angin sepoi dari padang luas menyegarkan kulit perutku dan menembus sampai aku merasa segar.
Tak lama kemudian, kami terdiam. Aku mengarahkan pandangan ke padang luas. Tapi aku tak tahu apa yang aku lihat. Pikiranku melayang mengingat nasib Pak Tua ini.
“Pak Tua, sejak kapan tinggal di sini?” Tanyaku.
“Sejak aku memilih meninggalkan istriku. Kira-kira 10 tahun yang lalu.”
“Kenapa Pak Tua harus meninggalkan istri?” Aku terus merayunya agar ia menceritakan semua masa lalunya.
“Entahlah anak muda. Aku sudah melupakan istri bejat itu. Aku sudah memaafkannya.”
“Memang Pak Tua ada masalah dengan istri?”
“Iya anak muda.”
“Bagaimana kalau Pak Tua menceritakan kepadaku.”
“Baiklah anak muda.” Ia menarik nafas lalu mengembuskannya. “Tapi ingat jangan pernah menceritakan pada orang lain.”
“Iya, Pak Tua! Aku berjanji untuk menjaga rahasia ini. Ayo ceritakan sudah.”
Ia pun mulai menceritakannya.
***
Lalu ia berdiri dan mengambil sebuah plastik yang diselipkan di cela alang-alang. Plastik itu disodorkannya kepadaku dan menyuruh membukanya. Aku melihat ada selembar foto seorang perempuan berparas cantik. Putih dan berambut air. Senyumnya cukup menggoda kaum adam.
Pak Tua ini mengatakan bahwa mereka dulu nikah usia muda. Sekitar usia 19 tahun. Dan ia sendiri dulu pernah bekerja sebagai kuli bangunan. Setiap hari ia pergi kerja tanpa kenal lelah.
Sedangkan istrinya hanya bekerja di rumah. Membantu masak dan cuci pakaian. Ia masih ingat atas kejadian yang membuat keluarganya menjadi berantakan sehingga ia menjadi seperti sekarang ini.
Selama tiga hari istrinya lenyap dari rumah. Entah ke mana. Lelaki tua kurus kerempeng ini yang adalah suaminya, tak pernah tahu istrinya pergi ke mana.
Para tetangga pun tak tahu istrinya ke mana. Malah ada yang bilang bahwa mungkin istrinya pergi ke orang tuanya. Tapi begitu dia menelepon mama mantunya, tetap saja tidak ada di rumah. Padahal sudah tiga hari tiga malam istrinya berada di luar rumah. Suaminya yang adalah Pak Tua yang ada di depanku merasa cemas dengan istrinya.
Pada suatu malam, ia berjalan-jalan ke tengah kota cukup jauh dari rumahnya. Di sini ia mencoba melihat istrinya di rumah-rumah para pelacur. Entah mengapa dia berpikir sampai di situ seolah-olah istrinya pernah hidup dalam dunia gelap itu.
Tapi suara hatinya tetap: agar ia pergi ke sini. Begitu ia berada di depan rumah para pelacur, ia melihat lampu-lampu berwarna merah seperti darah seorang bayi yang barusan dilahirkan.
Ia dengan berani masuk ke dalam dan melihat ke sudut-sudut dalam rumah ini. Cukup lama ia berdiri di dalam rumah ini. Para gadis cantik datang menawarkan harga diri mereka. Ada yang mengatakan cuma Rp 50.000 satu malam, ada yang lebih tinggi dari itu.
Namun dia tetap tenang dan dengan senyum menjawab semua tawaran para gadis pelacur ini. Kemudian ia pergi ke tempat jual minuman. Ia memesan dua botol bir. Lalu duduk di meja yang telah disediakan. Tanpa sengaja matanya memandang ke sebuah sudut di mana istrinya sedang bermesraan dengan seorang lelaki tua, perut buncit dan kepala botak.
Ia melihat istrinya sungguh mesra sekali dengan lelaki itu. Saat itu juga ia keluar dari dalam rumah para pelacur ini dan pulang ke rumah tanpa memberitahukan pada istrinya bahwa dia telah tahu semuanya. Ia pun pergi dari rumah tanpa memberi pesan pun untuk istrinya.
***
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar kisahnya. Dalam hatiku merasa malu padanya. Terutama karena anggapan bahwa dia hanya lelaki tua di tepi jalan tanpa ada kisah menarik masa lalunya. Kemudian lelaki tua penuh kisah masa lalu ini, mengambil aku air untuk kedua kalinya dan menyuruhku minum. Aku merasakan kesegaran air itu menyentuh bibir, lidah, leher dan sampai ke perut. Sejuk!
Riko Raden, penulis dan penikmat kopi pahit. Ia tinggal di unit Fransiskus Ledalero.