Oleh: Lukas Benevides, Staf Pengajar Pra-Novisiat Claret Kupang
Reportase mendalam Majalah Tempo (22-28 Maret 2021) tentang tarik-ulur program vaksinasi massal dengan AstraZeneca menarik untuk digubris. Penelusuran jurnalis Tempo menemukan vaksin kedua yang diborong Pemerintah ini belum didistribusikan lantaran terganjal Fatwa MUI.
Hasanuddin Abdul Fatah, Ketua Komisi Fatwa MUI, mengatakan “Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI menyebutkan vaksin itu mengandung tripsin”. Aminuddin Yakup, anggota Komisi Fatwa mempertegas, “dasar kami adalah semua produk yang mengandung babi itu haram,” (Hlm. 31). Karena itu, vaksin AstraZeneca haram.
MUI bersikeras dengan kesimpulan di atas meskipun Direktur AstraZeneca Indonesia, Rizman Abudaeri, sudah menjelaskan secara ilmiah teknologi dan kandungan vaksin asal Inggris ini. Vaksin AstraZeneca memang memakai trispin, enzim babi yang digunakan sebagai katalis untuk pembiakan virus corona.
Namun, menurut Neni, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, “tripsin bukan kandungan vaksin, melainkan alat bantu dalam proses pembuatan vaksin. Tripsin membantu melepas sel adherent yang menempel pada plastik dalam proses subkultur virus. Analoginya seperti cangkul dalam penggemburan tanah,” (Hlm. 34). Dengan demikian, vaksin AstraZeneca tidak tersandung keharaman Fatwa MUI.
Menariknya, Ahmad Fahrur Rozi, Wakil Sekertaris Jenderal MUI Bidang Fatwa MUI, mengatakan tidak semua anggota MUI berpandangan sama. Ia bahkan menyederhanakan vaksin AstraZeneca “seperti lele makan kotoran. Lelenya tetap halal, kan?”. Perbedaan kesimpulan itu menandakan keterpecahan dalam tubuh MUI. Mengapa demikian? Rupanya ditengarai MUI meminta posisi komisaris di BUMN. Pemerintah menolak sehingga polemik AstraZeneca belum menemui ujung perkara hingga hari ini (Hlm. 32).
Alasan penolakan MUI dengan demikian adalah rekayasa. Namun memang harus diakui bahwa realisme politik tidak selurus pandangan Weber sebagai institusionalisasi rasionalitas (Economy and Society, 1978). Irasionalitas justru lebih dominan menggiring roda politik Indonesia.
Pembuktian kebenaran dan kegunaan vaksin AstraZeneca berada pada otoritas sains, tetapi penerbitan Fatwa adalah wilayah politis. Maka, desakan untuk mengutamakan sains daripada Fatwa oleh Tempo tidak lebih dari bunyian gong tak bergema (Hlm. 27). Pertanyaan kita adalah mengapa Pemerintah tetap menunduk mengemis Fatwa Halal?
Efek Bola Salju
Pertemuan Pemerintah (Menkes Budi Gunadi Sadikin bersama rombongan) dan Komisi Fatwa MUI di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta pada 8 Maret lalu bukan silahturahmi kesantunan. Pemerintah membawa agenda besar: meminta MUI menerbitkan Fatwa Halal vaksin AstraZeneca. Mengapa MUI harus terbitkan Fatwa Halal?
Kedatangan Pemerintah ke kediaman MUI adalah instruksi konstitusional yang dibuat Pemerintah sendiri. Pada 17 Oktober 2014, Pemerintah menetapkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal 1, ayat 3 berisi Proses Produk Halal (PPH), yakni “rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpnan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian”. Maka, kunjungan Pemerintah adalah sekuensi dari PPH.
Sebuah produk baru dikatakan halal bila sesuai syariat Islam. Pada Pasal 1, ayat 2 jelas tertulis, “produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam”. Standar halal ini ditentukan oleh sertifikat halal melalui Fatwa yang dikeluarkan MUI. Ayat 10, Pasal 1 mencatat, “sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH ‘(Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal)’ berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan MUI”.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Pemerintah menyambangi kantor MUI untuk meminta Fatwa Halal adalah buntut panjang dari UU Nomor 33 Tahun 2014. Tindakan ini tampak tidak salah secara hukum, tetapi cacat secara etis-politis. Pemerintah dengan demikian menyerahkan kekuasaan kepada MUI untuk menentukan sesuatu boleh diberlakukan atau tidak.
Padahal MUI bukan salah satu lembaga tinggi negara. Disini letak ruang rekayasa politis: MUI dapat saja memanfaatkan UU Nomor 33 Tahun 2014 ini untuk bertransaksi dengan Pemerintah. Spasi rawan ini yang mungkin tidak terlintas di benak Pemerintah dan DPR RI saat meratifikasi norma partikular agama ini menjadi produk hukum yang berimbas pada semua warga negara.
Terblokirnya distrubusi vaksin AstraZeneca tidak hanya mencegah vaksin terhadap kaum Muslim, tetapi semua warga. Ini bukan soal herd immunity semata, tetapi soal keadilan. Hidup bersama sebagai suatu bangsa seharusnya diikat dengan tali keadilan yang mengakomodir semua kepentingan, mengarahkan pada kesejahteraan umum, bukan pandangan kebaikan kelompok tertentu.
Kepusingan Pemerintah saat ini disebabkan oleh jebakan yang dikreasi Pemerintah sendiri. Pemerintah blunder sebagaimana lazimnya: mengundangkan pandangan tertentu hanya karena tekanan politik massa dan kalkulasi short-term. Permainan MUI di balik Fatwa Halal vaksin AstraZeneca adalah efek bola salju yang digulingkan Pemerintah.
Dualisme Kekuasaan: Pemerintah Lemah
Ada hal lain yang sangat fundamental dibalik implikasi panjang UU Nomor 33 Tahun 2014 yang lalu dibuntuti berbagai Peraturan Kementerian dan Pemerintah Daerah: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, Peraturan Menteri Industri Nomor 17 Tahun 2020 tentang Prosedur untuk Memperoleh Sertifikat Halal bagi Pendirian Area-Area Industri Halal, Peraturan Daerah Provinsi Aceh Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 2 tahun 2016 tentang Wisata Halal, dan lain-lain.
Semua peraturan di atas berada di bawah kekuasaan MUI. Bila Komisi Fatwa MUI menolak mengeluarkan Fatwa Halal, Pemerintah tidak berdaya. Implikasinya, Pemerintah lemah di hadapan MUI, tidak memiliki posisi tawar, karena sudah ‘menjual’ otoritas pemberlakuan UU ini kepada MUI. Dengan begitu sebenarnya secara etis-politis, Pemerintah sudah membagi kekuasaan dengan MUI. Pembagian kekuasaan ini mengindikasikan kelemahan Pemerintah di hadapan MUI.
Membagi kekuasaan menimbulkan dualisme kekuasaan ditubuh republik ini. Hal ini tentu saja menimbulkan masalah serius. Sebagaimana tubuh organis individu normal hanya dapat dipimpin oleh satu “brain”, tubuh bangsa juga tidak dapat dipimpin dua “brain”. Bangsa ini sedang berada di ujung tanduk bila disetir oleh dua pengemudi. Kepada siapakah warga Indonesia harus tunduk?
Seharusnya sudah jelas, sejak awal negara ini didirikan sebagai bangsa yang ber-Tuhan, bukan negara agama. Kalau UU Nomor 33 Tahun 2014 malah membingungkan warga, mencegah jalan menuju imunitas bersama yang dapat membantu segenap bangsa Indonesia menuju kesejahteraan umum, produk UU ini terindikasi inkonstitusional. Pemerintah dan lembaga legislatif sebaiknya duduk bersama untuk review UU Nomor 33 Tahun 2014.
Pembukaan UUD 1945 mengamanahkan pemerintah negara dibangun untuk membawa segenap bangsa Indonesia menuju kesejahteraan umum. Jadi, bila terdapat produk hukum tertentu yang menghalangi tujuan mulia ini, UU tersebut seharusnya tidak sahih untuk mengikat secara definitif setiap warga. Bila UU Nomor 33 Tahun 2014 tidak memberikan Pemerintah kemerdekaan dan kedaulatan untuk memutuskan, tidak adil terhadap segenap warga, dan merintangi jalan menuju kemakmuran nasional, UU ini harus dicabut.