“Oh… tapi tidak ada pengaruh dengan kesehatan?”
Oleh Riko Raden
Pagi ini aku menikmati secangkir kopi pahit ala Manggarai. Rasanya tidak nikmat kalau pagi hari tanpa menikmati kopi. Di depan kos, sambil menikmati secangkir kopi pahit, tiba-tiba seorang tetangga kos bernama Wawan datang menemani untuk duduk bercerita.
“Bagaimana dengan kopimu pagi ini. Maniskah? Pahitkah? Tanyaku kepada Wawan.
“Pagi ini, aku tidak minum kopi kawan. Aku cukup minum air putih saja.” Jawab Wawan dengan singkat.
“Kenapa begitu?” Tanyaku lagi.
“Tadi malam aku tidak bisa tidur gara-gara minum kopi kemarin sore. Ke depannya kalau minum kopi, aku cukup minum kopi di pagi hari saja. Minum kopi di pagi hari selain membawa hangat pada tubuh juga bisa mendatangkan banyak inspirasi untuk menulis sesuatu.”
“Iyakah! Kalau begitu cukup minum kopi di pagi hari saja. Supaya malamnya bisa tidur cepat.”
“Terus, bagaimana dengan rasa kopimu pagi ini? Pahitkah? Atau manis? Tapi aku tahu, engkau suka minum kopi pahit. Biasanya orang Manggarai suka kopi pahit. Iya toh?” Tanya Wawan.
“Iya teman. Pagi ini, aku minum kopi pahit. Bukan hanya pagi ini, bahkan sejak dari dulu. Tahu to, kalau orang Manggarai minum kopi. Gulanya sedikit, kopinya lebih banyak sehingga rasanya pahit.”
“Kenapa orang-orang Manggarai lebih suka minum kopi pahit, termasuk engkau juga?”
“Begini teman. Kami punya nenek moyang dulu suka tanam kopi. Penghasilan dari kopi itu tidak semuanya dijual ke pasar atau ke toko. Kalau hasil panen kopi sebanyak lima karung, mereka akan menjual empat karungnya. Sedangkan satu karungnya untuk minum di rumah. Selain dikonsumsi diri sendiri juga tamu yang datang ke rumah. Dulukan tidak ada jual gula. Mereka putar kopi itu tanpa gula. Kebiasaan ini menjadi turun temurun. Begitu ceritanya.”
“Oh… tapi tidak ada pengaruh dengan kesehatan?”
“Tidak ada teman. Tidak ada sama sekali pengaruhnya untuk kesehatan. Kemarin dulu, ada seorang dokter datang ke kampung kami. Dia datang untuk sosialisasi bagaimana cara memakai masker yang baik di tengah wabah virus corona ini. Selain datang sosialisasi itu, beliau juga mengatakan bahwa minum kopi pahit bisa menambah kekebalan tubuh dari virus corona. Kopi pahit juga bisa membantu daya ingat, membersihkan saluran pencernaan juga membantu mengurangi berat badan dan membantu mencegah penyakit jantung.”
“Aduh begitu ka! Tolong ajarin, bagaimana cara membuat kopi pahit. Selama ini kalau minum kopi, aku lebih suka yang manis bukan pahit. Kadang kalau saat putar kopi, gulanya lebih banyak daripada kopi. Misalnya satu cangkir itu, aku menuang kopi satu sendok sedangkan gulanya bisa sampai empat lima sendok. Rasanya sangat manis.”
“Aduh teman. Begini yang bisa datangkan penyakit. Kalau mau minum kopi pahit berarti gulanya agak sedikit, kopinya lebih banyak. Misalnya engkau mau putar kopi pakai cangkir kecil, berarti gulanya setengah sendok sedangkan kopinya dua sendok. Rasa pahitnya pasti dapat dan tidak terpengaruh dengan kesehatan. Tapi aku sarankan, supaya berat badanmu bisa turun, setiap pagi harus minum kopi tanpa gula. Bisa to?”
“Terima kasih banyak teman. Pagi ini aku bisa mendapat pengetahuan baru. Ke depannya aku berusaha untuk ingat tips ini kalau mau minum kopi. Tadi engkau katakan kalau mau berat badan turun, harus minum kopi pahit tanpa gula. Ini to tips tadi! Atau salah?”
“Iya, tipsnya seperti itu. Aku yakin berat badanmu akan turun.”
***
Keesokan paginya, di tempat yang sama aku duduk menikmati sinar mentari pagi di depan kos dan secangkir kopi pahit selalu ada di sana. Pagi itu sambil menikmati kopi pahit, tiba-tiba pikiranku mulai aneh dengan situasi NTT saat ini.
Kemarin aku sempat membaca berita seputar rumah warga di gusur oleh pihak yang berkuasa. Entah salah siapa. Tapi itulah negeri ini. Siapa yang berkuasa, dia akan akan menang. Masyarakat biasa selalu diabaikan dan terlantar. Entah sampai kapan. Barangkali nanti Tuhan akan tolong! Ah, buset pikiranku seaneh ini. Kataku dalam hati.
Seteguk demi seteguk kunikmati kopi. Aku coba mengalihkan pikiran tadi. Tiba-tiba ingatan mantan beberapa tahun silam datang tanpa diundang. Sungguh aneh pikiranku pagi ini. Di bibir gelas, aku mencoba melantunkan kata untuk mantanku: “Biarlah aku menjadi rindu dalam doa-doa yang tak akan pernah kau ketahui.” Aiiissssss, pikiranku mulai tercabik-cabik. Bersama kopi pahit, lamunanku semakin jauh.
Tanpa kusadari ternyata wawan ada di depanku. Entah jam berapa dia tiba di sini. Tiba-tiba saja ada di depanku. Barangkali aku terlalu menikmati rasa masa lalu sehingga kedatangan Wawan pun tak kusadari. Aku coba melupakan rasa itu. Aku pun mempersilakan Wawan untuk duduk di kursi yang ada di depanku.
“Bagaimana dengan kopimu pagi ini kawan? Maniskah? Pahitkah?” Tanyaku lagi kepada Wawan. Sebelumnya, aku telah membagi tips cara membuat kopi pahit. Dan kali ini aku ingin melihat apakah Wawan benar-benar melakukannya.
“Coba engkau rasakan kopi buatanku ini.” Jawab Wawan sambil memberi cangkir kopi kepadaku.
“Aku tidak mau minum kopi buatanmu. Rasa kopimu biasanya manis dan biji kopinya masih menari di bibir gelas. Aku tidak mau.” Jawabku singkat.
“Aduh teman, coba engkau rasakan dulu. Ini kopi beda dengan kopi yang selama ini aku putar. Sungguh-sungguh beda. Mari teman, coba engkau rasakan sedikit.”
“Baiklah!” Seteguk demi seteguk aku rasakan kopi buatannya.
“Bagaimana rasanya. Pahit atau manis?”
“Mantap teman. Inilah namanya kopi pahit. Sekarang aku suka minum kopi buatanmu. Berapa sendok gula kau tuang tadi?”
“Satu sendok saja. Kopinya tiga sendok.”
“Ternyata tips yang kubagikan benar-benar kau ingat. Bagaimana berat badanmu sekarang? Turun atau masih seperti dulu?”
“Setelah engkau memberikan tips itu, saban pagi saat mentari telah tiba, aku pergi ke dapur untuk putar kopi. Sekarang berat badanku agak turun.”
“Mantap kalau begitu. Minum terus kopi pahit. Aku yakin berat badanmu pasti sama sepertiku.”
“Tapi sekarang aku agak sakit-sakit. Kadang mual, kadang juga kepala pusing kalau duduk terlalu lama. Aku takut itu sakit lambung.”
“Sekarang aku tanya: Saat engkau minum kopi pada pagi hari, apakah sarapan lebih dahulu atau minum kopi?”
“Selama ini biasanya aku duluan minum kopi. Apabila kopinya habis baru aku mulai sarapan.”
“Itu salah teman. Kalau engkau mau minum kopi, sarapan lebih dahulu. Kopinya kemudian.”
“Oh… begitukah teman. Terima kasih untuk sarannya.”
“Apakah engkau tahu efek samping minum kopi pagi hari tanpa didahului sarapan?”
“Belum tahu teman. Tolong jelaskan sekarang.”
“Pantas engkau sakit lambung. Dengar baik-baik. Tapi apa yang aku jelaskan sekarang bukan joak (bohong).”
“Iya, aku tahu. Beri tahu cepat sekarang.”
“Begini teman, kopi hitam memiliki efek samping yaitu merangsang pelepasan asam lambung, sehingga bila dikonsumsi secara tidak teratur, dapat menyebabkan sakit perut. Selain itu, mengonsumsi kopi pahit secara berlebihan juga dapat memperburuk kondisi penyakit asam lambung, yang menimbulkan keluhan berupa nyeri ulu hati.”
“Aduh teman. Jangan-jangan aku sakit lambung.”
“Aku pikir begitu tadi ketika engkau mengeluh tentang keadaanmu. Bagaimana masih mau minum kopi pahit?”
“Aku coba berhenti sejenak satu dua bulan ke depannya. Bukan berarti aku tidak suka minum kopi lagi. Aku fokus untuk merawat sakit ini. Kalau sudah sembuh nanti aku kembali minum kopi.”
“Itu juga baik teman. Jangan lupa ke dokter untuk resep obat.”
***
Saat sore tiba, angin sejuk berhembus melewat celah jendela kamar kosku. Sementara aku sedang menyapu lantai kamar kos, tiba-tiba Wawan datang dan mukanya masih pucat. Aku menyapa dan mempersilakan dia untuk masuk ke dalam. Aku mempersilakan dia untuk duduk di kursi.
“Selamat sore teman. Selamat datang di kosku. Apakah kamu merasa lebih baik?” Tanyaku kepada Wawan. Satu minggu yang lalu Wawan masuk rumah sakit dan sekarang dia berada di kosku.
“ Ya, terima kasih, teman. Aku sekarang sudah sembuh.”
“Bersyukurlah teman. Berarti doaku selama dua hari ini tidak sia-sia. Tuhan mendengarkan isi hatiku. Mau minum kopi?”
“Tidak, terima kasih.”
“Baiklah, seorang pencinta kopi pahit sepertimu yang tidak ingin ditawari minum. Ini sesuatu yang baru. Apakah kamu keberatan jika aku…?
“Teruskan, teman.”
“Aku tahu selama beberapa hari kamu di rumah sakit. Tapi setidaknya engkau menghargai tawaranku. Kami orang Manggarai sangat menghargai sekali namanya tamu. Bagi kami orang Manggarai, tamu itu identik dengan kehadiran Tuhan yang datang mengunjungi kami. Dan tamu wajib minum kopi.”
“Iya itu benar. Beberapa hari aku merasa sakit lambung karena sering mengonsumsi kopi pahit. Aku juga tahu sedikit adat orang Manggarai khususnya cara menerima tamu. Aku pernah mengalami itu waktu berkegiatan di sebuah kampung di Manggarai. Tapi untuk sekarang aku bukan menolak tawaranmu untuk minum kopi. Engkau harus tahu aku baru pulang dari rumah sakit.”
“Baiklah teman. Tapi ke depannya masih minum kopi to?”
“Nanti aku tanya dokter dulu. Tapi rupanya dokter menganjurkan agar aku tidak akan minum kopi pahit lagi.”
Riko Raden, penulis dan penikmat kopi pahit, tinggal di unit Fransiskus Xaverius Ledalero.