Kupang, detakpasifik.com – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan tanah seluas 3.780 hektare di Besipae, Desa Linamuti, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) adalah aset milik Pemprov NTT.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT Alex Lumba yang didampingi Plt Setda NTT Johanna Lisapaly, Kepala Biro Hukum Setda NTT Maks Oder Sombu, Kepala Dinas PUPR NTT Maksi Nenabu dan perwakilan Dinas Kehutanan NTT, Sabtu, 22 Oktober 2022.
Alex mengatakan, pemerintah perlu menyampaikan kepada publik terkait status tanah di kawasan Besipae, menyusul berbagai pemberitaan tentang tanah milik Pemerintah NTT seluas 3.780 hektare itu.
Tanah di Besipae, kata Alex, pada tahun 1982 telah diserahkan oleh keluarga besar Nabuasa yang diwakili oleh Meo Pae dan Meo Besi dan disaksikan oleh para (5) kepala desa, yaitu Desa Mio, Desa Polo, Desa Linamnutu, Desa Oe Ekam dan Desa Enonetan kepada pemerintah provinsi.
Saat itu, tanah di Besipae diperuntukan untuk pengembangan peternakan di Provinsi NTT. Khususnya di Pulau Timor, yang dikenal sebagai gudang ternak.
“Pada tahun 1986, pemerintah memproses sertifikat di atas kawasan tersebut. Dan BPN telah menerbitkannya pada tahun yang sama,” kata Alex.
Namun, pada tahun 2012 silam, sertifikat yang telah diterbitkan BPN tersebut hilang. Demi pengamanan aset, pemerintah pun memproses ulang. Dan kini telah memiliki sertifikat penggantinya.
Namun, lanjut Alex, ada perlawanan berupa pendudukan yang dimotori oleh Selan cs dan Nikodemus Manao bersama 37 kepala keluarga (kk). Mereka mengokupasi tanah tersebut.
“Bahkan mereka mengusir pihak instalasi peternakan yang bekerja di sana lalu menempati gedung-gedung instalasi peternakan,” katanya.
Pemberdayaan masyarakat
Tahun 2020, pemerintah provinsi hendak melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat di lima desa tersebut.
Sebelum pelaksanaan program, pemerintah pun telah melakukan sosialisasi. Hasilnya, masyarakat menerima.
Tetapi, tidak lama setelah itu, ada aksi penolakan dari masyarakat.
Menyikapi situasi itu, Alex menjelaskan, “Pemerintah menghubungi keluarga besar Nabuasa dan meminta kepada mereka untuk memberikan lahan agar 37 kk bisa direlokasi,” jelas Alex.
Sebelum itu, pemerintah pun telah mendirikan rumah di lokasi tersebut. Rumah itu diberikan khusus kepada pada okupan dengan bidang tanah seluas 800 m2.
Dari 37 kepala keluarga, 19 kk menerima. 18 kk lainnya menolak dengan melakukan berbagai aksi protes dan menghilang.
“Padahal rumah telah dibangun dan tanah diberikan.”
Tahun 2022 pemerintah kembali merencanakan pembangunan di Besipae bersama perangkat daerah terkait (dinas: PUPR, peternakan dan pertanian). Tetapi terjadi demo atau penolakan oleh masyarakat di tengah pihak ketiga menurunkan alat berat jenis ekskavator. Pendemo kembali memasuki kawasan itu.
Sebagai tameng, mereka mengedepankan perempuan dan anak-anak.
“Mereka menaiki ekskavator. Ini memiliki risiko yang sangat besar.”
“Ini dipakai sebagai senjata oleh mereka sebagai aksi protes terhadap pemerintah,” kata Alex.
Demi pelaksanaan program yang dimaksud, pemerintah pun menertibkan para okupan, -beberapa di antaranya tidak memiliki KTP di wilayah tersebut- dengan membongkar rumah-rumah yang telah dibangun pemerintah.
Alex menyatakan, pada hari Jumat (21/10) sore dirinya masih bersama Frans Nabuasa di Besiapae. Sebelumnya, ia pun bertemu Nopen Nabuasa.
Prinsip mereka kata Alex, “Tanah itu sudah diserahkan kepada pemerintah Provinsi NTT. Hak mereka terhadap tanah itu sudah tidak ada lagi. Karena pemerintah sudah secara hukum memiliki sertifikat yang sah,” katanya.
(dp)