Sistem Politik yang Tidak Berakar pada Rakyat Pasti Tumbang

David Reeve, Ph.D (tengah) dan Rebecca Meckelburg, Ph.D (kanan). Dok. Ist.

Salatiga, detakpasifik.comSejarawan terkemuka Indonesia almarhum Onghokham dalam buku karya David Reeve, Ph.D menyimpulkan, desa adalah pusat dinamika politik. Karena itu, sistem politik yang tidak berakar pada masyarakat desa pasti akan tumbang atau jatuh.

Salah satu saripati kesimpulan tersebut mengemuka tatkala bedah buku To Remain Myself: The History of Onghokham karya David Reeve, yang digelar di aula Gedung Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW, Salatiga, Kamis, 9 Maret 2023.

Onghokham adalah salah satu intelektual publik Indonesia yang sangat penting dengan lebih dari 300 tulisan selama 50 tahun kiprahnya. Tulisan-tulisannya berisi wawasan orisinal mengenai berbagai topik tentang Indonesia, seperti sejarah kolonial dan pengaruhnya terhadap politik dan masyarakat modern; orang Tionghoa Indonesia; orang pinggiran atau orang-orang marginal; jago atau bandit jawara rakyat; seksualitas di indonesia zaman dulu dan sekarang; makan; lukisan dan kepercayaan tradisional Jawa dari kalangan kraton hingga kaum tani.

Seminar bedah buku ini membicarakan hubungan karya dan kehidupan Onghokham -sebagai sejarawan terkemuka Indonesia- dengan ranah persoalan-persoalan pembangunan di Indonesia sejak zaman pasca-kolonial.

David Reeve, Honorary Associate Professor UNSW, penulis buku: To Remain Myself: The History of Onghokham adalah teman dekat dan orang kepercayaan Onghokham. Buku baru ini melenceng dari arus utama penulis biografi Tionghoa Indonesia, dengan lebih bercerita mengenai Indonesia. Buku ini menunjukkan banyak hal tentang perkembangan pemikiran orang Indonesia yang menulis sejarah pasca-kolonial mereka sendiri. Serta berbagai pengaruh intelektual pada tulisan mereka sendiri.

David Reeve mengemukakan, Onghokham adalah seorang sejarawan terkemuka Indonesia dengan kemampuan multitalenta. Dia bercerita kebiasaan Onghokham memasak makanan selama menempuh studi doktoral di Yale University, Amerika. Juga kelakuan Onghokham yang tidak gubris dengan urusan administrasi kenaikan pangkat dan golongannya di Universitas Indonesia karena baginya, semua urusan administrasi itu haruslah menjadi urusan staf administrasi di kampus. Akibatnya, gaji Onghokham dari UI sangatlah kecil karena sesuai golongan dan pangkat struktural dia di universitas.

Cerita-cerita Reeve itu sungguh mengesankan. Reeve mengisahkan dengan cara yang sangat deskriptif ontologis melalui buku karyanya dan terutama melalui presentasi yang dihadiri para mahasiswa S2, S3 dan para dosen Pascasarjana UKSW itu. Rencananya buku karya Reeve ini di-Indonesiakan oleh penerbit Gramedia Jakarta, pada bulan Juli tahun ini.

Sifat interdisipliner

Penanggap kritis terhadap buku karya Reeve adalah staf pengajar Fakultas Studi Pembangunan, Rebecca Meckelburg, Ph.D. Melalui buku karya Reeve ini, Rebecca mencatat beberapa hal penting antara lain:

Pertama, pengetahuan mengenai sifat interdisipliner cendekiawan Indonesia (dan Indonesianis) pada masa tahun 1950an dan 1960an tampak jelas dalam jejak catatan buku ini.

Kedua, buku karya Reeve ini merupakan salah satu sumbangsih besar Onghokham terhadap kajian nusantara/Indonesia dan khususnya Pulau Jawa yaitu kajian mengenai ‘rakyat jelata’ – mengenai rakyat desa di Jawa.

Disebutkan, sifat interdisipliner cendekiawan Indonesia (dan Indonesianis) pada masanya -tahun 50an s/d 90an sifat interdisiplin ini penting dan berharga untuk digali dan dibahas- sifat interdisipliner dari ilmu yang dikembangakan di masa ini punya relevansi dengan cara ilmuan sosial Indonesia mengkaji berbagai permasalahan dalam pembangunan di Indonesia pada masa lalu hingga masa kini.

Hal itu sangat penting, demikian Rebecca, karena hasil dari karya bersifat interdisipliner intelektual Indonesia dari masa tahun 1950an dan 1960an ini hampir hilang selama Orde Baru. Rebecca mencatat bahwa buku ini membantu para cendekiawan sosial memahami mengapa segala fenomena ini bisa terjadi.

Klik dan baca juga:  Presiden Jokowi Dorong Inisiatif P4G Wujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Karenanya, buku ini menjadi salah satu sumber yang membantu para ilmuwan sosial mewacanakan konsep dan pendekatan interdisiplin yang autentik kepada Indonesia.

Rebecca mengakui, memang pengetahuan bersifat interdisiplin ini tidak pernah ‘menghilang’. Eksistensi program Studi Pembangunan di Fakultas Interdisiplin adalah sebagai suatu bukti.

Menurut Rebecca dengan membaca buku ini para ilmuwan sosial bisa lebih paham awal mula dari kajian bersifat interdisiplin yang lahir di Indonesia pada zamannya (kita juga sebut pendekatan kritis). Kajian sejarah yang dilakukan Onghokham dan mentor-mentor yang berpengaruh intelektual pada dirinya -membawa Onghokham ‘menjelajahi’ gerakan sosial Asia Tenggara dan revolusi kapitalis di Eropa.

Melalui buku ini, David Reeve menguraikan metode Onghokham mengkaji sejarah kolonial ketika  Onghokham mengeksplorasi kebangkitan Mataram Islam (dan kejatuhan Mataram Kuno) –berdirinya dua kesultanan di Yogjakarta dan Surakarta– dan dinamisme politik yang muncul di “mancanegara wetan” atau yang sekarang dikenal sebagai Jawa Timur.

Rebecca menyebutkan, David Reeve menyoroti tiga cendekiawan yang mempertajam pendekatan intelektual Onghokham yaitu Paul Mus, sosiolog Prancis, yang berpendapat bahwa di Asia Tenggara desa adalah “jantung” dari semua dinamika politik. Kedua dan ketiga adalah Eric Hobsbawm dan Richard Cobb.

Karena itu, buku karya David Reeve membawa pembaca pada perjalanan tidak hanya dari kehidupan seorang pribadi –tetapi juga pada perjalanan sejarah Indonesia yang terungkap– dari revolusi Indonesia hingga tahun 1990-an –meliputi masa kemerdekaan, kepresidenan Soekarno dan kebangkitan serta konsolidasi Orde Baru  di bawah rezim Soeharto. Buku ini punya suatu prestasi yang luar biasa.

Perjalanan sejarah Indonesia yang dituangkan melalui biografi Onghokham menjadi kontribusi yang sangat penting karena menawarkan suatu pandangan sejarah alternatif terhadap pengetahuan tentang sejarah nasional yang telah terdistorsi dan ‘direkonstruksi’ oleh rezim Orde Baru dengan tujuan ideologis tertentu. Konstruksi naratif sejarah versi Orde Baru dibuat oleh ‘arsitek’ sejarah Orde Baru –seorang sejarawan terkemuka dan sahabat Onghokham sendiri– yaitu Prof. Nugroho Notosusanto.

Dengan  membaca buku David diketahui bahwa Prof. Nugroho Notosusanto adalah kolega dan teman yang sangat dekat dengan Onghokham meski pikiran dan karya Ong sangat berbeda dengan Nugroho ini.

Kontribusi

Rebecca menyebutkan, potensi kontribusi buku ini sebagai sumbangan karya sejarah tidak perlu diragukan -terutama jika dapat diakses oleh generasi muda Indonesia- dan dapat dibaca baik sebagai teks populer maupun sebagai sumber akademik.

Buku ini pun memberikan wawasan mendalam tentang kolaborasi/interaksi/mentorship antara cendekiawan internasional dan intelektual Indonesia selama masa-masa sejarah tahun 1950an sampai tahun 1990an. Lebih jauh buku ini membahas karya pemikir terkemuka (intelektual perkotaan) Indonesia saat itu serta para intelektual internasional yang dari tahun 1950an akan menjadikan kajian tentang Indonesia sebagai bagian utama dari pekerjaan hidup mereka.

Dari luar Indonesia para Indonesianis yang peduli dengan riset tentang Indonesia dapat disebutkan antara lain –Daniel S. Lev, Herbert Feith, Ruth McVey, Ben Anderson and Mary Somers, Anthony Reid, Harry Benda, George Kahin, Clifford Geertz, Barbara Hatley, dan Rex Mortimer.

Di Indonesia Onghokham berbaur antara lain dengan tokoh-tokoh mahasiswa nasionalis radikal sayap kiri, seperti sahabat karibnya Kartjono dan Iwan Totok dari GMNI, dan rekannya sejarawan Sartono Kartodirdjo di UGM, juga dengan aktivis Soe Hok Gie dan intelektual Arief Budiman.

Klik dan baca juga:  Pentingnya Pembelajaran Kurikuler Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

Nama-nama yang disebutkan diharapkan akan semakin dikenal para dosen dan mahasiswa dan mencari karya mereka untuk memahami kontribusi terhadap ilmu pengetahun sosial tentang Indonesia. 

Rebecca menyebutkan, melihat karya sejarah dapat juga meneropong pengalaman sejarawan di tempat lain seperti Richard Cobb. Dia ahli kajian tentang Revolusi Prancis dan ahli dalam kajian “sejarah dari posisi kelas sosial bawah”. Richard Cobb adalah seorang sejarawan yang tidak biasa, cukup nyentrik, yang menulis khusus tentang pengalaman sehari-hari orang biasa dan dampak Revolusi Prancis terhadap orang biasa.

Orang lain yang berpengaruh terhadap pemikiran Onghokham adalah Eric Hobsbawm, sejarawan Inggris terkenal, seorang Marxis seumur hidup, yang menganalisis peran kapitalisme dalam perubahan sosial-ekonomi-politik. Hobsbawm juga menulis tentang Revolusi Prancis, tentang “berandal/preman sosial”, sebuah tema yang diangkat Onghokham dalam tesisnya.

Onghokham menggunakan wawasan dari kajian-kajian di bidang studi politik, sosiologi, dan antropologi dalam metode sejarah yang dia buat -tetapi seperti David Reeve tunjukkan dalam bukunya – metode ini muncul ‘berdasarkan kebutuhan’. Onghokham memulai dengan kasus empiris –dan kemudian menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk menginterogasi temuan-temuannya.

Dalam tesis doktoralnya, dia menggunakan wawasan-wawasan ilmu bersifat interdisiplin ini untuk mengkaji dan mengidentifikasi berbagai tahapan dalam proses konsolidasi negara kolonial Belanda dan melemahnya kekuatan sosial tradisional (pra-kolonial).

Onghokham mengkritik keras ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Belanda tentang Indonesia. Menurut Ong, intelektual Belanda atau orang nasionalis Indonesia yang mengikuti pendekatan intelektual Belanda ini sedang menipu diri mereka sendiri ketika mau melihat desa Jawa di masa abad ke-19 sebagai masyarakat yang damai dan tidak berubah.

Secara khusus Onghokham mengkritik pakar hukum Belanda yang hebat Cornelis van Vollenhoven karena “usahanya untuk me(re)konstruksi sesuatu pandangan yang indah dari kekacauan yang diciptakan oleh abad kesembilan belas” – karena kenyataan mengacau ini justru merupakan dampak perluasan eksploitasi kolonial di Pulau Jawa.

Di sini, Onghokham menawarkan suatu pendekatan ontologis dan epistemologis yang bersifat ‘indigenous’ yang muncul dari ke-Indonesia-an Onghokham. Kontribusi ini sangat layak dipelajari kita mau memahami sifat kolonialisme dan imperialisme di Indonesia dan dampaknya sampai masa kini.

Pada sisi lain sumbangsih besar Onghokham terhadap kajian nusantara/Indonesia dan khususnya Pulau Jawa. Onghokham menaruh perhatian besar –bahkan bisa dibilang Onghokham cukup terpesona oleh orang-orang desa Jawa ‘kecil’ -khususnya politik mereka dan kontribusi mereka dalam pembentukan Indonesia.

“Saya memusatkan perhatian pada poin kedua ini karena sangat selaras dengan pengalaman saya sendiri selama lebih dari 20 tahun tinggal di Jawa Tengah bisa melihat kelanjutannya –ini karena secara kebetulan belum lama ini saya menyelesaikan disertasi tentang tindakan politik dan kontribusi politik rakyat kecil Jawa terhadap perubahan sosial dan politik pasca-Indonesia Orde Baru,” jelas Rebecca.

Rebecca menyebutkan, salah satu bab tesisnya banyak menyebut karya Onghokham dan Carey. “Saya harap saya berlaku adil terhadap warisan penyelidikan sejarah mereka dengan menggunakan metode sejarah mereka untuk memeriksa kehidupan dan proyek politik rakyat miskin pedesaan. Di sini saya mau kutip dari buku David –di sini David menjabarkan mengenai pandangan Onghokham terhadap masyarakat Jawa ini,” jelasnya.

Topik utama surat-surat dan kehidupan Onghokham adalah pesonanya yang semakin mendalam dengan budaya Jawa, baik versi desa -atau yang kita sebut abangan -maupun varian aristokrat atau priayi. Ini menjadi salah satu tema utama hidupnya, kajian dan tulisannya, dan itu dimulai ketika Onghokham menemukan desa pada tahun 1962, pada usia 29 tahun.

Klik dan baca juga:  Jokowi: Krisis, Resesi dan Pandemi Itu Seperti Api

Pertama, Onghokham mengunjungi desa-desa di sekitar Jakarta, di mana dia berbicara dengan becak (becak), sopir, penjual buah dan pembuat batik, dan dikejutkan oleh upah mereka yang sangat rendah.

Kemudian, pada pertengahan 1962, Onghokham mendapatkan “pengalaman pertamanya tentang desa Jawa, kehidupan desa”, ketika dia berkunjung selama beberapa hari di sebuah desa antara Solo dan Boyolali di Jawa Tengah. Saat itu Lebaran (Idulfitri), perayaan setelah akhir bulan puasa, dan dia pergi ke sana bersama Mary Somers dan Ben Anderson untuk mengunjungi Kartjono dari GMNI.

Onghokham kagum dengan betapa penduduk desa mendapat informasi tentang seluk-beluk politik Indonesia. Mereka tidak memiliki listrik tetapi menggunakan radio bertenaga baterai. Beberapa membaca koran dan menyampaikan berita kepada mereka yang tidak bisa membaca. Mereka tahu tentang reshuffle parlemen, kepribadian para menteri, Asian Games, anggaran pemerintah, dan pertempuran di Irian Barat. Onghokham heran dengan cara berpikir mereka.

Onghokham membuat perbandingan menggunakan karakter wayang. Beliau lihat para elite Indonesia berpikir dengan cara yang sangat rumit namun terkadang tidak logis, seperti Arjuna, Bima, Gatotkaca dan Judhistira, para pahlawan Ramayana dan Mahabarata. Sementara orang desa nampak sebaliknya, sebagai orang sangat sadar dan logis seperti Bagong, Semar, Petruk dan Gareng, pelayan dari para pahlawan.

Mengutip Onghokham

“Kami sering menganggap penduduk desa itu remeh dan bodoh… tetapi saya menemukan bahwa mereka sangat cerdas dan logis (apa yang kita akan sebut “tajam”). Saya heran pada jawaban tepat yang mereka berikan atas pertanyaan saya dan bagaimana mereka memahami arti dari pertanyaan saya. Dan sungguh kenangan yang mereka miliki tentang peristiwa masa lalu…. Sangat menarik menurut saya untuk melihat bagaimana orang desa pada kenyataannya melihat dan memahami sejarah atau lebih khusus sejarah yang bersifat lebih kini, bagaimana perasaan mereka tentang hal ini dan bagaimana sejarah memperlakukan mereka.… Sementara – hingga saat ini satu-satunya sejarah yang ditulis adalah tentang elite, politisi dan tokoh nasional, diplomasi dan segala hal itu.”

Sejak pertama kali saya membaca tulisan Onghokham saya sangat terkesan –dan dengan buku ini saya semakin paham mengapa –karena ternyata yang dialami Onghokham sampai punya pemahaman tentang masyarakat desa di Jawa tahun 1960an dan 1970an – tidak jauh berbeda dengan yang saya alami di pedesaan Jawa pada tahun 2001 hingga sekarang. Yaitu 40 tahun lebih kemudian kesan saya terhadap orang-orang pedesaan miskin adalah sama dengan yang dialami oleh Onghokham pada masanya.

Diskusi buku karya David Reeve ini diikuti sejumlah dosen Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW, antara lain, Titi Prabawa, Ph.D, Dr. J. Mardimin. Hadir pula para mahasiswa program doktoral Studi Pembangunan antara lain Nefos Daili, mantan aktivis mahasiswa tahun 1980an. Diskusi buku karya Reeve dimoderatori kandidat doktor studi pembangunan, Aveanty Miagina, S.E, M.M.

 

(dp/pr)