“Bila kau mencapai jantung kehidupan, kau akan mendapati dirimu tidak lebih tinggi dari penjahat, dan tidak lebih rendah daripada nabi” (Kahlil Gibran).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Jurang kehidupan
Ganjalan itu bisa halangi siapa saja. Di waktu dan kisah yang terlewati, telah ada jurang kegagalan dan ketidakhebatan punya kita. Kita jadinya serius dengan segala retak diri dan situasi itu. Bahkan bisa merasa terbantai oleh keseriusan teramat sangat. Kita bisa saja tampak tak sanggup kendalikan diri lagi di dalam badai dan gelombang serta pusaran kehidupan. Lalu?
Apakah yang dapat diandalkan? Mestikah kita mengacuhkan semuanya bersama berjalannya waktu? Atau kita segera meretas satu dua jalan pintas untuk atasi rasa suram di diri. Mungkinkah kita mesti kembali menata jati diri baru penuh asa? Tanpa kepedulian pada silam yang suram. Pun pada segala yang membingungkan?
Sayangnya, kita bisa saja masuk dalam narasi mengawang dalam kerangka hidup penuh ilusi. Kita hidup dalam gambaran diri yang dibayangkan belaka. Jauh dari kenyataan yang telah dilewati dan dialami. Tidakkah di sini beban keputusasaan kian menjepit? Lalu harus bagaimanakah?
Kita bukanlah segalanya
Maka, merindukan ‘kesempurnaan’ mesti dikuburkan. Kata si bijak, “Perfeksionisme bukanlah jawaban untuk keputusasaan.” Di titik lain, terpaan kata dan sikap luar yang membentur diri sepantasnya diterima lapang dada. Itulah tanda bahwa kita bukanlah siapa-siapa, apalagi segalanya. Ada yang suram dari kita, yang telah seramkan kehidupan bersama.
Siapa pun manusia tak pernah diwajibkan untuk sanggup menyukakan semua. Kita bisa saja tak jadi terang bersinar senantiasa. Iya, kecuali kita berjuang sendiri dengan berakrobat untuk sebuah pencitraan diri yang semu. Apa yang di hari itu digemakan sebagai ‘putra terbaik atau putri terindah’ bisa saja, di kemudian hari, di saat kini, melangkah tertatih-tatih dalam kisah hidup penuh redupnya. Dan tak berhenti di situ…
Terkadang ‘yang tak hebat dan tak indah’ punya kita dipakai sesama dengan begitu bebas untuk menghebatkan diri dan kelompok sendiri.
Sebab kata si bijak lagi, “Orang pasti tertarik untuk kibarkan bendera superioritas sendiri dengan memakai tiang ketidakhebatan orang lain.” Dan itu yang akan terus ‘dimainkan, disuarakan, dan diwartakan.’ Itu tak ubah bagai suara di Farisi dalam kenisah, “Aku tidak sama dengan semua orang lain… tidak juga seperti pemungut cukai ini” (cf Lukas 18:9-14).
Adu untung dalam kegagalan
Adakah sekelompok yang katanya disebut koalisi? Koalisi adalah animo lewati jembatan penyeberangan untuk mencari dan berpadu dalam ‘kepentingan yang satu dan sama.’ Dan bersatu dalam hadapi musuh bersama pula. Dan kegagalan atau kesalahan, pun kedosaan ‘grup sebelah’ adalah ‘makanan empuk untuk kompetitornya.’
Tetapi, sudahlah! Sebagusnya setiap kita ‘pulang pada diri sendiri.’ Untuk tidak lagi enteng mulut dan garang di lidah, bahkan penuh benci terhadap yang lain.
Toh, siapa pun kita manusia, katanya, tidaklah lebih atau kurang dari sesama. Tapi kita, manusia ini, hanyalah berbeda dari satu dengan yang lain dalam kisah dan peristiwa yang disusuri. Iya, “Beda nasib saja…”
Dalam dunia, di keseharian dan dalam kebersamaan apa pun, sejatinya, “Setiap kita dapat satu peranan, yang harus kita mainkan. Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura.”
Ada sekian banyak sesama yang lewati peran dan jalan-jalan hidup penuh liku. Penuh duka dan linangan air mata. Kita pasti tak bisa begitu saja royal ‘menghakimi’ atas dasar ‘kemegahan diri sendiri serentak rasa diri penuh dengan segala lebihnya.’
“Siapakah kita sehingga gencar sekali menghakimi, mencela, dan mengkasari sesama?” (cf Roma 14:10 ). Yang nyata dari suara Yesus bahwa, “Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan padamu” (cf Matius 7:2).
Namun, ini sama sekali tak berarti bahwa tak boleh ada correctio fraterna. Bahwa tak boleh ada suara alarm atau cahaya mercusuar yang mengingatkan. Bahkan ada sesama yang dalam ‘diam dan sejuk hatinya’ sebenarnya telah berbicara kuat dan lantang.
Dipanggil ‘pulang’
Alarm itu perlu dan sungguh dibutuhkan! Kita bukanlah siapa-siapa yang wajib tanpa kurang dan tiada erornya. Setiap kita mesti bersyukur bahwa ada suara dan cahaya sesama yang menerawang dan mengingatkan! Masih ada sekian banyak orang yang berhati mulia untuk ‘mendapatkan kita kembali sebagai saudara’ (cf Matius 18:15).
Tetapi, di sisi lain, rahmat Allah tetap kita rindukan. Rahmat itu bekerja pasti dalam situasi dan keadaan tertentu. Khasiat rahmat Allah tampak saat yang lama, yang usang dan suram segera mesti berlalu dan diperbaharui. Untuk meretas jalan pulang ke alam baru itu siapa pun mesti pulang kepada diri sendiri.
Mengaribi diri sendiri apa adanya adalah satu titik tolak indah menuju alam baru. Si bijak ingatkan, “Kita harus belajar untuk datang dengan segala kekecewaan, kegagalan dan kesalahan…” Tidakkah Tuhan tetap setia menanti untuk ‘memeluk kita?’ Kita selalu bisa dan punya kesempatan untuk pulang walau kita telah berkelana.
Dari perumpamaan Yesus dikisahkan sang ayah setia menanti dalam rindu si bungsu yang hilang dan mengembara di tanah asing (Lukas 15:11-32).
Yakub, yang sadari akan kesalahannya terhadap Esau, saudaranya, akhirnya sanggup bersua dan berbaikan kembali dalam suatu ‘perjalanan pulang apa adanya.’ Tangisan Saul dan dekapannya penuh kasih terhadap Yakub, adiknya, (Kejadian 33:4) terlampau kuat untuk cairkan satu peristiwa silam yang ‘pernah membuatnya marah sejadinya’ (Kejadian 27:41).
Kita renungkan kata-kata penuh makna: ‘Kita tetap diingat dan didoakan walau kita banyak berbuat salah. Kita bisa pulang walau sudah mengembara. Kita bisa mulai dari awal lagi walaupun semuanya sudah berantakan. Kita tak perlu diam di tempat di mana kita berada sekarang.’
Kepenuhan dalam Tuhan: kasih
Rahasia iman dan hidup rohani bukanlah pada pencapaian kepuasan rohani (konsolasi spiritual) sambil menjadi buta atas segala titik batas ‘kita apa adanya.’ Setiap kita tercipta atau ‘hidup-bergerak dan ada’ untuk berziarah menuju kepenuhan dalam Tuhan.
Kita, sepanjang hidup ini, tidak pernah tahu sepenuhnya siapa kita ini. Sebab itulah, kita pun tak pernah tahu setepat dan sepastinya mengenai sesama kita dengan mengandalkan pancaindra yang terbatas.
Kita memang sepantasnya melihat segala sesuatu serta memandang sesama dengan mata iman dan dalam pandangan kasih Allah. Iya, dalam bola mata Allah sendiri. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (1 Samuel 16:7).
Kebenaran iman Kristen tampak dalam keteguhan hati untuk memandang orang lain dalam kasih. Sebaliknya, “Kita tidak dapat melihat orang lain dengan benar jika kita tidak memandang mereka dengan belas kasih.”
Akhirnya…
Tetapi, di atas segalanya, dalam rahmat Tuhan yang sungguh mengasihi diri kita, mari kita pulang kepada diri sendiri. Iya, pulang kepada diri sendiri apa adanya. Hanya dengan itu kita jadi sejuk, tak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap siapa pun sesama.
Sering tuntutan kita terhadap orang lain terlampau berat. Dan kita tetap saja mencela dan merendahkannya, hanya karena ia tak penuhi syarat dan harapan kita untuk ‘terbang.’ Bagimu, dia tetaplah ‘seorang penjahat, dan engkau sendiri bagai seorang nabi.’ Mungkin di sini, si Kahlil Gibran tersenyum geli.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma