Komunitas bangsa, tanah tumpah darah, kini lagi riuh dengan ‘perang kata’. Saling serang dalam sikap penghakiman dan tuduhan tercecer sana-sini.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Mari bertarung untuk tertegun sejenak renungkan kalimat penuh makna namun tantangan ini:
“Komunitas tidak dibangun berdasarkan impian. Komunitas tidak akan ada hanya dengan bermimpi. Komunitas tidak akan ada hanya karena kita punya kerinduan untuk memiliki suatu tempat untuk bersahabat, memiliki hubungan yang bermakna, dan solidaritas. Komunitas tidak juga akan terbentuk hanya dengan doa semata.”
Komunitas bukanlah kumpulan orang-orang ‘jago kata’. Bukan pula dibentuk oleh para ahli nujum untuk ramalkan masa depan dengan rumusan nyentrik penuh pesona. Bukan!
Dunia memang sudah terbeban oleh inflasi kata dan suara. Sudah sumpek dengan segala rumusan ini dan pernyataan itu. Sebab, di mana-mana orang mau bersuara. Bahkan terkesan hendak paksakan kehendak dalam pernyataan liar. Tanpa arah nan pasti.
Komunitas, di titik tertentu, adalah “karunia yang rapuh di mana orang yang memiliki persamaan berkumpul, dibangun di atas tindakan. Komunitas terwujud ketika kita siap untuk menemukan sasaran dan tujuan yang sama dan bermakna…”
Baca juga:
Tempat Kehormatan, Pencitraan, Ritual Kesalehan dan Calon Kita
Biarlah Kita Seperti Apa Adanya
Bertolak dari segala ‘kerapuhan dan lubang menganga’ dalam kebersamaan, itulah langkah awal perjalanan selanjutnya nan elegan. Maka, komunitas dalam tingkatan apa pun menuntut tindakan nyata, perbuatan konkret atau apa pun yang disebut pelayanan yang diteguhkan dalam spirit pengorbanan. Komunitas adalah ‘cara nyata mencari solusi dari segala lubang menganga dan kerapuhan itu.’
Sebab itulah komunitas sepantasnya terbebas dari ‘saling tuduh, mempersalahkan, dan menghakimi sejadinya.’ Komunitas selayaknya diluputkan dari tendensi ‘omong banyak, omong besar dan omong tinggi’ tanpa tindak, sikap dan perbuatan nyata. Komunitas jangan dibikin rabun dalam mimpi, visi dan rumusan arah yang terganjal hanya sebatas retorika hedonistik verbalis.
Komunitas bangsa, tanah tumpah darah, kini lagi riuh dengan ‘perang kata’. Saling serang dalam sikap penghakiman dan tuduhan tercecer sana-sini. ‘Kerapuhan bangsa dan lubang menganga terhampar di sana-sini.’ Kita tak bergerak dari kepedulian bersama. Kita masih terganjal pada main tuduh kepada yang lain. Dan yang dituduh pun bertarung ribut gemuruh dalam segala klarifikasi.
Komunitas bangsa, di hari-hari ini, jelang pilih pemimpin dan wakil rakyat, tak sepih dari kasak-kusuk ‘saling serang dan klarifikasi persoalan’. Kita makin jauh dari spirit gotong royong demi entaskan soal bersama (publik). Sebab, itu tadi, alam kerapuhan dan berbagai lubang menganga tidak dialami sebagai ‘gangguan atau petaka bersama’.
Di momentum penuh kompetisi ini, antar kelompok penuh gemuruh untuk saling serang. Takutnya, pesta rakyat yang semestinya ceria penuh kekeluargaan, jadinya tegang penuh cemas.
Baca juga:
Padang Gersang Kerohanian Vs Rindunya Tuhan yang Menanti
Yusuf ke Mesir: Skenario Perdagangan Manusia?
Komunitas yang seharusnya jadi tempat seluruh diri dan harapan bertumpuh dan bertumbuh, justru jadi teracak-acak. Tidak karena bertolak dari karunia ‘kerapuhan’ kolektif, tetapi bahwa ada sebagian yang tetap dihakimi sejadinya, dan lainnya ‘merasa pahlawan, selalu rasa benar dan suci lahir di dalam batin’ walau tanpa tindak dan solusi nyata.
Sungguh tak gampang berjalan bersama sebagai komunitas, pun sebagai bangsa. Kita masih tergurita belitan rasa. Ada yang dicurigai berpesta pora dalam ketamakan dan penuh untung demi kepentingan. Dan haruskah yang lain mesti dipaksa ‘cuci piring kotor’ dari segala ‘pesta pora’ itu?
Mari kita bijak sikap untuk mengayak para calon pemimpin yang jeli melihat kerapuhan dan bakal penuh komitmen demi tindak solutif. Sebab di etape perjalanan selanjutnya kita mesti tetap lulut dari segala inflasi kata-kata. Yang memang hanya sebatas retorika berbibir manis.
Verbo Dei Amorem Spiranti