NTT adalah kawasan yang sangat menarik bagi negara tetangga untuk berinvestasi.
Oleh Ben Senang Galus
Beberapa hari lalu saya mendapat WhatsApp (WA) dari teman eks Timor Timur di Belu. Banyak yang dia ceritakan dalam WA itu. Namun saya mencoba mengambil yang penting saja. Ringkasnya seperti ini, “Nasib eks Tim Tim sangat memprihatinkan. Tidak saja mereka yang eks Tim Tim namun juga warga penduduk asli. Warga negara Indonesia yang tinggal di perbatasan hidupnya sangat menderita, karena masalah kemiskinan”.
Terinspirasi WA teman tersebut saya menulis atikel ini. Masalah di perbatasan NTT dengan Timor Leste (TL) adalah persoalan lawas Indonesia yang masih dihadapi hingga saat ini. Selain menyangkut sengketa batas wilayah, Indonesia juga belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakat di perbatasan, infrastruktur masih buruk, dan aksi kejahatan masih sangat mudah ditemukan.
Kompleksitas masalah di wilayah perbatasan NTT dengan TL tentunya mengharuskan pemerintah daerah bekerja ekstra keras. Adalah fakta bahwa kondisi ekonomi di perbatasan masih jauh tertinggal dan sarana pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat juga sangat terbelakang. Ketika masyarakat mengalami ketertinggalan, maka dampak lain akan langsung menyusul. Misalnya, kejahatan lintas batas seperti penyelundupan barang, perdagangan narkoba dan lain sebagainya.
Hal positif dalam kehidupan berdampingan antara NTT dengan TL tentunya masih ada. Selain memiliki kesamaan bahasa dan budaya, hubungan sosial ekonomi penduduk di perbatasan kedua negara juga mudah cair meski hubungan ini mudah pula tersulut sengketa. Untuk itulah, butuh penanganan dan solusi kerjasama yang baik antar kedua negara.
Kawasan ekonomi khusus perbatasan
Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Perbatasan (KEP) atau Special Border Economic Zone (SBEZ) adalah satu solusi untuk menangani masalah ekonomi di perbatasan NTT dan TL. KEP adalah kawasan yang mendorong kegiatan ekonomi, perdagangan, dan pariwisata di sekitar perbatasan dengan melibatkan usaha kecil dan menengah (UKM) dan bukanlah kawasan berskala besar untuk mata rantai produksi. Dalam kalimat sederhana, KEP adalah semacam pasar bersama antara masyarakat perbatasan.
KEP sebetulnya melandaskan pada kemudahan pergerakan barang dan orang di kawasan lintas batas. Untuk mendukungnya, tentu butuh infrastruktur yang baik dan penyediaan fasilitasi perdagangan (bea cukai, imigrasi, karantina, dan keamanan) serta fasilitas single-stop inspection.
Selain untuk peningkatan perdagangan, KEP dibutuhkan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan di perbatasan seperti sengketa teritorial, kejahatan lintas batas, dan penanggulangan kemiskinan.
NTT bisa belajar dari contoh sukses pengembangan kawasan yang sama di negara lain, yaitu perbatasan Malaysia-Thailand, kemudian wilayah negara-negara Sungai Mekong (Great Mekong River-GMS) yang terdiri dari Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Tiongkok. Hal serupa juga terjadi di kawasan Oresund yang menjadi perbatasan antara Denmark-Swedia.
KEP yang dibangun tidak hanya untuk mempromosikan perdagangan dan pariwisata, juga untuk memproduksi barang-barang dan menyediakan lapangan kerja. Demikian juga Pemerintah Provinsi NTT hendaknya menyediakan fasilitasi perdagangan dan single-stop inspection.
Kawasan Atapupu, misalnya, sebagai kawasan bongkar muat barang bisa dibuat KEP agar lebih maju lagi. Kawasan ini adalah kawasan berskala besar dengan cakupan banyak sektor di dalamnya yang menghubungkan rakyat NTT dan TL. Kawasan Atapupu harus dibuat model KEP, mendorong berbagai aktivitas di sejumlah sektor seperti bisnis, ekonomi, pendidikan, dan pemukiman.
Kawasan Atapupu harus dimanfaatkan sehingga mampu menghubungkan dan mengasimilasikan dua budaya dari dua negara berbeda agar memiliki konektivitas sosial yang tinggi. Baik NTT maupun TL memberikan konsesi bagi sektor privat untuk membangun, mengoperasikan dan mengelola Kawasan ekonom Bersama di bawah pengawasan kedua pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, untuk membangun dan mengembangkan KEP, Indonesia sebetulnya telah mempunyai kerangka hukum dan kelembagaan yaitu UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara sebagai regulasi utama dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai lembaga utama. BNPP juga telah menerbitkan rencana induk dan rencana strategis. Dalam implementasinya, perkembangan pembangunan perbatasan menurut teman saya tadi sama sekali tidak jalan.
Selain itu, NTT dan TL harus menyusun kerangka kerjasama yang khusus bisa diterapkan dalam pembangunan KEP. Kerjasama itu terkait dengan border crossing, border trade, dan komisi bersama.
Persoalannya, hingga saat ini NTT belum memiliki kerangka regulasi dan kelembagaan yang khusus untuk KEP lintas batas. Kerangka hukum dan kelembagaan untuk KEP adalah keniscayaan, termasuk harmonisasi kebijakan sebagai akibat penyediaan KEP. Meskipun demikian, NTT dapat memulai studi yang komprehensif, pembicaraan dan mengajukan proposal mengenai KEP bersama dengan negara-negara tetangga.
Pada dasarnya, kita tidak dapat mengaitkan persoalan perbatasan terhadap aspek pertahanan dan keamanan semata. Bagaimanapun, persoalan perbatasan mesti dikaitkan juga dengan kesejahteraan ekonomi perbatasan.
Jika perbatasan dan kedaulatan hendak tetap terjaga, kesejahteraaan masyarakat perbatasan dan infrastruktur di sekitar wilayah itu mesti menjadi fokus utama. Kegiatan lintas batas ilegal seperti perdagangan manusia, penyelundupan, perdagangan narkoba, karena persoalan kesejahteraan tadi.
Inisiatif untuk membangun KEP adalah hal yang tidak bias dibaikan, dan menjadi salah satu solusi. Namun begitu, tujuan pembangunan KEP tidak akan diperoleh jika masyarakat tidak diberikan akses yang cukup terhadap sektor ekonomi dan keuangan. Kuncinya, pembangunan perbatasan harus dijalankan secara simultan dan komprehensif, sehingga pembangunan KEP akan memberikan dampak positif bagi perbatasan negara sebagai beranda terdepan Indonesia.
Keuntungan bagi NTT adalah sumber daya alam cukup melimpah. Dan TL dengan mata uang dollar penduduk setempat di daerah perbatasan mendapat keuntungan berlipat ganda. Yang paling penting ialah mendidik birokrasi menjadi inovatif, berjiwa entrepreneur, dan tidak takut akan take risk. Yang paling penting juga ialah kemauan baik pemerintah daerah NTT membangun fasilitas publik, seperti rumah sakit, sekolah, pasar, infrastruktur bandara di Atambua, diperbaiki.
Demikian juga buka pasar malam bersama antar NTT dengan TL. Pameran produk bersama. Ini semua butuh keseriusan pemda NTT. Tidak saja kerjasama dengan TL, bisa diperluas, dengan Australia, Selandia Baru. NTT adalah kawasan yang sangat menarik bagi negara tetangga untuk berinvestasi. Namun yang harus diperhatikan ialah jangan sampai pulau-pulau di NTT dijual ke negara asing. Dengan cara demikian NTT akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Pasifik. Pemda NTT, harus berpikir revolusioner. Semoga!
Ben Senang Galus, warga eks Tim Tim, tinggal di Yogyakarta