Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd (Kepala SMPK Frateran Ndao)
“Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum,” (Mahatma Gandi)
Tema Paskah tahun 2021: “Berpaling Kepada Sang Hidup” (Yohanes 20:14-16).
Tema Paskah 2021, mengajak kita untuk kembali kepada Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup. Sebab, kita adalah manusia yang tersesat, yang seringkali menyimpang dari jalan Allah akibat dosa. Dia adalah Adam perjanjian baru, yang memulihkan hubungan antara manusia dengan Allah yang telah dirusakan oleh Adam perjanjian lama. Oleh karena, sejak awal setiap manusia siapapun dia adalah citra Allah, sebab dia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Sebagai citra Allah, maka sesungguhnya manusia itu adalah makhluk yang istimewa, sebab memiliki harkat dan martabat yang berbeda dari ciptaan Allah yang lainnya. Juga manusia dikaruniai akal budi dan kehendak (hati), dan itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Tidak hanya itu, sejak dalam kandungan, kita manusia telah dikuduskan oleh Allah sendiri. Allah bersabda “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan,Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa,”( Yer. 1:5).
Namun, jika dalam peziarahan hidup kita manusia jatuh kedalam dosa, itu karena kita telah menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita atau karena manusia tidak patuh terhadap Tuhan. Tuhan bersabda kepada manusia pertama, bahwa “Semua pohon dalam taman ini,boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati,” (Kej. 2:16-17).
Oleh karena itu, semua manusia telah kehilangan kemuliaannya, akibat pelanggaran yang disebabkan oleh manusia pertama, sehingga sejak saat itu, manusia telah jatuh dalam dosa. Dan upah dosa adalah maut (mati, dan masuk neraka), tetapi kasih karunia Tuhan (percaya kepada Yesus) adalah hidup kekal. Dia adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6). Tetapi, walau Yesus mengatakan bahwa Dia adalah jalan, kebenaran, dan hidup, namun manusia tetap tidak patuh pada–Nya. Itulah manusia.
Siapakah Manusia Itu
Secara etimologi, kata “manusia” berasal dari bahasa Sanskerta yakni dari kata “manu”, dan bahasa Latin yakni “mens” yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Oleh karena itu, sesungguhnya manusia adalah makhluk berpikir (homines autem cogitandi creaturae).
Dengan demikian, melalui akalnya manusia sesungguhnya tahu membedakan mana yang baik yang harus dilakukan, dan mana yang tidak baik yang tidak perlu dilakukan. Itulah fungsi dari akal budi manusia. Tidak cuma itu, manusia juga memiliki hati, sebagai pusat pertimbangan, juga tempat perjumpaan dengan Tuhan. Namun, fakta berbicara lain, bahwa banyak kali manusia yang berakal budi itu, justru akalnya tidak dipakai dan hatinya pun tidak. Itu artinya akal sehatnya tumpul dan hatinya telah membatu.
Hal ini, kita bisa saksikan di layar TV, atau di medsos, banyak orang yang katanya berpendidikkan, dengan bertitel Dr, atau Prof, atau gelar lainnya, namun banyak kali nalar atau akalnya tidak dipakai, sehingga seenaknya mengkritik, seenaknya merendahkan, seenaknya melecehkan, dan seenaknya menghina atau mencaci maki orang lain, hanya karena berbeda pilihan politik atau berbeda pandangan dengan kita.
Etika atau tata krama sebagai orang Indonesia yang terkenal dengan budaya sopan dan santun tidak tampak, bahkan sebagai manusia berakal budi dan berhati nurani jauh dari harapan, apalagi dengan gelar pendidikkan yang mentereng, harusnya semakin bijak, semakin rendah hati, semakin pandai berdiplomasi. Ibarat ilmu padi dan bambu, yang semakin berisi dan semakin tinggi pendidikkan atau posisi, harusnya semakin merunduk, tanda kerendahan hati. Dan jika tidak, maka orang meragukan kualitas diri kita dengan gelar yang mentereng. Mengapa? Sebab, kualitas diri kita dapat diukur dari sikap, perilaku, tutur kata dan perbuatan kita. Maka, semakin tinggi tingkat pendidikkan kita, harusnya lisan kita bernas, bermutu, berbobot, dengan memperhatikan atau menggunakan standar etika komunikasi. Oleh karena itu, kritik boleh pedas, tajam, namun pilihan katanya atau diksinya harus yang sopan santun yang tidak membuat orang yang dikritik terluka atau sakit hati. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi ada etikanya, bukan hanya asal bunyi.
Ada ungkapan “think before speak”, artinya berpikirlah sebelum berbicara. Sebab, baik menurut kita, belum tentu baik menurut orang lain. Dan, sebagai makhluk sosial atau yang oleh Aristoteles menyebutnya zoon politikon, tentunya komunikasi tidak lepas dari kehidupan sehari–hari. Tanpa adanya etika komunikasi, dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kesalahpahaman, pertengkaran, perselilisihan, yang berujung “pembunuhan karakter”, sehingga hubungan menjadi buruk.
Itu artinya kita telah menjadi serigala bagi yang lain atau “homo homini lupus”. Padahal sebagai makhluk sosial kita harus menjadikan sesama yang lain sebagai teman atau “homo homini socius”, sebab bagaimanapun juga kita adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Dan ingatlah juga bahwa, kita disebut sebagai manusia, karena kita hidup bersama dengan manusia yang lain. Kita semua sama di hadapan Tuhan, sebagai makhluk mulia yang berakal budi dan berhati nurani, namun yang membedakan kita adalah karakter kita.
Confucius mengatakan sifat dasar manusia adalah sama, yang menjadikannya berbeda adalah kebiasaan. Maka, kita sebagai manusia yang berakal budi dan berhati nurani itu, perlu merefleksikan tentang eksistensi dan hakikat kita sebagai manusia. Bahwa tidak ada sesuatu pun dibawa kolong langit ini yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Atau segala sesuatu berubah, tidak ada yang tinggal tetap, satu satunya yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri, yang dikenal dengan ucapan “panta rhei kai uden menei”, atau “nothing endures but change,” demikian kata Herakleitos. Maka, tidak ada kata terlambat untuk berubah atau untuk memperbaiki diri (it’s never to late to mend).
Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah bersahabat dengan perubahan itu sendiri, seperti yang dikatakan pujangga yang bernama Melvin Tolson (1898-1966) yang menulis “karena kita hidup, alam semesta yang berubah-ubah, mengapa manusia menentang perubahan?” Intinya adalah manusia bisa berubah berkat akal budi dan hati nuraninya. Maka, bagi kita Paskah adalah buah pertobatan atau buah perubahan.
Paskah
Kata “Paskah” berasal dari bahasa Yunani, “Paskha”, yang berasal dari bahasa Aram untuk istilah dalam bahasa Ibrani “Pesach” (bahasa Inggrisnya: “Passover”) yang kita sebut dengan Paskah Yahudi. Namun, arti hari raya Paskah dapat dimaknai oleh banyak orang Kristiani sebagai hari kebangkitan Yesus Kristus, atau hari kemenangan Yesus Kristus atas maut. Kita tahu bahwa Yesus datang ke dunia dan rela menderita sengsara, wafat di kayu salib, hanya untuk menebus dosa dosa kita manusia. Namun karena Yesus adalah Allah, maka pada hari ketiga Ia bangkit dari antara orang mati. “Dan jika Yesus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman dan kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang orang yang mati dalam Kristus,” (1 Kor. 15:17-18).
Oleh karena itu, sesungguhnya dosa-dosa manusia lama kita telah turut mati dan dikuburkan bersama Yesus, agar saat Yesus bangkit dari kubur-Nya, kitapun ikut bangkit bersama Dia sebagai manusia baru, yang memiliki budi dan hati yang baru. Inilah yang disebut sebagai manusia Paskah. Artinya Paskah kebangkitan Yesus Kristus menjadi Paskah kebangkitan kita juga, sebab, kita telah menanggalkan cara hidup manusia lama kita dengan segala sifat yang lama, dan kita mulai mengenakan manusia baru kita, dengan cara hidup dengan segala sifat yang baru. Jika itu yang terjadi, maka Paskah bermakna bagi kita, dan jika hidup kita tidak berubah atau tidak bertobat, dan tetap hidup dalam manusia lama, maka kita merayakan Paskah tanpa makna, hanya sekedar ritus belaka tanpa makna.
Dengan demikian, kita bukanlah manusia Paskah. Mengapa? Sebab, manusia Paskah yang saya maksudkan disini adalah manusia yang telah mengalami perubahan, baik dalam cara hidup, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata dan cara bertindak, atau juga telah mengalami metanoia atau pertobatan, sehingga kita tampil sebagai manusia baru, sebagai buah dari Paskah kebangkitan Yesus Kristus. Dengan demikian Paskah Yesus Kristus menjadi Paskah kita. Itulah manusia Paskah. Dan perlu digaris bawahi, bahwa manusia Paskah, tidak hanya dalam arti hubungan secara vertikal antara saya dengan Tuhan, tetapi juga manusia Paskah dalam arti hubungan horizontal dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial atau zoon politikon.
Artinya manusia Paskah hanya bermakna, jika dalam hidup sebagai makhluk sosial, kita memperlakukan sesama sebagai teman, sahabat, saudara atau “homo homini socius”, dan bukan sebagai musuh, lawan, yang harus di “bunuh” karakternya, dibenci, direndahkan, dilecehkan, difitnah, disingkirkan, bila perlu dihabisi atau “homo homini lupus”. Oleh karena itu, sebagai manusia Paskah martabat kita manusia telah ditinggikan dan dimuliakan berkat wafat Yesus di kayu salib serta kebangkitan-Nya. Dengan demikian, manusia Paskah harus hidup dalam saling mengasihi, saling mengampuni, saling mengorangkan orang lain, saling memberdayakan, dan bukan saling memperdaya.
Jadi, manusia Paskah adalah manusia yang akal budi dan hatinya telah mengalami pembaharuan. Lebih dari itu, manusia Paskah berarti manusia yang telah mengenakan cinta Kristus, yang kita wartakan di manapun kita hidup dan berada. Dengan demikian, buah Paskah dapat dirasakan dan dialami oleh orang-orang di sekitar kita. “Ubi caritas et amor, deus ibi est”: di mana ada kasih dan cinta, di sanalah Allah hadir. Oleh karena itu, manusia Paskah bahasanya adalah bahasa kasih, bahasa cinta dan bukan bahasa sarkasme, bahasa yang merendahkan, yang melecehkan, yang menghina, yang menghujat, yang memfitnah. Untuk itu, manusia Paskah harus mengenakan kacamata cinta dan bukan kacamata kuda. “Amor omnia vincet”: Cinta mengalahkan segalanya, mengalahkan kebencian, kedengkian, dendam, iri hati, hinaan, ejekan, hujat, fitnah, permusuhan, bullying atau perundungan dan hoaks.
Akhirnya, mari hadirkan manusia Paskah kita, di dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai makhluk sosial. Dengan begitu, orang akan tahu, bahwa kita adalah murid-murid Yesus. Dan oleh karena kita adalah murid Yesus, maka kita harus berpaling kepada sang hidup, yakni Yesus Kristus: untuk hidup, untuk berkata dan berbuat seperti Dia. Sebab, Dia adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup.*
Selamat Pesta Paskah 2021, Semoga Paskah Kristus Menjadi Paskah Kita. Dengan Demikian: Jadilah Manusia Paskah.