Dialog harus menjadi sebuah keutamaan dan sebuah jalan hidup dalam memahami agama orang lain.
Oleh Valensius Ngardi
Akhir-akhir ini di pelbagai platform media sosial, berseliweran perbincangan dialog agama dengan muncul anak-anak muda yang mengglorifikasi dirinya sebagai ahli tafsir, doktrin, apologet dan lain sebagainya. Saya sendiri kurang menikmati untuk bergabung dalam diskusi mereka. Namun entah mengapa salah satu kasus yang menggelitik saya adalah ketika salah satu tokoh endorse marketing kecantikan menjadi booming beritanya di akun TikTok tertentu. Misalnya saja, tentang kasus Ratu Entok yang menghina gambar suci dari salah satu agama di Indonesia. Beragam komentar di dalam aplikasi TikTok mengundang masyarakat memframing bahwa kasus itu tidak usah menjadi bias kemana-mana karena dapat mengganggu keharmonisan relasi antarumat beragama di ruang publik.
Namun ada pandangan lain bahwa, kasus itu merupakan representatif para penista agama yang selama ini luput dari liputan media massa. Masih banyak yang merespons dengan bernada positif: “masalah itu semakin menguatkan dan meneguhkan agama yang terzalimi.” “Itu hanya sebuah simbol yang mempesona bagi kaum selebgram dalam budaya tandingan wajah glowing (glowing for the face) dalam style hidupnya.”
Para buruh medsos pun tetap memelintirnya dengan nada satire. Atas nama pemuasan hasrat, argumen pembenaran dalam logika berpikir pun menciptakan ungkapan-ungkapan parsial dalam memahami agama orang lain. Produk berpikir menjadi beyond dengan mengulitinya sampai pelaku penistaan diarak ke wilayah hukum pidana.
Belajar Semiotika Gambar
Memaknai sebuah gambar atau foto (interpreting the image) perlu dilihat beberapa ruang untuk bisa memahami dan mengartikan sebuah gambar (Roland Bartes, 1915). Dalam semiotika suatu gambar (image semiotics) di mata Barthes, merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka perlu dilakukan rekonstruksi dari gambar tersebut.
Wilayah pertama, gambar tersebut, bersifat denotasi (baca: sebenarnya) yang dapat dilihat oleh semua orang baik dari segi warna maupun gesture dari apa yang diamati. Dalam konteks kasus Ratu Entok, gambar itu belum bisa bercerita atau bermakna bahkan tidak bisa ditafsir. Gambarnya masih utuh dan bersifat realistis (natural image).
Wilayah kedua, gambar itu bermakna konotasi (kiasan) ketika dibedah oleh orang yang beryakinan pada gambar tersebut. Muncul reaktif spontan dan menimbulkan persepsi bahwa fenomena tersebut merupakan bagian dari simbol kekerasan agama. Perasaan yang terluka menjadi pemilik yang berkeyakinan gambar tersebut. Di wilayah kedua inilah terjadi dramatik, menuntut seseorang untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Karena telah merendahkan simbol dalam keyakinan komunitas keyakinan tertentu.
Teologi Gambar (Ikon)
Pada wilayah ketiga, gambar itu lebih dari sebuah makna. Diyakini gambar itu adalah gambar tokoh suci. Bagi orang Kristen itu adalah gambar Yesus yang dipercaya sebagai Tuhan-nya orang Kristen. Maka gambar ini sebagai Allah yang transenden hadir dalam berimajinasi gambar. Gambar ini sebagai pertanda dan tanda (signs and signals) yang diimani, di luar dari logika berpikir. Hanya bahasa iman seoranglah yang bisa menjelaskan dan memahaminya.
Nah, Ratu Entok tidak bisa masuk ke ruang ketiga ini. Lalu apakah ketika masuk dalam ranah hukum dalil ini bisa menyelamatkanya dari jeratan hukum? Mungkin pendukungnya bernalar kritis apa itu benar gambar Yesus? Nah, di sini tidak ada ruang lagi untuk ditafsir di luar dari keyakinan agama Kristen ketika masuk dalam teori Barthes, dalam bersemiotika gambar. Pemilik ruang ketiga ini tidak bisa diganggu gugat lagi. Bahkan tidak berhak untuk membedahnya secara rasional.
Jika digali dari aspek historis, secara pengetahuan kita boleh mempelajarinya bahwa gambar Yesus telah ada sejak awal perkembangan gereja Kristen, terutama setelah abad ke 2 Masehi. Meskipun tidak ada gambar Yesus yang dibuat pada masa hidup-Nya, seni Kristen awal mulai menggambar-Nya untuk membantu dalam pengajaran dan penyebaran iman. Seni ini sering kali terinspirasi oleh teks-teks Alkitab dan tradisi lisan.
Dalam konteks ini, gambar Yesus sering kali melambangkan aspek-aspek tertentu dari ajaran-Nya, seperti cinta, pengorbanan, dan keselamatan. Salah satu gambar paling awal adalah “Christ as the Good Shepherd” yang menggambarkan Yesus sebagai gembala yang merawat domba-dombanya. Seiring berjalannya waktu, berbagai interpretasi gambar Yesus muncul, mencerminkan budaya dan konteks masing-masing masyarakat. Misalnya, di Eropa, Yesus sering digambarkan dengan ciri-ciri Eropa, sedangkan di budaya lain, gambaran-Nya dapat berbeda sesuai dengan konteks kultur setempat.
Bermoderasi dalam Dialog Interfaith
Jika kasus ini di bawah ke ranah akademik, menarik dikaji dengan pendekatan dialog teologi komparatif antariman. Setiap agama masing-masing mempunyai simbol. Yang bisa menjelaskan simbol itu hanya komunitas pemilik simbol. Dalam dialog lintas iman hanya sebatas pengetahuan untuk memahami dan menghargai terhadap simbol tersebut. Sikap dialog ini melibatkan kepala untuk berpikir dan hati untuk sikap menerima pemahaman pemilik simbol. Di sini tidak bisa mengkritik dan menyerang dengan kekerasan verbal karena akan terjadi polemik untuk memaksa logika berpikir seorang ke individu tertentu.
Leonard Swidler (2014) dalam buku Dialogue for Interreligious Understanding Strategies for the Transformation of Culture-Shaping Institutions, mendeskripsikan bagaimana standar dialog sejati, dengan menekankan bahwa dalam dialog berakademik, tidak hanya kepala untuk berpikir tetapi diberi ruang selebar-lebarnya untuk saling menghormati dan menghargai keyakinan seseorang. Dialog bukan hanya sekadar berbicara bersama, tetapi merupakan cara baru untuk melihat diri sendiri dan dunia, lalu menjalani hidup sesuai dengannya.
Dialog harus menjadi sebuah keutamaan dan sebuah jalan hidup dalam memahami agama orang lain. Maka penting sekali kita berpikir secara rasional agar tidak terpengaruh oleh doktrin yang dogmatis, justru akan menembus seluruh ruang kehidupan bilamana diekspresikan dalam dialog dengan penuh mendalam dan berpikir kritis.
Hal ini juga bila dalam dialog agama kita bisa menggunakan kecerdasan emosional, kerja sama dan kompetitif yang sehat. Dalam konsep dialog oleh Swidler (2014) mendeskripsikan demikian. Bahwasanya, kebanyakan orang tidak memahami dialog sebagaimana yang sering digunakan saat ini. Mereka banyak mendengar tentang dirinya. Merasakan bahwa dialog semakin penting di dunia saat ini, tetapi sering kali ragu-ragu tentang imannya sendiri. Justru karena mereka tidak benar-benar tahu apa itu dialog, atau yang lebih menakutkan apa yang mungkin terjadi dalam penghayatan imannya bersama orang lain setelah dialog.
Banyak yang menolak dalam dialog agama (teologis) karena bukan wilayahnya yang bisa menguasai dogma dalam ajaran agamanya. Maka dialog baginya hanya sekadar rasa hormat begitu saja biar tidak rusak dalam hubungan dengan agama lain. Dengan kata lain jika ingin bertanya oleh yang bukan seiman dengannya, sekadar menjawab apa yang dia paham dan hanya menjawab karena takut akan hal yang tidak diketahui.
Semoga kasus Ratu Entok menjadi bahan refleksi bersama para buruh medsos, khususnya platform yang menyiarkan dialog agama atau debat lintas iman perlu digali lagi takar dan standar dialog agama. Kira-kira manakah dialog yang dipakai dalam mengembangkan dan merawat keberagaman keyakinan sebagai kekayaan bangsa Indonesia dalam berharmonisasi dengan agama-agama lain di negeri kita? Mari kita saling belajar lagi lebih elegan, persaudaraan dan humanis dalam bermoderasi beragama yang cerdas.
Valensius Ngardi adalah Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta