Penulis melihat lebih jauh bagaimana refleksi Natal harus membawa kita untuk menyadari bahwa politik tidak hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang kehidupan sosial yang harus dipenuhi dengan rasa aman, keadilan dan kesejahteraan bagi semua lapisan dan golongan.
Oleh Abdul Jolai
Natal adalah perayaan yang kaya dengan makna dan sejarah, yang lebih dari sekadar sebuah momen spiritual bagi umat Kristiani. Sebagai titik puncak dari kisah kelahiran Yesus Kristus yang kita sebut sebagai ‘Mesias’, perayaan Natal membawa pesan universal yang melampaui batas-batas keagamaan dan budaya. Kelahiran Yesus lebih dari sekadar peristiwa sejarah, melainkan sebuah simbol pembebasan atas dosa-dosa umat manusia. Penulis menyimpulkan bahwa Natal bukan hanya sekadar waktu untuk merayakan sukacita, tetapi juga momen untuk merenung dan melakukan refleksi mendalam tentang dinamika kehidupan secara holistik (pribadi, sosial, maupun politik).
Penulis berpikir bahwa sangat penting untuk memahami konteks Natal untuk merayakan kedatangan seorang tokoh yang lahir dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan. Yesus, yang lahir di sebuah palungan dan dikelilingi oleh orang-orang dalam kesederhanaan. Kemudian peristiwa tersebut menawarkan sebuah pesan besar mengenai kerendahan hati, kasih, dan pengampunan. Natal juga mengingatkan umat manusia tentang pentingnya empati dan kasih, terutama di tengah-tengah tantangan kehidupan yang seringkali penuh dengan konflik dan ketidakadilan.
Penulis mencoba menguliti sedikit perihal yang terjadi hari ini dilihat dari konteks dinamika politik yang kerap kali dipenuhi dengan ketegangan, perpecahan, dan pertarungan kekuasaan. Momen Natal seharusnya menjadi ajakan untuk merenungi kembali cara kita berinteraksi/pergaulan dengan sesama, terutama dalam ranah publik dan politik.
Natal mengajarkan kita untuk mengedepankan kasih, empati, dan kedamaian dalam menghadapi perbedaan dan ketegangan sosial. Gejolak dunia yang kerap kali diwarnai oleh polarisasi politik yang tajam dan cukup dinamis dalam mengubah pola-pola kehidupan sosial. Perilaku ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan Natal menawarkan sebuah alternatif untuk melihat permasalahan politik dari sudut pandang yang lebih manusiawi.
Politik, sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat, sering kali menjadi arena di mana kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan lebih diutamakan daripada kepentingan bersama. Di sinilah, nilai-nilai kasih dan empati yang diusung oleh Natal sangat relevan untuk dijadikan dasar dalam membangun dinamika politik yang lebih adil dan berkeadilan.
Menghadapi perbedaan pendapat dan kepentingan politik yang beragam, kita perlu merespons dengan rasa hormat, saling mendengarkan, dan mencari solusi yang mengutamakan kebaikan bersama tanpa pandang bulu. Natal mengajarkan kita untuk melihat sesama, bahkan yang berbeda pandangan politik sekalipun, sebagai saudara yang layak mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh.
Penulis melihat lebih jauh bagaimana refleksi Natal harus membawa kita untuk menyadari bahwa politik tidak hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang kehidupan sosial yang harus dipenuhi dengan rasa aman, keadilan dan kesejahteraan bagi semua lapisan dan golongan.
Ketika kita merenungkan kelahiran Yesus, kita diajak mengingatkan kembali kepedulian kita terhadap sesama untuk tidak hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok tertentu, tetapi untuk memperjuangkan kesejahteraan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Tentu ini bukan hanya soal berbagi materi, tetapi juga berbagi rasa empati terhadap mereka yang menderita, kaum yang termarjinalkan, dan yang tidak memiliki suara dalam sistem politik yang seringkali tidak adil.
Menurut penulis, euforia Natal merupakan waktu yang sangat tepat untuk introspeksi diri. Dalam suasana yang penuh dengan kegembiraan dan suasana sosial yang meriah, kita diajak untuk menyelami makna dari kelahiran seorang tokoh yang membawa perdamaian. Apakah kita sudah cukup memberikan kontribusi positif dalam menciptakan kedamaian sosial? Apakah kita telah menunjukkan empati terhadap mereka yang terbelakang atau tertindas dalam masyarakat? Natal, dengan segala kemeriahannya, seharusnya tidak hanya menjadi seremonial atau rutinitas tahunan, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak dengan hati yang penuh kasih sayang dan perhatian terhadap sesama umat manusia.
Di tengah dinamika politik yang sering kali mengutamakan perbedaan dan pertarungan kekuasaan, dan atau bahkan terjadi perpecahan, baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Kerap kali terjadi di masyarakat maupun dalam keluarga, hanya karena berbeda pilihan politik menjadikan mereka seperti orang asing terhadap satu sama lain. Momen Natal memberikan kesempatan bagi kita untuk melepaskan kebencian dan prasangka, serta menggantinya dengan sikap yang lebih konstruktif.
Pada saat yang sama, kita diajak untuk tidak sekadar pasif, tetapi aktif dalam membawa nilai-nilai kebaikan dan kasih ke dalam politik. Ini adalah waktu untuk menumbuhkan harapan baru, baik di tingkat individu maupun dalam kehidupan sosial-politik kita. Melalui sikap empati, kita dapat membuka jalan bagi perdamaian dan kerja sama, mengurangi polarisasi yang merusak tatanan sosial, dan menciptakan ruang di mana setiap orang merasa dihargai dan dicintai.
Saya, kamu, Anda dan kita semua adalah umat manusia, kita memiliki tanggung jawab moral untuk membawa nilai-nilai kasih dan empati ke dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal berpolitik. Ejawantah perayaan Natal sangat tepat untuk menyegarkan kembali komitmen kita terhadap keadilan, kesetaraan, dan kedamaian.
Dalam dunia yang penuh tantangan ini, tidak ada yang lebih penting daripada bekerja sama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua, sebuah dunia di mana setiap individu merasa aman, dihargai, dan dicintai tanpa memandang latar belakang politik, agama, budaya atau suku.
Refleksi Natal yang mengajarkan tentang kelahiran seorang tokoh yang penuh kasih, memberikan kita pedoman untuk menghadapi tantangan sosial dan politik saat kini. Dengan menjadikan empati dan kasih sebagai fondasi, kita dapat menyongsong masa depan yang lebih adil, penuh kedamaian, dan keharmonisan.
Seperti yang diajarkan oleh Yesus, kita semua dipanggil untuk mencintai sesama tanpa syarat apa pun, untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas segalanya, dan untuk tidak melupakan mereka yang menderita dan terbelakang. Dengan cara ini penulis berharap bahwa perayaan Natal tidak hanya menjadi perayaan spiritual semata, tetapi juga kesempatan bagi kita untuk memperbaiki dan merajut kembali benang-benang kemanusiaan yang kadang-kadang terasa rapuh dalam dunia yang semakin terpecah ini.
SELAMAT MENYONGSONG NATAL 2025 ‘MISSIO DEI’
Abdul Jolai adalah Mahasiswa Pascasarjana dan Anggota PMKRI Cabang Yogyakarta Biro Ristek