Dengan berbagi pengetahuan dan perspektif dalam dialog ekologis inilah diharapkan akan muncul tindakan kolektif yang lebih efektif untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Oleh Valensius Ngardi
Dalam rangka mempraktik dialog antariman saya bersama satu teman kuliah mengunjungi Pesantren Lintang Songo Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Siang itu, 14 November 2024 tepatnya pukul 09.30, kami langsung menuju ‘Tan Ndeso’, sebuah kebun ekologi milik pesantren tersebut. Kami langsung disambut dengan penuh kehangatan dan kegembiraan oleh Pak Kiai Heri Kuswanto.
”Monggo mas … mobilnya langsung parkir saja di tempat yang teduh ya.” Sapa Pak Kiai dengan penuh semringah. Temanku berpikir, dia salah satu pegawai atau sekuriti yang ada di kebun tersebut. Maklum penampilanya, bak seorang petani yang bekerja keras dan heroik yang sudah bagian dari cara hidupnya tiap hari di sawah.
Dengan penuh keramahtamahannya, kami dipersilakan menuju tempat tamu yang begitu unik dan sejuk. Maklum di lingkunganya, dikelilingi penuh dengan aneka tumbuhan dan tanaman sayur, sehingga angin sepoi-sepoi menambah kesegaran canda-ria kami saat itu. Sambil menikmati sajian segelas teh hangat dan kue, kami langsung membuka obrolan dengan santai namun serius. “Pak Kiai yang kami hormati, … kami hadir di sini atas rekomendasi dari salah satu teman ustaz di tempat kuliah saya. Kegiatan ini semacam soema project dalam mata kuliah studi antar-iman di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.”
Mencetak Intelektual Organik
Pak Kiai Heri tertawa sambil berkata: “Sampean berdua, mungkin urutan keseratus yang datang ke sini. Lihatlah, nikmatilah dan petiklah, ini semua titipan Allah SWT, saya hanya mengembangkan hobby saya mas.” Lanjut Pak Heri, “Mas… untuk menjadi mahasiswa berintelektual organik, harus datang dan ambil bagian dalam kegiatan seperti ini. Saya ingin sampean berdua tidak hanya mencari nilai loh ya, sebab nilai itu hanyalah produk dari dosen.”
“Yang utama adalah kalian merasakan bagaimana sih cara hidup masyarakat petani seperti saya ini… Kalau kalian kuliah, hanya ingin mencari gelar itu banyak mas. Akan tetapi untuk mencari generasi yang mau hidup seperti saya ini, tidak semua orang mau terlibat,” ungkap Pak Kiai sambil menceritakan visi misi membuka edukasi ekologi dengan tujuan untuk membiaya para santri dan santriwati binaanya. Beliau panjang lebar mensharingkan awal mula mendirikan kebunnya yang sudah terkenal sebagai edukasi ekologi pesantren di Kabupaten Bantul hingga terkenal di kancah nasional. “Para tamu datang di sini bervariasi mas. Baik dari instansi pemerintahan, kampus, lintas agama bahkan dari Timur Tengah, padahal di sini lahannya tidak luas dan sederhana.”
Di kebun ini, kurang lebih 3 hektare luasnya, dikerjakan oleh para penghuni pesantren juga relawan dari masyarakat sekitarnya. Kebun tersebut, menanam berbagai tanaman hortikultura dan palawija. Ada juga lahan yang secara khusus untuk ternak sapi, ayam, kambing.
Selain itu, kolam ikan yang cukup luas serta lahan untuk tanaman padi dan jagung di mana hasil komoditi tanaman ini selain untuk kebutuhan manusia juga untuk mengelola pakan (makanan) ternak sapi, kambing dan ayam. Kotoran dari ternak yang ada diolah menjadi pupuk organik yang kemudian memupuk segala tanaman yang ada di kebun ekologi tersebut. Beliau mengajar para santri agar selekas dari pesantren, bisa kembali ke daerah asalnya untuk melakukan gerakan bersama bagaimana merawat lingkungan hidup ini demi kesejahteraan bersama dan juga sama-sama mendukung gerakan peduli lingkungan hidup.
Berbagi Kasih
Setelah itu Pak Kiai minta saya untuk menyiapkan plastik kresek lima kiloan. Saya sudah siap tas kain dan sama-sama menuju ke kebunnya. Kami bersama memetik buah cabai sepuas-puasnya juga aneka sayur organik lainya seperti sawi, kacang panjang, kangkung, bayam brazilia dsb. Tidak ketinggalan buah pisang, nenas, jeruk dan sawo amazon untuk kami bawa pulang.
“Tempat saya terbuka kok mas, untuk semua orang lintas iman, suku dan ras,” ungkap Pak Kiai sambil membereskan sabitnya yang jatuh. “Saya juga sering dikecam oleh kelompok agama tertentu, namun saya cuek (masa bodoh) aja mas … Saya buat untuk kemanusiaan kok.” Sharing Pak Kiai sambil memotret kami dengan hanphone kesayanganya.
Para santri yang dia bina bervariasi. Mulai dari pendidikan tingkat TK, SD hingga perguruan tinggi. Mereka datang dari berbagai provinsi di Indonesia dengan latar belakang berbeda. Ada anak yatim piatu, ada yang tidak tahu siapa kedua orang tuanya. Ada yang mantan konsumsi miras, narkoba, pembunuh dan pencuri. “Di pesantren ini saya bina mereka mas, dengan tujuan agar mereka menemukan diri sejatinya, sebagai manusia yang bermartabat dan insani sebagaimana ciptaan lainnya,” ungkap Pak Heri dengan nada serius.
Setiap hari para santri ini wajib bekerja di kebun ekologis Tan Ndeso. Mulai bangun pagi ada yang bertugas untuk masak dan membersih lingkungan sekitarnya. Usai belajar di sekolah atau kuliah, mereka wajib mengolah sampah menjadi pupuk organik dan juga kegiatan lainnya yang berpusat di lingkungan ini, kata Pak Heri dengan penuh semangat.
“Kalau mereka tidak kerja, dari mana mereka bisa hidup dan dari mana mereka bisa sekolah?” Untunglah Gusti Allah lewat orang tak terduga ada yang membantu sedikit meskipun cukup untuk bayar listrik bulanan. “Tetapi alhamdulillah, untuk makan kami bisa dari produk kebun ekologis ini mas,” lanjut Pak Kiai dengan penuh gembira.
Mengenal Pak Kiai Heri dan Pesantren
Kiai Heri merupakan seorang rektor di Institut Ilmu al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta, dan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta (STAIYO) dan A’wan Syuriyah PWNU DIY. Beliau juga pernah menjadi Ketua DPD Kabupaten Bantul. Gelar “Kiai” yang melekat dalam dirinya tidaklah hanya karena gelar tradisi Jawa saja, akan tetapi karena dia seorang yang memiliki pengetahuan agama Islam yang tinggi, dan seorang pemimpin spiritual atau guru di pesantren kenamaan di Piyungan Bantul.
Ia dikenal lebih luas baik lokal maupun nasional dan dihormati sebagai tokoh agama, khususnya di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia dan juga dari berbagai pemerintah, instasi dan lintas iman. Orangnya amat sederhana dan tidak tertampak dalam penampilannya sebagai tokoh intelektual.
Pondok Pesantren (Ponpes) Lintang Songo ini, merupakan lembaga pendidikan yang terbilang unik. Selain memfokuskan pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam yang memiliki sanad yang jelas nyambung dengan Nabi Muhammad SAW. Pesantren binaanya sangat membantu warga sekitarnya dengan menggeluti berbagai bidang usaha. Sehingga sah jika Lintang Songo disebut sebagai pondok pesantren yang mandiri secara ekonomi.
Bagaimana tidak, pesantren yang didirikan oleh KH Heri Kuswanto pada 2006 di Bantul, Yogyakarta hingga kini terhitung sudah memiliki lebih dari 27 unit usaha. Salah satu yang terbaru dan terbilang moncer adalah Lintang Songo Smart Farm and Garden. Proses penanaman yang terbilang ramah lingkungan ini sebagai khas gaya hidup ekologis mereka. Yakni hanya menggunakan pupuk kandang, dalam artian semua proses yang dilakukan sangat organik dan tidak mengandalkan bahan kimia. Sebut saja misal ketika pemberian pupuk kandang. Pupuk tersebut diambil dari kotoran ternak sapi, kambing, dan ayam yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Lintang Songo.
Sebaliknya, jika ada dari sisa-sisa limbah kebun, seperti rumput, dedaunan, semuanya masuk ke kandang ternak sebagai bahan pakan sehingga unit-unit usaha tersebut memiliki pola integrasi. Yakni semua saling berkaitan dan saling menguntungkan satu sama lainnya. Atau dalam ilmu biologi, disebut simbiosis mutualisme.
Makna Dialog Lintas Agama (Interfaith)
Permasalahan lingkungan hidup telah menjadi isu global yang mendesak, terutama dengan meningkatnya kerusakan ekosistem, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali. Fenomena ini tidak hanya membawa dampak ekologis, tetapi juga menimbulkan persoalan etis, spiritual, dan sosial yang mendalam. Dalam konteks ini, muncul kesadaran bahwa agama dan spiritualitas memiliki peran penting dalam memberikan respons terhadap krisis lingkungan (Kompas, 28/11/2024 hal. 13).
Setiap komunitas agama apa saja khususnya dalam studi ini, baik Muslim maupun Katolik sama-sama berjuang untuk memulihkan kembali kerusakan lingkungan hidup akibat dari kerakusan dan kecerobohan manusia sebagai subjek dari penanggung jawab dalam mengelola alam semesta ini.
Berbicara tentang permasalahan lingkungan hidup bukan hal baru bagi kedua komunitas tersebut. Fenomena sosial ini, telah menjadi isu global yang mendesak, terutama dengan meningkatnya kerusakan ekosistem, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali. Fenomena ini tidak hanya membawa dampak ekologis, tetapi juga menimbulkan persoalan etis, spiritual, dan sosial yang mendalam. Dalam konteks ini, muncul kesadaran bahwa agama dan spiritualitas memiliki peran penting dalam memberikan respons terhadap krisis lingkungan.
Di Tan Ndeso, nama kebun ekologis pesantren Lintang Songo, secara tidak langsung mereka sudah mendahului cita-cita dalam melawan kerusakan lingkungan hidup. Dengan membangun keharmonisan yang saling menguntungkan baik manusia (pelaku), alam (produk) maupun agama (spiritualitas). Ketiga ruang ini sebagai terminologi dalam menjaga dan merawat alam semesta ini dengan ramah dan bertanggung jawab. Dengan kata lain sebelum ‘Ensiklik Laudato Si’ yang ditulis oleh Paus Fransiskus (2015) mereka sudah mengimplementasikanya secara nyata di komunitas tersebut.
Demikian juga para komunitas Fransiskan secara mikrososial sudah mempraktikkan kesadaran dalam membangun ekologis sesuai kondisi, kemampuan dan keadaan komunitas dalam menerapkan “Laudato Si”. Komunitas dari para Fransiskan yang berspritualitas dari Santo Fransiskus dari Assisi secara otomatis bicara ekologi bagian dari cara penghayatan hidup mereka tiap hari.
Dokumen “Laudato Si” refleksi Paus Fransiskus mengulik tentang kerusakan bumi ini dengan kiblat pada semangat Santo Fransiskus Assisi sebagai pelindung ekologi (baca: lingkungan hidup) dunia. Laudato Si hadir di tengah lintas iman (antaragama) dengan satu tujuan untuk menyerukan pentingnya perawatan terhadap bumi sebagai “rumah bersama” dan menekankan tanggung jawab manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Paus Fransiskus juga mengajak semua umat beragama untuk terlibat dalam dialog antaragama yang berbasis pada kepedulian terhadap lingkungan. Bahkan bukan hanya komunitas Islam dan Katolik dalam tradisi Buddhis pun terdapat ajaran-ajaran mendalam yang berhubungan dengan keharmonisan manusia dengan alam. Ajaran-ajaran ini, yang sering kali berpusat pada konsep keterhubungan dengan semua makhluk dan pentingnya menjaga keseimbangan, memiliki relevansi besar dalam konteks krisis lingkungan saat ini.
Melalui riset sederhana ini, berupaya menjembatani bagaimana dialog ekologis intereligius dapat mempertemukan baik dari ajaran agama Islam yang dipresentatif oleh komunitas pesantren Lintang Songo maupun dari agama Katolik yang diwakili para komunitas Fransiskan di Kota Yogyakarta. Kedua komunitas ini, bersama-sama memberi dan menerima pandangan yang disampaikan dalam mengimplementasikan “Laudato Si”, sehingga keduanya saling terhubung satu sama lain dalam merawat lingkungan hidup ini.
Berdasarkan gagasan tersebut, maka wacana dialog ekologis ini bertujuan untuk menemukan titik temu dalam upaya menjaga lingkungan hidup, serta membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana spiritualitas dapat memotivasi tindakan nyata dalam merawat bumi dari referensi agama masing-masing sebagai payung utama dalam melaksanakan kegiatan di kedua komunitas tersebut. Melalui pendekatan dialog ekologis inilah, diharapkan dapat tercipta harmoni yang lebih luas dan kerja sama yang berkelanjutan dalam mengatasi bumi yang tidak bersahabat dengan manusia akibat dari tindakan manusia itu sendiri. Bahkan idealnya tidak hanya antarumat beragama saja, akan, tetapi juga antara manusia dan alam menjadi oase yang saling berpaut satu sama lain dalam menata kehidupan ini.
Dialog Ekologis
Perjumpaan dengan Pak Kiai Heri dengan fokus pada praktik dialog ekologis, mengharapkan semua umat (tokoh) beragama dapat menjawab tantangan lingkungan dengan pendekatan spiritual dan etika, di mana ajaran-ajaran dari berbagai tradisi agama dapat saling melengkapi dalam upaya menjaga lingkungan. Kita harus mengintegrasikan ajaran spiritual dengan tindakan konkret untuk melindungi lingkungan kita (Pope Francis dalam buku: Laudato Si: On Care for Our Common Home, 2015). Hal ini didukung oleh oleh salah tokoh Muslim bagaimana setiap tradisi agama memiliki ajaran yang dapat berkontribusi pada masalah lingkungan dan etika keberlanjutan (lih. Seyyed Hossein Nasr dalam buku: Religion and the Environment: Theory and Strategy, 1996).
Dengan berbagi pengetahuan dan perspektif dalam dialog ekologis inilah diharapkan akan muncul tindakan kolektif yang lebih efektif untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang. Dengan kata lain, dialog antaragama sangat diperlukan untuk membangun kesepahaman yang lebih dalam dan cara mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim yang tidak bersahabat saat ini (Lih. John L. Esposito dalam buku: Islam and the Challenge of Human Rights, 2001).
Bagi saya sendiri yang sedang kuliah di studi lintas iman sangat membantu dengan soema project sederhana ini. Semoga melalui kegiatan seperti “Sharing Interfaith: Dialog Ekologis“, diharapkan dapat menginspirasi masyarakat (keluarga Fransiskan) untuk lebih peduli terhadap lingkungan, serta menumbuhkan rasa saling menghormati dan kerja sama di antara berbagai komunitas agama dalam menghadapi tantangan bersama.
Dalam perkembangan iklim yang tidak kondusif sekarang, kita tidak bisa bersifat eksklusif dengan seiman. Kita bisa berkolaborasi siapa saja salah satunya bisa berdiskusi dengan agama lain. Pentingnya dialog lintas agama (interfaith dialogue) yang berfokus pada isu-isu ekologis dan keberlanjutan lingkungan menjadi sebuah kebutuhan saat ini. Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan krisis sumber daya alam, kolaborasi antara berbagai komunitas agama menjadi semakin relevan. Pendekatan ini tidak hanya mendorong pemahaman dan toleransi antaragama, tetapi juga memperkuat kesadaran kolektif akan tanggung jawab bersama dalam merawat bumi.
Pak Kiai Heri salah satu representatif tokoh agama Islam yang cukup serius memperhatikan lingkungan hidup. Karena kepiawaiannya dengan menandakan keterlibatan seorang tokoh agama yang dihormati, tentu saja sangat berperan penting dalam memfasilitasi dialog lingkungan hidup dengan lintas iman. Beliau diundang kemana-mana hanya menebarkan pengalaman konkretnya dalam merawat lingkungan serta menjawab seruan Paus Fransiskus Assisi tentang “Laudato Si”. Maka dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural dan multiagama, peran para pemuka agama sangat krusial sebagai jembatan untuk membangun kesepahaman dan kerja sama antar komunitas dalam menyelesaikan isu-isu lingkungan.
Valensius Ngardi adalah Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta