Pure Beach Tak Sekedar Pantai Bikini

whatsapp image 2021 08 11 at 15.06.08
P. Kons Beo, SVD

Sontekan seadanya tentang gairah keterbukaan Arab Saudi

“Orang yang paling tidak bahagia ialah mereka yang paling takut pada perubahan.(Mignon MecLaughlin, jurnalis Amerika, 1913-1983)

Oleh P. Kons Beo, SVD

Ada yang Berubah: Heran kah?

Siapa pun sedikit tidaknya bisa terperangah. Siapa sangka di Arab Saudi sana sudah ada pantai berbikini. Letaknya memang agak jauh. Sekitar 125 km di utara Jeddah. Dengan membayar sekitar 300 riyal, atau setara 1,1 juta per orang, siapa pun sudah bisa mampir di situ.

Tanpa kendala nan rumit. Simbol kebahagiaan terekspresi nyata. Tak ada apapun pembatas pria-wanita, misalnya. Pure Beach jadi berita dunia. Telak!

Walau tetap ada larangan nasional berkenaan dengan minuman beralkohol, setidaknya adanya tarian sukacita diiringi musik berpengeras suara terasa sudah menggairahkan.

Dan lagi, yang bikin dunia sejagat tersentak, itu tadi, di Pure Beach tampilan berbikini telah jadi salah satu terobosan kebebasan. Ini belum lagi terhitung di pantai-pantai lainnya, seperti Durrah Flats, misalnya, yang mulai tak segan-segan bermunculan begituan.

Secepat itukah perubahan itu terjadi? Padahal di tahun 2017, musik ria masih dilarang. Dan di pantai umum, ada pembatasan yang jelas dan ketat antara laki-laki dan perempuan! Derap dan gema Pure Beach itu tentu tak terlahir begitu saja. Ia tentu miliki varian lintasan litania argumentatif.

Untuk tidak begitu saja menabrak keberadaban tradisi ketat, puritan dan kaku. Ternyata, di balik Pure Beach dan atmosfer sejenisnya ada sebuah grand design Pemerintahan Arab Saudi. For a better future for the nation, begitu kira-kira lukisannya.

Reformasi demi Visi 2030 Arab Saudi, tak ada pilihan lain, selain harus membuka ruang-ruang tertutup demi adanya spasi-spasi yang lebih terbuka. Modernisasi Arab Saudi menuntut terutama satu perubahan dari mental dan cara berpikir konservatif ke arah yang kurang lebih liberal.

Sebab itulah ‘menata ulang’ sejumlah aturan beraroma intimidatif terhadap para pelaku investasi dan wisatawan, yang notabene berbau asing, mesti dilihat dengan akal yang tak boleh suram apalagi seram.

Klik dan baca juga:  Kita Bukan Lagi Orang Asing dan Pendatang

Tak tanggung-tanggung, demi pencerahan baru generasi Arab Saudi jaman now, seturut Saudi Gazette, seperti dikutip Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D, di tahun-tahun belakangan ini Kementerian Pendidikan mesti mengamandemen sekitar 120.000 isi kurikulum yang kontra produktif.

Ini semua demi spirit kemodernan, kemajuan, keterbukaan serta moderasi keagamaan dan keberagamaan. Profesor Antropologi Agama pada King Fahd University-Arab Saudi ini tambahkan, “ini baru di dunia pendidikan, belum lainnya.(Kompas 27/09/2021).

Agama di Titik Was-Was?

Rencana kurangi ketergantungan pada sektor minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi nasional, pengembangan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi dan pariwisata. Menuju Arab Saudi modern dalam Visi 2030 memang telah dimulai sejak diumumkan oleh Putra Mahkota Mohammad bin Salman pada 25 April 2016 lalu.

Bagaimanapun, gerak perubahan Visi 2030 Arab Saudi bukannya tak punya dampak serius pada citra keberagamaan. Tidak saja secara internal, tetapi berimbas pada skala eksternal saat ke-islam-an diteropong dalam ragam peradaban dan tradisi nan luas.

Kini Pemerintahan Arab Saudi harus bertarung sengit untuk membuka segala kerangkeng ketertutupan. Di era Raja Khalid, sejak 1980 itu, kaum Sahwa itu memang ketiban rejeki berkuasa. Untuk terus bersikap zalim dan melancarkan jurus demi segala kiat berbau konservatif, rigid dan kaku dalam aturan, militan-radikal dalam agama dan intoleransi tak terhindarkan.

Tapi, mari tinggalkan dulu serangan kaum anti-keterbukaan itu. Visi 2030 Arab Saudi itu ternyata telah kibarkan bendera persaingan terutama di antara sesama negara teluk. “Rancangan pembangunan Arab Saudi yang baru diprediksi menemui tantangan dari tingkat lokal regional dari negara-negara tetangga,” begitu catatan analis Umar Idris (aa.com.tr, 21/02/2021).

Ada kesadaran kompetitif terbangun untuk tak hanya melihat, misalnya, Dubai sebagai pusat atau basis utama dari sekian banyak perusahaan. Atau setidaknya ada daya persaingan yang memaksa pihak investor asing lintas benua itu untuk memilih entah Uni Emirat Arab (EUA) atau Arab Saudi sebagai basisnya.

Klik dan baca juga:  Angels Unawares: Kemanakah Arah Perahu?

Cahaya Modernitas vs Gulita Agama?

Namun, mungkinkah visi 2030 ini bisa disebut awal dari sebuah Aufklärung Arab Saudi di bawah Mohammad bin Salman? Setidaknya, gelora pasca-Wahhabi pelan terasa. Polisi syariat, bahkan sebelum Salman, telah dibubarkan.

Padahal sebelumnya, citra polisi ini sungguh menakutkan dan menjadi alat penegakan ‘imperium Wahabi.’ Sungguh, Wahhābiyah (salafi) dilukiskan sebagai gerakan aliran Islam yang ulra-konservatif, keras atau puritan. Islam harus kembali pada adagium Monoteisme murni atas dasar Qur’an dan Hadis. Itulah yang digagaskan dan diperjuangkan Muhammad bin Abdul Wahhab di abad ke-18.

Kini, aura Pure Beach dengan segala pernak-perniknya sudah tempias hingga ke tanah air. Ragam tanggapan tak terelakan. Walau sebenarnya hadir dalam dua kutub berseberangan. Mengapa mesti berperilaku dalam kerangka norma agama ke-arab-araban, sementara di sana banyak hal yang telah dipangkas? Dan semuanya demi tata sikap-perilaku dan pola-isi pikir yang lebih terbuka. Intinya, Arab Saudi sungguh hendak berkiblat pada jagat dunia yang lebih luas dan nota bene modern.

Apakah ada hasrat terselubung Pangeran Mohammad bin Salman agar pola keberagamaan sepantasnya tak jadi dominasi primat yang justru menghambat modernisasi? Apakah mesti dibatasi sudah keluasan hegemoni doktrin-doktrin kaku, tertutup dan anti revisi? Entahlah! Namun nyatanya, gerak-gerik ulama garis konservatif dibatasi dan dipantau, sementara terlahirlah banyak pengkotbah yang justru mendukung keputusan pemerintah.

Barangkali saja, gerakan pro khilafah tanah air sekian tersentak oleh faktor Pure Beach itu dan bertekad untuk berjuang lebih keras lagi demi cita-cita penerapan hukum syairah. Andaikan Pure Beach ditafsir sebagai kepasrahan kepada alam modernitas, maka arus khilafah mesti lebih digencarkan lagi di tanah air. Tak boleh ada kata menyerah atau kalah! Mesti distrategikan dalam berbagai modus tertata senyap namun seketika berujung nyata.

Saat Pure Beach telah jadi simbol keluasan dan keterbukaan, sayangnya jika kita masih terkurung fragmentarisasi seputar wisata halal, sebatas dikotomi agamis dan kafir, surga dan neraka, atau suci dan najis.

Klik dan baca juga:  Polarisasi Politik Kian Meluas Menuju Tahun 2024

Apa mesti ingin terborgol oleh lagak laku intoleran, aksi radikal-fundamental yang mematikan? Bagaimanapun, yang tetap diperjuangkan dan dibela tanpa lelah oleh seluruh tumpah darah Indonesia adalah alam damai NKRI harga mati, berideologi Pancasila, dalam alur UUD 1945, dan tetap bersemangat Bhinneka Tunggal Ika. Sampai kapan pun.

Saat Semua Sama Punya Otoritas

Membayangkan tampilan di Pure Beach, seketika teringatlah saya akan kisah di depan mata di sebuah bibir pantai agak jauh dari Roma. Itu sekian waktu lalu. Di musim panas itu, ketika sekian banyak pengunjung pantai asyik bermandi ramai di laut dan berjemur ria di pantai, muncullah beberapa perempuan berparas Asia (nonIndonesia).

Sayangnya, oleh sekelompok anak muda, para perempuan itu diminta untuk segera tinggalkan area pantai. Ini gara-gara gaya berpakaian para perempuan itu, dengan kain panjang hingga tutup mata kaki plus kain penutup di kepala! Pakaian komplit seperti ini dianggap tidak pantas dan tidak sopan. Dirasa amat mengganggu ‘kesakralan ritual’ musim panas di area pantai. Bukankah para perempuan itu telah berdosa melawan ruang, tempat dan waktu?

Wah, ada-ada saja nih! Tapi itulah, ada saatnya bahwa ‘faktor Pure Beach’ juga punya kekuasaannya sendiri dan memang itu sekarang miliknya! Tetapi, andaikan harus masuk ke dalam Basilika St Petrus? Walau di garis awal antrean masuk tak ada tulisan Catholic Only, kesopanan berpakaian tetap berlaku untuk semua.

Tentu seturut etika berbusana dalam sebuah Rumah Tuhan! Maka sadarilah. Ternyata, masing-masing punya alamnya sendiri. Seperti apapun selalu ada pada zamannya.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *