Kecemasan adalah wabah di zaman modern, namun iman bisa menyembuhkannya. – Smiley Blanton, psikiatris & psikoanalis Amerika, 1882-1966.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Iman Kristen dalam zaman yang berlalu…
One is either a mystic or a non-believer. Permenungan Karl Rahner, teolog Jerman, yang wafat tahun 1984 itu, tetap saja menyentak. Setidaknya, itulah yang ditegas ulang oleh Ronald Rolheiser dalam “Seeking Spirituality: Guideline for a Christian Spirituality for the Twenty-First Century” (1998).
Rolheiser menilisik situasi. Ada ketikanya, dahulu, saat aura kekristenan sekian nyata akrabi keseharian. Tentu dalam konteks Eropa di kisah-kisah silam. Nuansa gereja lahiriah mengental. Iman tampilan terbaca nyata, misalnya, dalam berbagai varian doa dan berbagai devosi populer.
Waktu berlalu dan zaman pun berubah. Dimensi kekristenan, dengan segala nuansanya, tak terhindarkan lagi, telah jadi salah satu entitas dari keberagaman universal. Kekristenan harus berhadapan dengan dunia pluralistik, agnostik, sekular, dunia yang menggiurkan, dan serentak yang membingungkan. Dan semuanya juga menjadi bagian dari keadaan hidup yang nyata.
Tuhan tak punya tempat lagi?
Tentu mendebarkan untuk mendengus apa yang disinyalir oleh Henri Nouwen, setengah abad silam. Seturut pengamatannya di tempat di mana ia bertugas, di Yale, bahwa bahkan di antara para calon imam (seminaris) sekalipun kesadaran yang dominan adalah agnostik. “God essensially had no place, even among people talking about religion and preparing for Christian ministry.”
Tentu tak ada yang salah bahwa seseorang terlahir dan dibesarkan dalam keluarga (alam) kekristenan; bahwa ia dibaptis untuk menjadi orang Kristen; dan ia lalu berkembang dalam pengetahuan akan agama, moral-etik, ajaran sosial dan nilai-nilai hidup dalam spirit ajaran Kristen.
Bagaimanapun di balik semuanya, tetap ada kekuatiran akan ruang kosong dari apa yang disebut sebagai personal faith in living God. Itulah “iman pribadi yang kokoh dalam Allah yang hidup.” Yesus, Tuhan, sedari awal, sungguh memanggil siapa pun yang berkehendak baik.
Mari ikutilah aku…
Tetapi, dalam Injil para murid itu, pertama-tama tidak dipanggil untuk melakukan sesuatu atau untuk memahami secara tepat segala yang diajarkan-Nya. Yesus, pada tempat pertama, memanggil para murid demi satu kualitas relasi pribadi dengan diri-Nya. Dan dari kualitas relasi pribadi yang kokoh itulah lahir kekuatan dahsyat untuk bertahan dalam iman dan melakukan apa yang Yesus ajarkan.
Sebab itu, Yesus mesti lemparkan pertanyaan pada para murid, “Menurut kamu siapakah Aku ini?” (Luk 9:20). Renungkan kisah pengunduran diri dari banyak murid-Nya. Dan Yesus harus menantang Petrus dan kawan-kawannya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6:67). Bagaimana Petrus harus pergi dari Yesus jika kedalaman relasi itu telah sampai pada kualitas “sabda hidup dan kekal?”, yakni pribadi Yesus itu sendiri.
Murid-murid Yesus adalah sungguh kumpulan manusia beriman yang berziarah bersama. Tetapi, bukankah setiap murid terpanggil untuk masuk dalam satu relasi pribadi dengan Yesus, Tuhan dan Guru? Rolheiser ingatkan betapa sering orang Kristen jatuh sebatas kerangka ideologi atau konsep tentang kekristenan dan bukannya spirit kekristenan yang lahir dari satu relasi yang hidup dengan pribadi Yesus sendiri.
Agama: antara iman dan ideologi
“Too often what we have, in fact, is not christianity but an ideology of christianity...” tulis Rolheiser. Seorang beriman tentu berbeda dengan seorang penganut suatu ideologi. Dalam semangat Injil, bisa terlihat sekian banyak ‘gerakan dan kegiatan’. Dalam terang Injil bisa muncul sekian banyak refleksi bahkan kajian mendalam tentang membaca tanda-tanda zaman.
Ideologi bisa menjadi satu kekuatan dahsyat untuk bertindak atau untuk menggerakkan. Berhadapan dengan keadaan dunia dengan segala pergulatannya, setiap orang bisa dituntun oleh pertanyaan untuk segera tiba pada jawaban cepat tuntas: “Apa yang harus segera kita sikapi; apa yang harus kita kerjakan?”
Namun, renungkan keadaan dunia saat kepanikan mendera. Ketika belum ditemukan jalan keluar. Huru-hara dan serba kekacauan timbul karena manusia merasa dibantai oleh segala kemendesakan. Hati manusia menjadi ‘ribut dan macet serta sumpek’. Sebab ia tidak terampil dan teduh dalam menghadapi kenyataan eksterior, yang ada di luar dirinya.
Keteduhan hati vs kebisingan sikap
Ironi dalam penghayatan agama sering tak terhindarkan. Manusia ingin mencari Tuhan dalam keheningan dan keteduhan batin melalui agama. Sayangnya, agama tak ubah bagai ‘institusi dan perangkat penuh kebisingan’. Agama sering tak jadi instrumen pedagogi batin agar insannya tetap sejuk hati untuk melihat alam dunia dan sesamanya yang kaya dalam perbedaannya.
Ini pun ibarat calon-calon hidup religius yang dilatih serius dalam kontemplasi demi mencapai ketenangan batin. Namun sayangnya hati sering jadi kocar-kacir. Sebab muder-nya ribut tak karuan. Hanya karena pot bunga komunitas terlihat retak sedikit saja. Ini apalagi saat air dan listrik macet hanya semenit dua di biara. Semua jadi heboh.
Manusia zaman kini bisa jadi juga heboh nan gelisah andaikan internet, wifi, serta pelbagai perangkat komunikasi menjadi macet. Atmosfer batin teduh oleh karena lengkapnya fasilitas sudah menggeser kebertahanan semangat walau dalam satu situasi sulit dan terbatas!
Kembali pada relasi pribadi
Maka Karl Rahner tak sekedar berpendapat. Ia sungguh menggariskan betapa pentingnya “a deep, private act of faith”. Tindakan dan tampilan seorang Kristen mesti lahir kedalaman iman personal. Iman memang tercerahkan dalam sekian banyak diskursus teologis. Tetapi iman menjadi kokoh dalam internalisasi kedalaman relasi pribadi dengan Tuhan.
Di sisi lain, benar, bahwa tampilan komunitas pun Gereja institusional diterima dan dialami sebagai satu kebutuhan! Namun, tidakkah terdapat sekian banyak orang yang bersaksi sebagai murid Tuhan dalam keteduhan? Dalam keyakinan pribadi yang mendalam akan Tuhan? Gereja tak hanya kokoh di atas cadas. Tetapi ia mesti berakar pada ‘kesuburan’ tanah pula. Iman tak boleh glamor cuma di level ‘basilika’. Tetapi iman mesti bertumbuh ‘sunyi, teduh dan damai’ yang berakar dari alam ‘katakombe.’
Bobot iman seperti itu sudah bergerak dari ‘iman obyek-informatif’ menuju ‘iman sebagai satu penghayatan pribadi’; yang tajam membedakan antara ‘kepalsuan iman rekayasa’ dan keyakinan pribadi akan Tuhan yang menyelamatkan dan menghidupkan. Kualitas iman seperti itu, sekali lagi, sungguh tak ditentukan oleh aspek luaran. Ia berakar dari kedalaman relasi dengan Tuhan.
Manusia bercitra mistik
Karl Rahner mengimpikan citra manusia mistik. Bila ditafsir seadanya, ciri mistik itu tak sesederhana ditangkap sebagai aksi fuga mundi (menjauhi dunia). Sebuah ‘pengasingan demi diri sendiri’ agar tak terpolusi oleh dunia yang dianggap kotor, berdebu, kumuh dan kusam. Tidak!
Karakter mistik sanggupkan seorang beriman untuk berada dalam ‘kegaduhan hidup tanpa terseret oleh arus kegaduhan itu sendiri’. Gelora manusia ‘nafas satu-satu’, berdenyut jantung di dada bergetar tak menentu, gelisah, panik, tak tenang, huru-hara kini sungguh jadi nyata. Mengaburkan irama teduh dan alam cerah hidup manusia itu sendiri.
Akhirnya…
Kini, yang dicari, dikejar dan bahkan dibanggakan barangkali saja adalah ‘jumlah pengikut atau penganut agama’. Tetapi entah sosok siapa atau obyek apa yang harus dikuti dan dipanuti? Agama, bisa saja bagai sebuah kapal berlayar, yang meyakinkan jumlah penumpangnya.
Sayangnya, hanya sedikit saja penumpang kapal itu yang teduh hati saat gelombang dan badai datang menerpa! Sebagian besar lainnya hanya ‘bikin ribut penuh bising nan panik’. Yang bahkan hanya lebih mengganggu irama samudra luas.
Di situlah, sang kapten kapal segera tahu: mana penumpang yang sesungguhnya dan mana para penumpang gelap dalam pelayaran kapalnya. Karl Rahner memang benar: One is either a mystic or a non-believer… Telak memang! Tuhan, sejatinya, ada di sini, di dalam jiwa ini….
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma