Satu permenungan pada perayaan Tritunggal Mahakudus.
“Dunia ini panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah….”
(Panggung Sandiwara, lagu: Ian Antono, lirik: Taufik Ismail, vokal: Achmad Albar – God Bless, 1977).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Kebenaran itu tetap teguh dan tidak berubah
Konon, di hadapan manusia berdiri kokoh tiang agung kebenaran. Dan sejak itu, setiap anak manusia, kita-kita ini, sedari awal, dituntun untuk menuju kebenaran itu. Semoga kebenaran itu, sebisanya, didekap, dan lalu menjadi daya dorong. Iya, jadi pedoman di jalan hidup ini. Dalam rel panjang kisah dan peristiwa. Satu kebenaran peristiwa memberikan keyakinan teguh atas dasar tenunan asli dari pintalan benang ruang, tempat dan waktu.
Di atas kebenaran itulah kita berdiri teguh. Dan kita lantas sedikit pun tak goyah oleh gemuruh terjangan badai dari segala sudut. Sebab kebenaran itu telah memiliki kita. Dan tidak sebaliknya! Kebenaran telah masuk dalam ‘kisah ceria dan tangisan air mata kita yang sebenarnya’. Di situ, kita pun menjadi lega. Kita jadi polos. Tanpa perlu lagi ‘seutas benang pembalut diri’. Tanpa benang-benang kuasa, pangkat dan kedudukan kita. Pun tanpa jubah kesalehan pembungkus tubuh. Kita sudah jelas terang seperti apa adanya. Dalam sorot cahaya kebenaran.
Kebenaran selalu menanti
Sebab kebenaran telah beri kita pelajaran teramat berharga. Bahwa kita mesti telanjang dan benar-benar bersih. Suci lahir dan di dalam batin. Sudah terlalu banyak debu yang menempel di kepala kita. Telah banyak titik-titik noda yang menyelinap dan lumpuri hati kita. Telah banyak kisah kumuh yang telah menyerobot sesakkan dada. Sungguh benar si Naff, “Tak ada manusia yang terlahir sempurna…” Dan kitalah ketidaksempurnaan itu. Dan itulah kebenaran.
Kebenaran kini hanya tersenyum. Saat kita kembali bangkit untuk tapaki ulang jalan-jalannya. Ketika kita berniat serah diri padanya dalam kerendahan hati. Dalam kerka batin penuh sesal. Dalam lamentasi mohon maaf dan pengampunan. Sebab, terkadang kita mudah rapuh dan lantas menjauhi kebenaran itu. ‘Mempermainkan dan memperdagangkannya’ dalam skenario punya kita sendiri. Itulah yang kita renungkan dari titik akhir kisah ciuman pahit Getsemani si Iskariot. Ia terjerat dalam gurita bisnis 30 keping uang perak. Hanya untuk lepaskan Sang Kebenaran Ilahi.
Tetapi, kebenaran itu tak akan pernah luntur. Ia tetap, sekali lagi, teguh berdiri. Tak terkalahkan. Ia ibarat terang yang tak mungkin dibinasakan oleh kegelapan. Kebenaran itu tetap punya daya pikat. Demi menarik segalanya untuk mendekatkan diri padanya. Ia tetap cantik dan memang menarik.
Kebenaran yang terjebak?
Citra kekristenan adalah sebuah panggilan suci demi tegakan kebenaran. Namun, ini memang telah diinsafi sebagai perkara yang tak mudah. Di zaman kini, katanya, orang hanya ingin melihat kebenaran yang berdikari.
Mutlak dan bebas dalam dirinya. Yang tak boleh dibungkus dalam doktrin agama dan iman yang ketat dan kaku. Yang lalu dimanipulasi lagi oleh segala bumbu dan baju yang berbau agama serta oleh rupa-rupa kepentingan. Yang pada muaranya kental dengan berbagai tekanan yang harus diterima sebagai ‘kebenaran’.
Sebab itulah, sejak dulu, orang-orang semisal Goethe dan Voltaire, telah menggugat kebenaran yang direzimkan. “Iman (tentu dengan kebenarannya) yang dipaksa bertumbuh dari kebengisan serta agama yang nyaman menempel pada kekuasaan, agar tak mudah dapat digugat, sepantasnya harus ditolak”.
Mari bersimpuh teduh di hati
Tetapi, mari belajar dari St Thomas Aquino. “Untuk melihat dunia dengan benar kita perlu belajar untuk melihatnya dengan rendah hati dan jernih. Dan di situ kita pasti melihat pula kebaikan dunia…” Dalam kebenaran kita pasti temukan kebaikan dalam siapapun sesama kita. Dan di situlah tesis dasar kebenaran iman kristiani bahwa “Pada awal mula, Tuhan melihat semuanya baik adanya.”
Rentang perjalanan sejarah keselamatan, dalam Kitab Suci, bentangkan sederet kisah konflik serius antara kebenaran dan kepalsuan. Timothy Radcliffe tentu benar, bahwa malah ada hal yang lebih mendasar lagi “yang merupakan konflik antara sabda Tuhan yang memberi hidup dan membuat kita berkembang, dengan kata-kata pendakwah yang merendahkan, mempersalahkan, dan mengecilkan.”
Kebenaran iman kristiani bukanlah satu paradigma ‘dirikan tembok tebal atau ciptakan jurang dalam dan lebar demi amannya kelompok bercitra domba, gandum, saleh, suci, kudus, benar agar tak terjangkau dan tak dicemari oleh ‘kaum yang berbau laknat, bejat, kafir, tak senonoh, biadab atau kaum nara pidana…’ Tidak seperti itu.
Rukun dan damai: itulah kebenaran iman!
Di zaman ini, ketika kemajuan media sosial semakin meluas dan melebar, orang mudah mencari dan tegakan kebenaran-nya (sendiri) dengan ‘menghina, mempermalukan, memaki-maki, menistakan, menelanjangi, mengkuliti, dan merasa menang serta bangga sebab sudah bikin sesama tidak ada sisa memang dan sudah jadi bebek lumpuh’. Itukah yang disebut pengagungan kebenaran dalam semangat Injil?
Wibawa iman kristiani itu, sebaliknya, nampak saat ia berjuang agar manusia hidup (kembali) dalam jembatan persekutuan kasih. Dalam harmoni cinta. Dalam hati yang terbuka ketika Kasih sungguh dapat mengalahkan kebencian: saat pengampunan lebih kuat dari balas dendam: saat jabat tangan untuk berdamai telah teduhkan amarah yang pernah deras mengalir tak terbendung. Kita memang mesti lewati segala prasangka yang kejam dan membabi buta.
Akhirnya...
Dalam dunia, yang adalah panggung sandiwara mahaluas dan mahalebar ini, sungguh, segala cerita terkadang bisa mudah berubah. Tetapi, apapun ceritanya, kasih dan kebenaran dalam Yesus tetap tidak berubah. Sebab Yesus, Tuhan, dalam dan bersama kuasa Allah Bapa dan kasih Allah Roh Kudus, selalu menerima dan memeluk kita dalam kasih agung, mulia dan tak bersyarat.
Mari kita bersujud di hadapan Takhta Kasih Allah Tritunggal Mahakudus. Agar diampuni dan diberi semangat batu. Dan dari situlah, kita lanjutkan perjalanan hidup kita. Penuh sukacita dan harapan. Sebab kebenaran itu sungguh telah memerdekakan. Dan ziarah kita selanjutnya tak pernah boleh terasa sangat menyedihkan. Sebab kita tetap dalam perjalanan menuju Kasih Abadi Tritunggal Yang Mahakudus.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Biara Passionis – Vignanello, Italia.