Kelima sila yang terkandung di dalamnya itulah yang menata koeksistensi kehidupan bangsa-bangsa yang membentuknya.
Oleh Agustinus Edward Tasman
Fondasi republik tidak dibangun di atas pasir. Maka jika kini dia tetap tegak berdiri sebagai independence-nation-state, itu lebih banyak disebabkan karena Soekarno-Hatta cum suis membangunnya di atas pilar Pancasila. Kelima sila yang terkandung di dalamnya itulah yang menata koeksistensi kehidupan bangsa-bangsa yang membentuknya.
Kedua, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi yang mengatur jalannya operasi pengaturan negara terhadap warganya (citizen) berdasarkan rechstaat yang juga menjamin “kebebasan” hak-hak asasi dalam kerangka “regulated freedom“.
Kebebasan yang teregulasi inilah yang membuat kita yang hidup dalam negara, manakala merasa perlu berdemonstrasi terhadap negara, negara melalui aparatusnya tetap masih perlu diberitahu karena ia harus menjamin keamanan dan kenyamanan kita yang berdemo. Juga warga yang tidak ikut berdemo yang mungkin “terganggu” aktivitasnya di lajur-lajur jalan pada hari kita demo. Dan, tidak kalah pentingnya, keamanannya sendiri sebagai sebuah negara yang terbangun dari berbagai unsur dimana unsur-unsur itu sangat rentan “pecah” yang mungkin hendak digugat oleh demonstrasi itu jika tidak dijaga oleh state-guard yang pada akhirnya membahayakan keselamatan negara.
Semua itu hanya mau mengatakan, untuk menyingkat, bahwa kebebasan individual saya terbatasi oleh kebebasan teman dalam berbuat atau bertindak apa saja di ruang publik. Negara tetap hadir menjamin dan mengatur jaminannya itu dalam bentuk apa pun tindakan kita sebagai warga negara, satu dengan yang lainnya. Saya dengan teman. Teman dengan temannya teman. Bahkan saya, teman dan warga yang lainnya dengan negara.
Jadi, untuk mengikuti sambil menginovasi lirik lagu untuk keperluan ini, selalu ada “dia”, sang negara, di antara kita dan karena itu jangan tanya mengapa. Sebab jawabnya adalah begitulah, begitu sudah konsukuensi hidup dalam negara dan menjadi warganya. Sepemahaman saya.
Pada akhirnya, pemilihan kata tua Jawa “Bhineka Tunggal Ika” oleh Soekarno sebagai semboyan, terbukti telah menyemen semua unsur yang berbeda-beda di antara kita satu sama lain itu serentak memberi arah bagi kesatuannya sebagai negara bangsa merdeka.
Sekilas kata-kata ini sederhana sehingga bagi kaum nyinyir hanya biasa saja. Tapi jangan lupa bahwa yang sederhana bisa menjadi penting dan lebih dipegang ketimbang yang berat-berat.
Ini terbukti ketika ada konflik yang pecah di mana pun dalam wilayah negara kita, kata-kata ini sudah membuktikan kesaktiannya berulang kali menahan angkara murka amuk satu sama lain. Ketika yang satu sedang emosi, awasan ini menahan emosi kita untuk turut naik sehingga menimbulkan kacau. Itulah yang menjaga kita sebagai satu kesatuan negara bangsa. Yang menghindarkan kita dari bahaya “perang semua melawan semua” –Hobessian.
Untuk semua itulah perayaan perlu dilakukan atau diikuti bagi yang sempat atau menyempatkan diri secara rela hati sambil tidak perlu mempersoalkan sesama yang menganggapnya tidak penting, bodoh amat, malas tenar, dll. Mereka tetap bagian dari kita, saudara-saudari kita sebangsa, satu bahasa, setanah air yang punya alasannya sendiri menjadi seperti itu.
Tapi bagi kita yang merayakannya, setidak-tidaknya dengan cara itu kita mengenang dan menghormati jasa heroik para pahlawan yang telah mengorbankan nyawanya bagi berdirinya republik di atas setiap jengkal tanah di persada nusantara.
Mungkin inilah yang membuat kita perlu merayakannya lagi untuk yang ke-77 pada tahun ini, meski keadaan republik harus diakui tidak baik-baik saja, tetapi pada saat bersamaan yang jelas juga tidak buruk-buruk amat.
Merdeka! Selamat ulang tahun negeriku, Indonesia.