Dewan Hakim belumlah tiba pada muara putusan. Namun, publik sudah pada maki ancor. Penuh sumpah serapah. Seakan sudah tiba pada akhir dari semuanya. Namun, ini tak berarti tak pernah ada sedikit pun rasa turut berbela rasa penuh simpati.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Kiranya semua bakal segera berakhir. Kata akhir Dewan Hakim yang mulia mesti dipastikan. Dan bunyi palu bakal sudahi semuanya. Jalan panjang main nalar serta aneka ungkap rasa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu memang sudah bikin energi terkuras.
Sabang hingga Merauke bakal tak sabaran lagi. Apa sesungguhnya di balik semuanya? Akankah semuanya jadi terang bersinar bagai mentari pagi? Ataukah tetap jadi samar bagai rembulan malam yang tapele segumpalan awan? Bagaimanapun itu semua tak tutupi gelora rasa ingin tahu.
Betapa sulitnya bahasakan segala fakta lapangan di arena pengadilan. Dengan terang menderang. Sejelasnya. Lurus dan sejujurnya. Semua pada bertarung. Sedapatnya bisa dimengerti Dewan Hakim. Dan lagi, punya harapan tebal agar diterima.
Sambo cs ingin buktikan sejadinya. “Aku kurang bersalah atas darah orang itu.” Setidaknya, “Aku, dia, kami, bukanlah causa prima dari tragedi kengerian itu.” Tetapi, bahwa itulah ‘risiko wajar’ yang mesti diterima Josua. Yang telah dipaksa pergi. Untuk selamanya.
Kematian ngeri itu sungguh telah jadi ‘harga mati’. Namun, di arena Pengadilan? Itu tak ubah bagai ‘arena pasar loak banting harga’. Tawar menawar harga pas hukuman sekian kasat di pancaindra.
Semuanya mesti direpotkan oleh babak adu penalti opini, analisis dan interpretasi yang wajib ‘dibikin logic’. Di situlah para penasihat hukum mesti tampil seram. Namun bermain cantik penuh taktik. Tampilkan itu. Sembuyikan ini.
Arena formil-official Pengadilan sungguh telah sibuk. Tapi sebenarnya, yang tampak lebih padat sibuknya adalah street judging itu. Iya, pengadilan jalanan itu. Yang bersesak-sesakan dengan tumpukan komen di medsos. Bila disingkat isinya, “Semuanya marah. Hanya iblis tertawa bersorak.”
Dewan Hakim belumlah tiba pada muara putusan. Namun, publik sudah pada maki ancor. Penuh sumpah serapah. Seakan sudah tiba pada akhir dari semuanya. Namun, ini tak berarti tak pernah ada sedikit pun rasa turut berbela rasa penuh simpati.
Publik pada marah dan tak habis pikir. Sebegitu mudahkah satu kisah maut yang logis-faktual, jadi gembos nantinya oleh ampuhnya sebuah skenario? Sebab, benar atau salah diterima dan diakui dengan penuh persyaratan. Sejauh apakah itu memberatkan ataukah menguntungkan?
Mata dan telinga mesti dinyatakan terbuka jika memang menguntungkan! Dan kedua pancaindra itu mesti dipastikan ‘seolah’ buta dan tuli sekiranya merugikan. Tetapi, bisakah sebuah kebenaran akan tetap berdiri tegar dan kokoh? Itulah yang mesti ditatap semesta Tanah Air.
Babak demi babak tarik mundur dari kisah tragis 8 Juli 2022 itu sudah ‘disusun ulang’. Bila mesti telisik secara lain, gelora rasa hati publik (dan bisa pula pada Dewan Hakim yang mulia), sesungguhnya diayunkan oleh tali yang terhubung oleh dua pilar tangisan.
Di saat-saat awal persidangan itu, yang tersisa pada Ibunda Josua hanyalah tangis dan air mata. Ditumpahkan semuanya. Sehabis-habisnya. Josua, sang putra itu, sungguh tak akan pernah kembali lagi. Ia telah ‘disenyapkan’ karena satu alasan yang masih tetap digali.
Tetapi, apakah kisah penuh haru dan air mata Mama Rosti dan Bapa Samuel, orangtua Josua, akan bertahan lama dalam kenangan? Mungkinkah sekiranya rasa simpatik penuh iba dan doa tetap bertahan di lubuk hati publik?
Bisa terjadi, semuanya itu mungkin tak terlalu berarti. Kesedihan ini bukanlah sebuah drama yang mesti dikaroseri dalam peran. “Josua, sang putra, adalah sumber tangisan yang tetap berkepanjangan.” Yang selalu tetap terbayang. Hingga datang dalam mimpi di tidur malam. Deraian air mata spontan sungguh menyayat.
Di tepian seberang, di jelang akhir palu hakim, ada pula tumpahan air mata tak terbendung. Itulah tangisan seorang perempuan, yang didakwa ada di balik kematian Josua.
Putri Candrawathi terseguk penuh sedih. “Aku seperti sudah jatuh ditimpah tangga pula,” adalah ungkapan hatinya terdalam. Demi menjaring simpatik publik. Pun ingin luluhkan Dewan Hakim?
Namun, publik sudah punya litania penghakiman bergulung-gulung. Kiranya semuanya adalah tangisan dan air mata penuh drama. Setingan ala sinetron Korea. Tetapi, apakah sebenarnya yang ditangisi penuh kesegukan di arena Pengadilan itu?
Benarkah adalah sebuah rasa malu dan cemar harga diri yang sungguh ditangisi akibat bejatnya si Josua? Dan karenanya, Josua mesti dibikin tewas? Dan bahkan ceceran darah dan jasadnya pun tak (mau) dilihat? Candrawathi di titik ini masih dalam “kebenaran tunggal miliknya sendiri.”
Candrawati adalah ‘kata-kata, ungkapan rasa, tumpahan air mata, dinamika suara lembut serta alam batin’ pada dirinya sendiri. Dan semuanya: hanyalah Tuhan yang pasti!
Kisah Josua di balik Sambo cs tentu tetap dikenang. Semuanya telah ditangkis dalam tesis yang sekiranya dapat ditangkap oleh Dewan Hakim yang mulia.
Namun, bukankah segala argumentum pembelaan itu telah terasa gersang dan kerontang? Tanpa harapan ‘hidup?’ Dan karenanya mesti dibasahi dengan ‘hujan buatan titik-titik air mata?’
Suara publik, sudah terasa kejam. Untuk tak peduli pada air mata Candrawathi. Yang sudah dituduh penuh aksi teatrikal itu. Kita sekiranya memang belajar sabar dan bertahan dalam harapan. Demi satu kebaikan.
Bagaimanapun badai ini akan berlalu dalam waktu. Dewan Hakim lagi bertarung. Agar sanggup bikin keputusan yang sewajar dan seharusnya. Demi tinggalkan kenangan penuh suri teladan di dunia peradilan di tanah air di hari-hari selanjutnya.
Tetapi, semoga dapat diterima di hati terdalam Dewan Hakim yang mulia: “Sekiranya, mata tak boleh diganti mata. Dan gigi tidak boleh diganti gigi.”
“Dan untuk almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, sepenggal harapan dan doa tetap dilambungkan buatmu:
“Lolong burung malam di rimba ho.
Melengking menyayat jiwa
Tangis kami pecah di batu
Duka kami remuk di dada.
Doa kami bersama-sama…
Untukmu, untukmu, untukmu…”
(dari puisi-lagu “Rembulan Menangis” by Ebiet G Ade)
Verbo Dei Amorem Spiranti