Kupang, detak-pasifik.com – Jelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024, situasi politik di provinsi ini semakin memanas. Salah satu isu yang mencuat adalah fenomena kampanye hitam (black campaign) yang mulai mewarnai jalannya kampanye. Kampanye hitam itu menyasar pasangan calon nomor urut 3, Simon Petrus Kamlasi-Adrianus Garu.
Kampanye negatif ini tidak hanya mengganggu proses demokrasi, tetapi juga berpotensi menciptakan ketegangan dan perpecahan di kalangan masyarakat NTT.
Pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Yefta Sabaat, mengungkapkan keprihatinannya terhadap meningkatnya tensi politik menjelang pencoblosan. Ia menilai bahwa meskipun ketegangan dalam politik menjelang pemilu adalah hal yang wajar, perlu ada langkah antisipasi untuk mencegah potensi konflik yang dapat merugikan masyarakat.
“Tensi politik yang tinggi menjelang pencoblosan memang lumrah, tetapi harus diantisipasi agar tidak memicu perpecahan sosial,” ujar Yefta dalam sebuah wawancara pada Kamis, 21 November 2024.
Menurut Yefta, praktik kampanye negatif yang dilakukan oleh peserta Pilkada, terutama kampanye hitam, dapat merusak integritas pemilu dan membahayakan stabilitas sosial di NTT. Kampanye hitam yang dilakukan untuk merendahkan elektabilitas lawan politik, baik melalui penyebaran fitnah maupun manipulasi informasi, dapat memicu konflik horizontal, baik antar pendukung pasangan calon maupun tim sukses.
Kampanye hitam, lanjut Yefta, merupakan salah satu tantangan besar dalam Pilkada NTT kali ini. Meski sudah ada pengawasan, Yefta menyebut bahwa keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam pengawasan menjadi salah satu kendala utama.
“Penting untuk ada evaluasi berkala dalam pengawasan, agar setiap potensi pelanggaran dapat diminimalkan,” tambahnya.
Selain itu, ia juga mencatat bahwa kualitas kesadaran politik para kandidat dan tim kampanye yang beragam menyebabkan kurangnya pemahaman tentang etika demokrasi. Tak hanya itu, Yefta juga menyoroti minimnya pemahaman calon pemimpin tentang pesta demokrasi yang sehat.
“Kesadaran politik dari peserta pemilu masih sangat rendah. Harapan saya, proses hukum harus terus berjalan agar ada efek jera bagi pelaku kampanye negatif,” katanya.
Ia menegaskan bahwa penggunaan kampanye hitam sebagai strategi untuk merubah persepsi publik menjelang pemilu, seperti yang terjadi pada pasangan calon tertentu, hanya akan merugikan masyarakat dan memperburuk hubungan antar warga.
Salah satu contoh kasus kampanye hitam yang tengah mencuat di NTT adalah dugaan serangan terhadap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTT nomor urut 3, Simon Petrus Kamlasi-Adrianus Garu (SIAGA). Kampanye hitam terhadap pasangan SIAGA ditandai dengan pemasangan baliho yang mencatut foto Simon Petrus Kamlasi dan mantan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, yang mengatasnamakan kebijakan kontroversial “Lanjutkan Program Masuk Sekolah Jam 5 Pagi”.
Baliho tersebut, yang menyiratkan kebijakan yang pernah diterapkan oleh Laiskodat, tampaknya sengaja dipasang untuk menyerang citra pasangan SIAGA menjelang hari pencoblosan. Dalam baliho tersebut, tertulis “Demi NTT Maju” yang menurut pengacara SIAGA, Ali Antonius, adalah bentuk fitnah yang tidak hanya mendiskreditkan pasangan SIAGA, tetapi juga merusak stabilitas politik NTT.
“Kami sudah melaporkan hal ini ke Bawaslu NTT, dan berdasarkan bukti yang ada, tindakan ini memenuhi unsur pidana,” kata Ali Antonius.
Menurut laporan yang disampaikan oleh Ali Antonius, baliho tersebut dicetak di Percetakan Sylvia, dan pihak percetakan telah mengonfirmasi bahwa oknum yang memesan baliho tersebut adalah seorang individu berinisial ADD. Ia juga diketahui pernah mencetak baliho untuk pasangan calon lain sebelumnya. Selain itu, bukti lain yang mendukung pelaporan ini adalah rekaman CCTV yang menunjukkan kehadiran ADD di percetakan saat pesanan baliho tersebut diproses.
Yefta Sabaat juga mencatat bahwa salah satu kendala utama dalam pengawasan Pemilu 2024 di NTT adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Keterbatasan ini membuat pengawasan terhadap jalannya kampanye tidak maksimal.
Meskipun pengawasan dari Bawaslu dan instansi terkait sangat penting, peran masyarakat dalam menjaga integritas pemilu juga tak kalah penting. Yefta berharap agar partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemilu dapat lebih ditingkatkan, terutama dalam melaporkan praktik-praktik kampanye hitam yang dapat merusak proses demokrasi.
Selain itu, Yefta juga menyarankan agar ada pembekalan dan pendidikan politik yang lebih mendalam untuk calon pemimpin serta tim sukses mereka. Pendidikan politik yang baik dapat membantu para peserta Pilkada memahami etika demokrasi dan menjauhkan diri dari praktik-praktik kampanye negatif yang hanya akan merusak kedamaian sosial di NTT.
Menjelang Pemilu 2024, Yefta berharap agar semua pihak, baik kandidat maupun masyarakat, dapat menjaga suasana politik yang kondusif. Ia mengingatkan bahwa yang akan dirugikan dalam praktik kampanye hitam bukan hanya kandidat yang menjadi sasaran, tetapi juga masyarakat NTT yang harus hidup berdampingan pascapemilu. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya integritas dalam setiap aspek kampanye dan penyelenggaraan pemilu.
“Proses hukum harus terus berjalan untuk memberi efek jera pada pelaku kampanye hitam, sehingga ke depan tidak ada lagi pelanggaran serupa. Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa politik yang bersih adalah kunci untuk masa depan NTT yang lebih baik,” tutupnya.
Tensi politik menjelang Pemilu 2024 memang semakin tinggi, namun melalui pengawasan yang ketat dan kesadaran yang lebih baik tentang etika demokrasi, NTT dapat menjaga proses demokrasi yang bersih dan damai.*** (TM)