Oleh Dhebora Nuralita Kurniasih, Mahasiswa Program Studi BK FKIP di UKSW Salatiga
Perbincangan mengenai stratifikasi sosial dalam era yang semakin mendunia atau mengglobal seperti saat ini membungkus berbagai persoalan prinsipiel tentang konsep kemanusiaan macam apa yang hendak digunakan untuk memaknai kehidupan itu sebenarnya (Barnadib, 1988). Sementara realitas kehidupan itu sendiri mengindikasikan adanya perbedaan status sosial yang sulit dihindari, manakala kita berbicara tentang sesuatu yang merupakan hak setiap orang, tetapi harus menerima perlakuan yang berbeda (Umbu Tagela, 1999).
Di Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap tempat bertumbuh dan bersemainya konsep demokrasi terdapat beberapa lapisan masyarakat. Pelapisan masyarakat dilandaskan pada darah biru (ningrat) atau jelata, kepemilikan harta benda, dan kedudukan seseorang dalam tangga masyarakatnya (Engkoswara, 1989). Perbedaan keberadaan manusia secara otomatis mempengaruhi pola pikir, pendidikan, sikap dan tingkah laku.
Secara teologis Tuhan tidak pernah menciptakan manusia untuk menduduki suatu strata sosial tertentu. Setiap orang diberi talenta oleh Tuhan untuk berjuang atau berusaha memaknai kehidupan ini. Hasil kerja manusia itulah yang menyebabkan manusia memeterai dirinya dalam suatu sistem pertanggaan hidup.
Stratifikasi Sosial
Havighurts (1972) menunjukkan bahwa perhatian terhadap pendidikan dan sekolah oleh berbagai lapisan masyarakat berbeda. Lapisan teratas memandang pendidikan lebih sebagai peningkatan pribadi atau prestise daripada sebagai persiapan suatu jabatan atau pekerjaan. Lapisan menengah atas pendidikan sangat penting bagi perolehan dan pemantapan kariernya dan tidak sedikit dari mereka yang dapat mencapai lapisan menengah atas dengan bermodalkan pendidikan yang baik. Lapisan menengah bawah memandang pendidikan sebagai hal yang esensial untuk mendapatkan pekerjaan dan atau jabatan yang baik dan oleh karena itu perhatian mereka terhadap pendidikan sangat besar.
Sementara, lapisan rendah memandang pendidikan memang sangat perlu, tetapi karena sering perhatian terhadap sekolah terdesak oleh kebutuhan untuk makan atau pencaharian hidup keseharian menyebabkan angka putus sekolah dari lapisan ini sangat tinggi. Mayoritas bangsa Indonesia berada pada lapisan menengah bawah dan lapisan rendah. Jikalau mayoritas ini tidak mengenyam pendidikan formal yang memadai, dapat dibayangkan hasil karya macam apa yang dapat diproduksi. Dan dalam konteks berpikir seperti demikian tidak pernah terjadi pergeseran kelas secara vertikal.
Kelas Menengah di Indonesia
Terminologi kelas menengah merupakan manifestasi dari suatu pengakuan terhadap konsep stratifikasi sosial. Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa kelas menengah terdiri dari kelas menengah atas dan kelas menengah bawah. Kedua kelas menengah tersebut berada pada tataran yang berbeda akibat tolok ukur pemaknaan yang juga berbeda. Berbagai akumulasi kriteria seperti tingkat pendidikan, kepemilikan harta, status sosial ikut menentukan kategorisasi penstratifikasian. Daya juang kedua kelas menengah ini memiliki karakteristik yang sama karena memiliki tingkat pendidikan yang relatif sama walau motivasi yang melandasi berbeda (Umbu Tagela, 1988).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para sosiolog ditemukan bahwa kelompok masyarakat kelas menengah atas kurang berhasil meraih prestasi dalam pendidikan formal. Hal ini disebabkan oleh kebanggaan status sosial, kekayaan dan jabatan orang tua atau keluarga. Motivasi berprestasi golongan menengah atas relatif kurang kuat dibandingkan golongan kelas menengah bawah. Hal itu pula yang menyebabkan adanya pergeseran kelas akibat tingkat pendidikan yang berdampak pada outcome. Realitas ini lebih jelas dapat dilihat pada masyarakat pedesaan.
Kelas menengah di Indonesia teranyam dalam suatu sistem stratifikasi sosial. Jika stratifikasi sosial makin banyak dan luas, seperti kelas atas, menengah atas, menengah bawah, kelas bawah atau rendahan menunjukkan bahwa rumpang (gap) dalam kehidupan masyarakat kita sangat tajam atau variatif (Heriyanto, 1994).
Makna substansial kelas menengah itu sendiri secara sosiologis masih memiliki kekaburan makna akibat view of point para pakar sosiologi berbeda. Dari segi empirik yang mencuat kepermukaan adalah siapa yang dikategorikan sebagai kelas menengah, berapa jumlahnya, berapa penghasilannya, di mana tempat tinggalnya, bagaimana sejarahnya. Dari segi konseptual teoritik, bagaimana formulasi takrif yang melandasi sebagai acuan teoritisnya. Dari segi epistemologi, menyangkut aspek abstrak dari kelas menengah dan dari segi diskursif menyangkut signifikansi sosial dari pumpunan tentang kelas menengah.
Dalam derajat kegamangan seperti itulah kita menganalisis substansi dari keberadaan kelas menengah di Indonesia. Hal yang menonjol dalam kajian sosial adalah aspek diskursif yang berupaya mencari titik singgung dari kelas menengah pada kiprah dan kiblat praktisnya.
Atas pijakan yang demikianlah tulisan ini memaparkan sekelumit analisis sosial kelas menengah dalam nuansa pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia. Sekaligus berupaya memberi makna sosiologis pada esensi dari kelas menengah dalam kancah perjuangan untuk membuat pergeseran kelas akibat pretasi kelompok kelas.
Kiprah dan Kiblat Kelas Menengah
Seperti telah diuraikan pada bagian lain tulisan ini, bahwa munculnya kelas dalam kehidupan manusia merupakan akibat dari capaian yang menghablur dalam bentuk kesenjangan atau rumpang yang secara sosiologis mengakomodasi nilai-nilai bawaan kelas pada tataran kejuangan memperoleh pengakuan sosial. Serentak dengan itu untuk memperjuangkan keabsahan demi keberlangsungan pengakuan sosial yang harus dibuktikan lewat prestasi kerja (Suryadi, 1988).
Pada negara-negara maju kelas menengah memang ada, tapi tidak serta merta dianggap sebagai motor pembangunan, motor pembaharuan atau motor reformasi (Heriyanto, 1994). Hal ini berbeda di Indonesia. Kelas menengah yang tidak jelas tolok ukurnya dihimbau untuk memprakarsai pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Mereka juga dimeterai sebagai kelompok yang dapat membuat tekanan pada penguasa.
Pada zaman ORBA berbagai tulisan di media tentang kelas menengah, lebih diarahkan pada para pengusaha berduit. Mereka dianggap kelas menengah karena berduit dan dengan duitnya mereka bisa menekan penguasa. Pemaknaan model ini memang sangat dangkal, tapi sayangnya simbol kelas menengah yang sekarang pun kita gunakan belum didudukkan secara proporsional pada simbol substansial kelas menengah. Kalau yang dijadikan kelas menengah adalah pengusaha berduit, maka pemaknaan seperti ini amat dangkal dan sangat sumir. Sebab antara pengusaha dan penguasa ada hubungan yang signifikan, yang tidak memberi bobot substansial pada makna kejuangan kelas menengah.
Atas dasar pemahaman yang demikian maka peran pendidikan yang secara substansial dipahami sebagai penyedia SDM berkualitas mesti ditempatkan pada sumbu persoalan yang menghadang berbagai kriteria semu dari kelas menengah. Dalam tautan itulah kita dapat memaknai apa, mengapa, bagaimana dan untuk apa kelas menengah ada di dalam kosa kata sosiologi.