Good governance merupakan pengarah sekaligus bingkai analisis dalam memahami makna dan tujuan penyelenggaraan pemerintah negara.
Oleh Aulia Safira Putri, Mahasiswa Prodi BK di FKIP UKSW Salatiga
Good governance merupakan suatu konsep yang di populerkan di era 1990-an. Good Governance dimaknai dan diinterpretasikan secara beraneka ragam. Ada yang menghubungkannya dengan pelaksanaan hak asasi manusia, dan ada pula yang melihatnya sebagai bagian dari prasyarat pembangunan berkelanjutan. Namun yang pasti, good governance hanya akan dijumpai pada sistem politik yang bersifat demokratis.
Lefevre (1998) menyatakan bahwa good governance memaparkan sistem aktor dan bentuk baru tindakan publik yang didasarkan pada fleksibilitas, kemitraan, dan partisipasi sukarela.
Healy dan Robinson (1992) menyatakan bahwa good governance bermakna, “tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan, stabilitas, dan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabilitas, transparansi, partisipasi, keterbukaan, dan tertib hukum.”
Sedangkan bagi UNDP good governance bermakna sebagai, “penerapan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan-urusan negara, dan terdiri dari mekanisme, proses, dan institusi untuk warga negara.”
Sejalan dengan takrifnya, UNDP menyatakan bahwa terdapat tiga aktor dalam good governance, yakni: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintah berfungsi untuk memediasi kepentingan-kepentingan yang berkenaan dengan public good, menjamin suatu lingkungan bagi pembangunan berkelanjutan, memelihara hukum, ketertiban, dan keamanan, mengembangkan kebijakan dan program publik, menghasilkan pendapatan untuk membiayai infrastruktur dan pelayanan publik, mengembangkan anggaran dan implementasinya, dan menyediakan peraturan dan insentif bagi pasar.
Sektor swasta berfungsi dalam pasar untuk menghasilkan barang-barang, memberikan pelayanan, menciptakan pekerjaan bagi warga negara, dan memperkuat perusahan swasta. Masyarakat sipil menggerakkan kelompok warga negara untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik, dan menyumbangkan berbagai perspektif yang dinamis dan multi-tingkat.
Lebih lanjut, UNDP menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik dari good governance, yakni: akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi, tertib hukum, daya tanggap, orientasi konsensus, keadilan, efisiensi-efektivitas, dan visi strategis.
Sebagaimana konsep lainnya, good governance merupakan pengarah sekaligus bingkai analisis dalam memahami makna dan tujuan penyelenggaraan pemerintah negara.
Implementasi konsep ini pada dasarnya merupakan upaya pembangunan nilai-nilai baru dalam praktik pemerintahan. Dengan demikian, muncul soal: apakah nilai-nilai ini sudah dipahami secara semestinya? Kalau ya, apakah ada kemauan dan kemampuan untuk mewujudkan dan mengembangkan nilai-nilai tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dicermati pada kebijakan otonomi daerah, yang merupakan pencerminan dari pelaksanaan desentralisasi.
Kebijakan otonomi daerah
Dalam penyelenggaraan pemerintahan modern, kebijakan otonomi daerah menjanjikan banyak hal bagi kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di tingkat lokal. Melalui pelaksanaan kebijakan ini, diharapkan berkembangnya suatu cara pengelolaan kewenangan dan sumber daya, yang tidak akan semakin memudahkan pelaksanaan aktivitas yang berlingkup nasional, tetapi juga secara bersamaan mengakomodasi aspirasi pada tingkat lokal.
Dalam analisis konseptual, kebijakan otonomi daerah sebagai pencerminan pelaksanaan prinsip desentralisasi umumnya dipahami ganda, yakni: meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan nasional dan mengaktualkan representasi lokalitas.
Dengan demikian, pada kebijakan otonomi daerah tergambar keinginan untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat. Dengan kedekatan jarak seperti itu diharapkan pemerintahan daerah dapat berarti banyak bagi masyarakat, antara lain: pemerintah daerah akan semakin mempunyai tingkat akuntabilitas yang tinggi, pemerintah daerah akan mempunyai tingkat daya tanggap yang tinggi dalam menyikapi perkembangan masyarakat, pemerintah daerah dapat menjamin pelayanan pemerintah yang tidak saja efisien dalam penyelenggaraannya tetapi juga sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam substansinya, dan pemerintah daerah merupakan latihan bagi munculnya pemimpin nasional.
Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa kebijakan otonomi daerah akan memungkinkan terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dan partisipatif. Demikian pula, kebijakan otonomi daerah akan memungkinkan terjadinya peningkatan daya tangkap dan akuntabilitas para pemimpin daerah, serta adanya kesesuaian yang lebih nyata antara jumlah, mutu, dan komposisi pelayanan pemerintah dan preferensi masyarakat.
Dalam tautan makna yang demikian itu, kebijakan otonomi daerah akan berkaitan dengan pumpunan perhatian berupa, “sampai seberapa jauh suatu pemerintah dan masyarakat dapat memenuhi aspirasi mereka berdasarkan prakarsa dan kegiatan pengelolaan oleh mereka sendiri.
Melalui pemahaman bahwa kebijakan otonomi daerah merupakan upaya mengelola suatu kondisi daerah yang bervariasi, baik dalam lingkup maupun dalam derajatnya, maka pelaksanaan kebijakan ini berlangsung di atas berbagai prinsip.
Prinsip pertama adalah prinsip pendemokrasian. Yakni melalui kebijakan otonomi daerah akan dapat dibangun suatu kehidupan pemerintah yang demokratis. Bahkan sesungguhnya penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah hanya dapat berlangsung dan dimulai dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis.
Prinsip kedua adalah prinsip keanekaragaman. Kebijakan otonomi daerah pada dasarnya merupakan perwujudan pengakuan akan adanya keadaan daerah yang berbeda. Melalui kebijakan otonomi daerah, keadaan yang berbeda-beda tersebut diharapkan dapat dikelola secara responsif, efisien dan efektif.
Prinsip ketiga berkenaan dengan pelaksanaan prinsip subsidiaritas. Melalui kebijakan otonomi daerah diharapkan akan terwujud kesempatan pemerintah dan masyarakat pada tingkat lokal, untuk mengambil prakarsa.
Rangkaian paparan tentang kebijakan otonomi daerah di atas sekaligus menyiratkan tantangan yang terdapat dalam kebijakan otonomi daerah memberikan kesempatan yang sangat besar kepada pemerintah dan masyarakat daerah untuk mempunyai kewenangan mengatur dan melayani pemenuhan kebutuhan mereka dalam rangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, sejumlah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat itu tidak secara otomatis berarti segera terwujudnya kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat daerah.
Untuk dapat bermakna positif bagi kehidupan masyarakat daerah, kebijakan otonomi daerah mensyaratkan terbentuknya suatu kondisi kondusif, atau paling tidak, seiring dengan implementasi otonomi daerah tersebut.
Pertama, pemerintah daerah dipersyaratkan untuk memiliki kemampuan pelaksanaan tugas yang memadai. Tanpa kemampuan yang demikian itu, otonomi daerah secara gradual akan kehilangan maknanya dalam mendorong kemandirian daerah dan masyarakatnya dalam mengatur dan mengelola aspirasi, prakarsa, dan sumber daya mereka.
Kedua, pemerintah daerah juga dipersyaratkan dapat menggunakan setiap kesempatan yang terbuka melalui pemberian otonomi daerah menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Bahkan lebih dari itu pemerintah daerah harus mampu untuk terus meningkatkan kesempatan yang sejalan dengan peningkatan kemampuan yang mereka miliki. Otonomi daerah adalah suatu kondisi yang sangat dinamis dalam derajat pelaksanaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan otonomi daerah, sebagai cermin penyelenggaraan desentralisasi hanya akan bermakna positif kalau dikelola oleh suatu pemerintahan daerah yang berkemampuan. Baik dalam arti manajerial maupun dalam arti moral dan etika pemerintahan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengupayakan berkembangnya pemerintahan daerah yang seperti itu? Dan terus mendorong peningkatan kualitasnya sejalan dengan meningkatnya kualitas kehidupan masyarakatnya.
Merujuk keadaan dan tantangan dari perwujudan good governance dan kebijakan otonomi daerah, nampak saling membutuhkan satu sama lainnya bagi kelangsungan eksistensi keduanya.
Bahkan keduanya mengupayakan atau mencerminkan berbagai karakteristik yang sama, antara lain seperti partisipasi dan akuntabilitas. Keduanya juga mengarah sebagai pemetik utama dari kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam hal ini, good governance memungkinkan kesadaran masyarakat untuk secara bertanggung jawab menuntut haknya dalam memenuhi kewajibannya secara seimbang.
Bersamaan dengan itu, kebijakan otonomi daerah memungkinkan masyarakat untuk secara efektif menjadi aktor dalam pengelolaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bagaimana dengan penerapan good governance di Kabupaten Boyolali?