Melihat, Mencermati dan Memahami Kunjungan Kerja Gubernur

whatsapp image 2021 05 29 at 07.34.36
Pius Rengka. Foto/Andry.

Oleh Pius Rengka

Masih ingat Ben Mboi? Dia adalah salah satu dari sedikit gubernur fenomenal yang pernah dipunyai NTT. Ben Mboi, peraih hadiah prestisius – sekelas Nobel di Asia – Ramon Magsaysay.

Sekali waktu, di rumah kediamannya di Oetona, Kupang, Ben Mboi kepada saya mengatakan: “Kepala desa harus mengunjungi rakyatnya setiap hari. Camat harus mengunjungi rakyatnya seminggu sekali. Bupati harus mengunjungi rakyatnya tiga minggu sekali. Gubernur harus mengunjungi rakyatnya sekali dalam sebulan”.

Ben Mboi mengatakan itu dengan maksud sangat terang dan jelas. Dia menjelaskan, pemimpin harus tahu persis problem yang dialami rakyatnya. Pemimpin tidak boleh hanya mendengar laporan staf. Laporan staf dijadikan dasar informasi awal untuk melihat kondisi lapangan. Pemimpin tidak boleh terjebak dalam lilitan urusan administratif – meski itu hal penting – tetapi lupa bahwa pemimpin itu dipilih rakyat supaya dia menyelesaikan problem rakyat yang dipimpinnya. “Pemimpin itu, pelayan rakyat, hamba sahaya rakyat,” ujar Ben Mboi.

Problem rakyat NTT, amat sangat complicated. Nyaris semua jenis keburukan yang tidak disukai umat manusia di bumi, dialami manusia di Nusa Tenggara Timur.

Baca juga: Covid-19, Seroja dan Pembangunan di NTT

Ucapan Ben Mboi itu tidak pernah dan mungkin tidak bakal pernah saya lupakan. Pembicaraan berlangsung sangat fokus di meja makan bundar di ruang tengah rumahnya sambil menenggak segelas Tinto, sejenis anggur asal Timor Leste.

Kami hanya berdua. Ben Mboi dan saya. Nasihat Ben Mboi itu saya rasakan semacam postulat, dogma, atau teori dan bahkan sejenis ideologi. Itu ucapan, kerap saya pakai sebagai rujukan untuk mencermati fenomena gaya kepemimpinan gubernur dan bupati-wali kota di NTT setelah kepemimpinan Ben Mboi.

Ben Mboi pun tak korup. Dia tak memeras kepala dinas atau mengutip keuntungan dari para kontraktor atau pemerasan melalui promosi jabatan di birokrasi. Rumah yang diperolehnya di Oetona itu adalah rumah berkat belas kasihan seseorang kepadanya, yang namanya tidak perlu ku tulis di sini.

Sedangkan rumah dan halaman rumahnya di Jakarta tak cukup luas jika dibandingkan dengan sejarah kebesaran dan kecerdasannya. Beliau hanya memiliki areal lahan di Pariti, Kabupaten Kupang, tetapi juga tak terurus baik. Saya pernah sekali pergi ke sana dan terlantar.

Di rumah pribadinya di Oetona itu, saya melihat sebagian besar ruangan dijadikan perpustakaan untuk 50.000 judul buku yang ditulis dalam aneka bahasa dunia oleh pengarang kelas wahid. Sedikit saja dari buku-bukunya itu yang dapat saya baca seturut kemampuan pengetahuan bahasa saya.

Dari situlah saya pahami, Ben Mboi memiliki bacaan sangat luas untuk bidang studi sangat beragam pula. Karena itu, saya tidak pernah ragu akan kemampuan berpikirnya.  Dan, saya percaya kesetiaannya untuk pembangunan dan pengabdiannya kepada rakyat. Kepadanya, saya selalu terkenang.

Viktor Jos

Viktor B Laiskodat dan Josef Nae Soi adalah satu pasangan serba aneka, bahkan jenaka. Multi talent. Mengapa? Saban hari, saya menyaksikan cara keduanya berelasi. Relasi tim kerja serasi nan solid, liat dan kuat.

Viktor Jos membangun hubungan kerja politik pemerintahan dengan amat sangat terang dicahayai oleh persahabatan humanis. Viktor Jos memiliki pengetahuan amat sangat luas seturut pengalaman yang dialami keduanya hingga memahami realitas di dan ke negeri jauh.

Ragam bacaan yang dirujuk pun luas dan jamak. Pengalaman kerja beragam. Sentuhan jejaringan ke dunia internasional demikian juga. Amat sangat luas dan beragam. Mungkin tak ada negara di dunia ini yang belum dikunjungi oleh kedua pemimpin ini. Mereka selalu memiliki teman penting di mancanegara. Saat itulah saya sadar, saya keliru. Saat itulah pula saya memahami apa kata sosiolog Robert K Merton yang pernah mengatakan, dunia tak sebagaimana tampaknya.

Klik dan baca juga:  VBL, Gubernur NTT yang Tidak Peduli Pencitraan
whatsapp image 2021 08 16 at 20.17.24
Gubernur NTT Viktor B Laiskodat (kiri) bersama Wakil Gubernur NTT Josef A Nae Soi (kanan).

Sudah genap satu tahun saya sebagai satu dari 12 staf khusus Gubernur NTT. Tugas saya, sesuai SK, terutama, berurusan khusus di bidang komunikasi publik (politik). Artinya, saya bertugas dan berfungsi untuk mencermati, memahami, mengkritisi dan memberi pertimbangan serius tentang keseluruhan komunikasi publik dua tokoh kunci perubahan NTT ini. Penilaian saya adalah ini:

Pertama, terkait retorika (format) public speaking Gubernur NTT: Kemampuan public speaking gubernur, sangat jelas menyedot perhatian audiens terutama karena diksi-diksi yang dipilih dalam arahan dan pidatonya sangat jelas, terang, konkrit, ringan, jenaka dan mudah dimengerti oleh lapisan masyarakat kelas bawah tengah atas.

Isi pidatonya konkrit karena terkait dengan problem riil rakyat. Impiannya pun besar. Karena itu terkesan bombastis. Tetapi pemikiran besar selalu memang terdengar bombastis terutama jika didengar oleh masyarakat serba linglung, tidak tulus, malas dan peragu. Apalagi yang gemar hanya sanggup nyinyir.

Baca juga: Peringati HUT RI Ke-76 dan Komitmen NTT Bangkit

Kedua, isi pengarahan gubernur selalu mengandung motivasi, analisis, perluasan wawasan. Dia selalu melukiskan konteks lokal, regional dan internasional, yang bermuatan janji dan terutama janji pembebasan rakyat dari lilitan belenggu kemiskinan.

Pembebasan ini terkait langsung dengan masalah konkrit yang dihadapi masyarakat atau rakyat. Akibatnya, audiens sangat positif mengapresiasi seluruh cara dan isi pidato dan pengarahan gubernur. Pada bagian ini selalu dijelaskan logika politik anggaran dan pinjaman yang belakangan agak diributkan oleh elit tertentu.

Ketiga, pengarahan gubernur mengandung (1) daya kuasa (power to control) memerintah (nuansa strong leadership), (2) menyelesaikan masalah rakyat (desiciveness) dan (3) mengarahkan perubahan sosial pembangunan (going to the new era) sehingga arahan gubernur mengandung instruksi langsung kepada institusi terkait untuk memecahkan masalah konkrit di lapangan. Daya kuasa ini diikuti dengan diksi lugas, telanjang, dan tanpa tedeng aling-aling.

Keempat, dialog gubernur dengan rakyat berlangsung dalam dua posisi dan disposisi politik diametral. Rakyat mengeluh (grievances) dan gubernur cq pemerintah menjawab keluhan (decisive). Akibatnya rakyat mendapatkan harapan dan merasakan ada penyelesaian masalah mereka.

Pada bagian ini faksi politik menjadi lumer dan tidak relevan. Faksi primordial politik pun lebur dalam kepentingan bersama karena faksionalisasi hanyalah tabir sejarah yang diciptakan oleh para pemelihara konflik politik demi kepentingan elit tetapi nihil solusi.

Perspektif

Perspektif yang selalu saya pakai untuk memahami perilaku kekuasaan Viktor B Laiskodat dan Josef A Nae Soi, satu di antaranya adalah teori sistem yang pernah dikenalkan George Ritzer and Douglas Goodman (2009). Dua ahli ini memetakan teori sistem pada paradigma fakta sosial. Maksudnya, teori sistem terkait dengan nilai-nilai, institusi atau pranata-pranata sosial yang mengatur penyelenggaraan eksistensi kehidupan masyarakat.

Melengkapi teori sistem ini, dalam tugas saya sebagai staf khusus, saya juga biasanya menggunakan pikiran Juan J Linz (2002) untuk melihat dari sisi lain perilaku kekuasaan politik Viktor Jos.

Klik dan baca juga:  Ancaman Krisis Inflasi Dunia Mendorong Giatnya Pembangunan Pertanian di SBD

Juan J Linz menerangkan perihal kelakuan masyarakat terutama pada semua masyarakat yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pilihan-pilihan menentukan legitimasi demokrasi sekaligus kekuasaan pemerintah.

Pengandaiannya, partai politik secara esensial bekerja dan fungsional untuk pematangan demokrasi. Pengandaian itu berbasis pada sensitivitas parpol atas opini publik yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Karena itu semua politik bersifat lokalistik karena tidak semua wilayah di satu negara memiliki keluhan dan tuntutan yang sama.

Linz juga menyebutkan, kritik warga terhadap partai  tidak merefleksikan penolakan terhadap demokrasi. Tetapi kritik terhadap partai sebagai indikasi distrust atas partai yang dikritik. Karena itu, partai politik tetap diperlukan untuk pemaknaan demokrasi meski partai politik harus mengalami pasang surut perolehan dukungan politik.

Sebagai misal atau bandingan, data kasus di Amerika Latin (1997) dari survei Latinobarometer memperlihatkan, 62 persen responden setuju dengan pernyataan: Tanpa partai politik demokrasi tak akan terjadi. Tetapi, 28 persen pada responden yang sama menghendaki ada kepercayaan pada partai politik.

Namun, pada saat bersamaan opini sejenis terjadi di Uruguay 79 persen sementara di Ecuador hanya 44 persen dan di Brazil dan Venezuela 50 persen. Mengapa Uruguay tinggi dan kawasan lain di Latin America cenderung rendah, karena urusan kepercayaan bahwa merepresentasikan kepentingan rakyat melalui partai itu sesuatu yang niscaya.

Meski tingkat kepercayaan kepada partai relatif cenderung baik, tetapi problem muncul ketika partai politik mendelegasikan kandidat  buruk atau lemah representasi. Pertanyaan Juan J Linz misalnya, apa yang dimaksudkan warga  dengan pernyataan, partai politik semuanya sama.

Pernyataan ini mengindikasikan sikap negatif terhadap partai politik justru ditentukan kandidat yang didelegasikan untuk merepresentasikan partai. Indikasi ini serentak mengungkapkan fungsi partai politik. Sedangkan pernyataan semua partai politik itu sama saja, terkonfirmasi data. Spanyol, 61 persen dari semua responden (71 persen non voters) setuju pernyataan partai hanya pseudo kritis ke dalam dirinya sendiri, tetapi semua mereka sama saja.

Itu berarti, partai politik hanya sibuk urus kepentingan mereka sendiri, sedangkan kepentingan rakyat diabaikan. Untung saja, jika ada aktor politik, seperti presiden, gubernur, bupati wali kota yang menampilkan hal yang persis berbeda dengan kecenderungan partai politik asalnya. Maka tampilan berbeda itu bukan lagi menjadi urusan komunitas politik, melainkan urusan bakat dan tabiat atau karakter individual.

Refleksinya, partai sesungguhnya tidak menghayati ideologi partainya, sehingga kesibukan politik cenderung hanya berurusan dengan pembagian kepentingan elitis. Sedangkan aktor partainya persis berbeda sebagaimana ditampakkan oleh Viktor B Laiskodat dan Josef Nae Soi.

Keduanya datang dari partai politik berbeda (Nasdem dan Golkar), tetapi keduanya padu dalam satu nafas dan gerakan untuk urusan pembebasan rakyat. Mengapa mereka padu? Karena agenda politik riilnya adalah pembebasan rakyat dari lilitan belenggu kemiskinan, bukan bekerja politik dengan agenda supaya terpilih kembali.

Kalimat yang selalu dipakai Viktor Jos ialah ini: “Kami bekerja seolah-olah esok rakyat akan turunkan kami. Kami tidak bekerja supaya kami terpilih kembali”. Itu artinya apa? Artinya tugas penyelesaian dan pembebasan rakyat adalah kerja besar dan karenanya harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh dalam terang dan semangat kejujuran, kerja keras, gemar membantu dan tulus. Bukan sebaliknya kerja supaya dipuji, supaya dipilih kembali meski harus melalui jalan munafik dst…

Klik dan baca juga:  Kita Sebenarnya Sudah Terlalu Bebas Berbicara

Pertanyaannya: Haruskah partai politik berkepentingan dengan opini atau suara warga? Untuk menjawab pertanyaan itu diuji dengan pernyataan: partai politik berkepentingan dengan suara, tetapi tidak pada opini warga pemilih.

Pernyataan itu terkonfirmasi dengan survei opini yang dilakukan Holmberg 1999. Signifikansi pendapat setuju dengan pernyataan bahwa partai politik berkepentingan dengan suara, tetapi partai politik tidak berkepentingan dengan kepentingan pemberi suara. Holmberg menemukan itu di opini sejumlah orang di berbagai negara. Holmberg menemukan kesimpulan bahwa opini rakyat dapat didengar atau diabaikan, tetapi suara tidak dapat diabaikan.

Temuan itu membuktikan, responden setuju dengan partai sibuk urus diri sendiri tetapi tidak mendengar suara rakyat, meski membutuhkan suara rakyat. Akibatnya, suara kepentingan rakyat memang variatif, tetapi ketika mereka menentukan pilihan maka pilihan direfleksikan oleh tampilan partai politik dan para aktornya.

Pada bagian inilah saya dapat mengerti dan memahami mengapa frekuensi kunjungan kerja ke rakyat yang disarankan Ben Mboi diperlukan dan mengapa pula Viktor B Laiskodat dan Josef Nae Soi mengerjakan hal yang dipinta Ben Mboi itu sekarang dengan kunjungan ke lapisan rakyat begitu tinggi? Saya mendapat opini langsung dari Viktor B Laiskodat dan Josef Nae Soi yang menyadari dengan persis akan empat hal sekaligus:

Pertama, kunjungan kerja yang sangat tinggi ke lapangan kecuali untuk menemukan sendiri problem pokok rakyat dengan tepat, tetapi juga dengan demikian Viktor Jos sanggup merumuskan prioritas kunci untuk menggerakkan perubahan atau pembebasan rakyat.

Artinya menemukan problem pokok adalah setengah dari penyelesaian soal karena dengan penemuan soal itu, dapatlah dirancang bangun pembangunan yang lebih fokus dan kena. Kunjungan itu pun berfungsi untuk menemukan kawasan potensial yang menggerakkan perubahan sosial ekonomi untuk kepentingan kawasan.

Baca juga: Membangun Manusia Pembangun di Desa Kaeneno TTS

Kedua, tingginya frekuensi kunjungan kerja ke lapisan rakyat juga untuk menguji apakah laporan staf itu realiable atau sekadar imajinasi staf untuk bapak senang? Dari temuan lapangan selanjutnya berfungsi untuk menentukan reformasi birokrasi dan focusing anggaran.

Ketiga, kunjungan kerja berfrekuensi tinggi untuk juga memahami sejauh mana partai politik asal fungsional menyuarakan kepentingan rakyat dan seberapa jelas ideologi partai politik dimengerti oleh para aktornya? Representasi legislatif dipertanyakan jika tidak fungsional dalam urusan pembebasan. Karena itu, fairness dan kerja keras adalah keniscayaan politik.

Keempat, tingginya frekuensi kunjungan kerja Viktor Jos ke lapisan rakyat juga berada dalam konteks mengukur kebenaran kerja kolaborasi dan integrasi. Kolaborasi tak hanya lintas dinas dan badan di provinsi, tetapi juga kolaborasi lintas jenjang dan region antara kabupaten dan provinsi dan pusat.

Di sini pun hendak diukur mana saja pemimpin kabupaten dan kota yang sungguh terpanggil untuk menyelesaikan masalah rakyat dan mana yang malas bodoh. Dengan kerja-kerja kolaboratif mestinya terintegrasi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Bagian ini tampaknya dibutuhkan lagi langkah-langkah konsolidasi politik hubungan pemerintah provinsi dan kabupaten kota.

Terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *