“Hati-hati! Anda bisa kehilangan substansi jika hanya memperhatikan bayang-bayang” – (Aesop, pendongeng Yunani, abad ke 6 sebelum masehi).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Negeri penuh kejutan
Ini sekadar lempar-lempar kata. Sambil tentu meramunya dengan logika picisan. Datar dan seadanya saja. Kok ribut-ribut tentang ijazah Jokowi (Presiden) belumlah bermuara akhir? Tampaknya hari-hari ini kita dipaksa untuk huru-hara di pikiran dan hati. Banyak soal dibentangkan sana-sini. Di antaranya ‘kepalsuan ijazah’ Presiden.
Tentang satu soal? Ada yang benar-benar soal. Ada hal yang dipersoalkan. Ada lagi hal yang dipaksa-paksa untuk dibuat ‘jadi persoalan’. Yang terakhir ini namanya soal yang dikaroseri sekian. Lalu mesti digaungnyaringkan senyaring-nyaringnya. Demi bergema luas membahana. Terus tentang ijazah Presiden Jokowi? Palsukah? Aslikah?
Tidakkah ini sebenarnya hanya punya intensi yang mudah terbaca? Katakan saja pertama, misalnya, agar Sabang sampai Merauke larut dalam penyesalan. Indonesia sebenarnya sungguh telah dipimpin oleh sang Presiden yang kantongi ‘ijazah palsu’.
Sungguh Indonesia bernasib sial sebab orang nomor satunya telah amat lihai dalam drama pemalsuan ijazah. Indonesia tak boleh terlambat menyesal sebelum Jokowi selesaikan jabatan presiden di 2024 ini.
Jokowi ‘yang patut disesali?’
Bagaimanapun, sekadar membawa khalayak Indonesia ke rasa sesal publik akan Jokowi rupanya hanya jadi perjuangan tak bertaji.
Namun, intensi ke hari-hari mendatang tentu jadi agenda maha krusial. Jokowi tak hanya tokoh cerita heroik demi kemajuan bangsa dan tanah air sebagai ‘makanan sanjungan’. Jokowi mesti tetap ditempatkan sebagai pesakitan yang mesti disenyapkan sampai kisah akhir jabatannya. Itu kata segelintir pengamat.
Apa pun ‘makanan pujian setinggi bentangan awan’ tetap saja ada sisi ‘minuman pahit hinaan dan caci maki berseliweran’.
Jokowi sebagai pribadi, pun sebagai RI 1 sudah pada kenyang dengan segala dampratan penuh nista bertaburan sana-sini. The king of lips service, planga-plongo, bertampang kerempeng, turunan PKI, tak jelas asal orangtua, tentu tetap terngiang di telinga Jokowi.
Dan kini, teror (bahasa Latin artinya kejutan) ijazah palsu datang mendera. Terhembus untuk ramai menyebar. Pada intinya Indonesia harus merasa ‘menderita dikibuli’ oleh seorang Presiden yang punya ‘ijazah palsu’.
Tak segampang itu
Ini bukan kerja gampangan untuk pastikan ‘ijazah itu palsu’. Proses kumpul-kumpul data dari yang sungguh qualified and primary source bukanlah hal entengan.
Jika di titik ini saja sebenarnya teramat sulit, maka tentu mesti dibangun networking supportif-kolaboratif nan rapi demi menyusun satu batu argumentum di atas batu argumentum lainnya.
Dan semuanya itu harus berujung pada satu diktum hukum nan pasti, tetap dan mengikat, yakni ‘ijazah sang Presiden itu palsu!’
Tapi, itu sudah, intinya mesti ada kejutan publik. Dan itulah impian yang diharapkan, walau, yakinlah, ini bukan akhir dari perjuangan yang sesungguhnya. Namun, harus santai apalagi hening begitu saja kah Jokowi akan terpaan ‘ijazah palsu’ ini?
Harapan terselubung?
Bola-bola liar logika a-logical telah digulir. “Jika Jokowi tak datang ke pengadilan, hakim putuskan saja bahwa ijazah itu palsu…” Wah, ada-ada saja suara si Eggi Sudjana ini.
Dan lagi, ada logika pragmatis tentatif yang dimainkan. Isinya kurang lebih begini, ‘Jika sedemikian serius dan ngototnya Bambang Tri Mulyono bahwa ijazah Presiden itu palsu, apakah ini tak terbaca bahwa dia sedang di jalan kebenaran?’
Memang patut diapresiasi kengototan Bambang Tri. Tentu dalam bingkai demi kebenaran. Tapi, ini yang penting, “Bukan karena berani ngotot atau mau pasang badan depan regu tembak, misalnya, maka apa yang diperjuangkan wajib benar.”
Ini bisa diparagonasi dengan kebutaan iman yang yakin bahwa ‘imanku pasti benar dan karenanya jadi buta juga untuk sorong badan demi bunuh diri sambil mengorbankan juga sekian banyak darah tak bersalah.’
Logika ijazah palsu yang menggelitik
Ijazah Presiden tentu tidak dengan sendirinya harus palsu hanya ‘atas dasar indikasi keberaniannya Bambang Tri Mulyono itu.’ Ataupun juga atas dasar gelagat persuasi halus dan samar, namun terbaca maksudnya, seperti suara dari Refli Harun, sekalipun ia sudah diperkenalkan sebagai pakar hukum tata negara.
Tetapi, perlukah Jokowi sebagai Presiden harus ke pengadilan untuk satu urusan bola liar ijazah palsu yang terus saja dipermasalahkan? Buat saja pengandaian ringan. Jika semua ini seumpama permainan sepak bola gajah, apakah goal-keeper inti sang Presiden mesti masuk lapangan dan bertahan di bawah mistar gawang?
Dan nanti haruskah Jokowi ‘buang badan untuk terkam bola liar’ yang memang tidak terarah pada gawang (dan itu berbahaya)? Atau bahwa sepak bola gajah ini hanya ingin ‘memanfaatkan kehadiran Presiden’ untuk disorak-sorai dengan nada miris yang hendak bikin heboh seisi ‘stadion Indonesia?’
Ujung yang mudah ditebak
Ini sepertinya teribarat seperti (kelompok) orang yang sudah bikin stadion sendiri, rancangkan pertandingan sendiri, siapkan wasit sendiri, hasil pertandingan sudah dimimpipastikan sendiri untuk harus berakhir sekian, tetapi hanya penjaga gawangnya saja yang sekian ngotot dijemput paksa dari luar untuk dibikin ‘bulan-bulanan’ dalam stadion.
Namun, benarkah dugaan ijazah palsu Presiden ini hanya sebatas persoalan hukum? Tanpa punya ‘akar, cabang dan ranting-ranting’ yang bergema politis, misalnya? Untuk mengatakan ‘tidak’ rasanya cukup sulit juga.
Anggap saja kini bahwa ‘partai biru dan merah’ kini lagi gencatan senjata. Untuk sementara, belum ada senggolan-senggolan sengit lagi. Segala kasak-kusuk reaksi jalanan belum terlihat lagi.
Jokowi sepertinya sudah di jalur aman untuk akhiri jabatannya. Dan, seterusnya? Jokowi mesti ‘disenyapkan’ dari jalur pengaruh estafet kepemimpinan. Bukankah Jokowi adalah faktor X – krusial untuk calon Presiden berikutnya?
Aura Presiden yang mesti ‘dihentikan’
Teror ijazah palsu, sepertinya, adalah alarm agar Jokowi tak boleh ‘terang-terangan atau juga penuh kode-kode halus’ untuk indikasikan ‘orang kepilihannya’ demi lanjutkan segala kebijakannya.
Bukankah Jokowi adalah simbol ‘rasa sakit hati penuh benci’ dari sekian banyak orang dan kelompok yang ‘tak nyaman dan tak beruntung nasibnya?’ Bayangkan bila aura leadeship ala Jokowi ini mesti berlanjut?
Tapi, bisa terjadi juga bahwa dua tahun sebelum akhiri jabatannya, terhadap Jokowi teror kecil-kecilan mesti diseringkan. Sebelum Jokowi tamat dari tugas mulia ini, ia mesti ditampilkan sebagai common enemy.
Jokowi X mesti dibuat ‘mati langkah dan mati pengaruh’. Sebab, kini, ‘arus baru sudah pada tak sabar untuk masuk dan menjadi warna dasar samudra Indonesia Raya.’
Akhirnya
Ada lagi sentilan ringan saja. Di dua tahun belakangan ini, kejutan demi kejutan bisa dimainkan. Biar Presiden tak konsen untuk selesaikan tugas pekerjaan akhirnya. Kejutan yang buat kacau balau mesti digencarkan. Demi buyarkan antensi untuk tuntaskan sekian banyak proyek.
Bayangkan saja andaikan mega proyek IKN (Ibu Kota Nusantara) di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (Kaltim) sampai tersedat-sendat, dan lalu berujung mangkrak?
Selamanya Jokowi (dan turunannya) pasti dikenang sebagai ‘induk dari segala proyek mangkrak di tanah air. Mungkin pengandaian ini terlalu simple dan dianggap sebagai halusinasi liar.
Tapi, mari kembali ke ijazah Presiden. Sungguhkah ijazahnya itu palsu? Ataukah memang ini hanyalah satu gerakan palsunisasi ijazah Presiden yang sebenarnya memang asli?
Bila ini semuanya terkonek dengan agenda Pilpres 2024, maka yang harus diperjuangkan tetap dan selalu adalah Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Tak boleh disisipi apa pun yang berujung chaos dan teror tanpa akhir.
Bagaimanapun di balik ‘meributkan ijazah tak asli Presiden’ adakah Anda sebatas terkurung dalam bayangan belaka? Dan, Anda kehilangan substansinya? Maka Aesop, pendongeng Yunani, di abad ke 6 sebelum masehi hanya ingatkan “Hati-hati!”
Verbo Dei Amorem Spiranti