Oleh Regina Feni Kurniawati, Mahasiswa Program Studi BK FKIP di UKSW Salatiga
Era Orde Baru meninggalkan berbagai warisan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Salah satu warisan yang masih melekat erat pada birokrasi di Indonesia saat ini adalah sistem pengambilan keputusan. Sentralisasi dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan masih diwarnai oleh pola top down. Sikap etatisme pemerintah masih dominan dalam penyelenggaraan negara. Prinsip button up planning yang sudah didengungkan sejak era ORBA hanya merupakan lip service, lantaran semua kebijakan dan keputusan tetap ditentukan dari pusat, dan bersifat top down. Era saat ini adalah era Reformasi, namun karena sebagian besar birokrasi yang ada merupakan hasil bentukan ORBA maka proses top down planning masih diakrabi (Umbu Tagela, 2000).
Selama 32 tahun subsistem dalam negara ini disubordinasi oleh sistem yang dikontrol dengan sangat ketat dari pusat kekuasaan. Berbagai instrumen pengawasan yang digunakan dalam pembangunan dibuat sedemikian rupa agar daerah tetap memiliki ketergantungan pada pusat (Manan, 1999).
Kini, di era Reformasi keran demokrasi telah dibuka lebar, orang boleh berbuat apa saja asal sesuai dengan norma dan hukum yang ada. Berbagai lembaga sosial, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga apa pun memiliki otoritas penuh untuk merancang program kerja sesuai kebutuhan dan cita-citanya. Namun dalam banyak hal pemerintah pusat masih mengendalikan dan mengarahkan.
Kasus ini dapat dilihat pada penyusunan APBD 2000 di daerah. Pemerintah daerah dan DPRD sangat terikat dengan surat Menteri Negara Otonomi Daerah NO. 903/074/MN. OTDA tanggal 14 Februari 2000 tentang kebijakan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2000. Pemerintah daerah dan DPRD tidak berani membuat keputusan lain di luar ketentuan yang terdapat di dalam surat MenOTDA.
Contoh lain dalam pemilihan kepala daerah. Banyak polemik yeng terjadi di seputar pemilihan kepala daerah akibat kreativitas DPRD. Atas dasar itu dalam waktu dekat Menteri Ryaas akan mengeluarkan PP mengenai makanisme pemilihan Kepala Daerah (Republika, 12 Juli 2000 Hal 6).
Sistem
Harjodipuro (1979) mengatakan sistem adalah “jumlah keseluruhan dari bagian-bagian yang bekerja secara sendiri-sendiri dan bekerja sama untuk mencapai hasil-hasil yang diperlukan”. Suatu sistem memiliki unsur-unsur sebagai berikut: subsistem, komponen, dimensi dan variabel (Latunussa, 1978). Atas pijakan yang demikian dapat dikatakan bahwa subsistem merupakan bagian integral dari sistem. Persoalan utama dalam sistem adalah komponen, lantaran komponen yang dapat berinteraksi dan berinterdependen untuk mencapai tujuan. Sistem juga memiliki potensi entropi (penghancuran) jika sistem tidak akomodatif terhadap supra sistem di luar dirinya (Ihalauw,1988). Dalam kerangka pikir seperti itu, subsistem yang dianalisis pada tulisan ini berhubungan dengan lembaga pemerintah atas daerah yang pada zaman ini diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri.
Dalam kerampatan makna yang demikian subsistem tidak dapat melepaskan diri dari sistem. Subsistem pada dirinya merupakan sistem bagi subsistem lain di tingkat daerah. Demikian seterusnya. Oleh karena itu independensi subsistem dianalisis pada tataran manajerial karena pada aras itulah subsistem itu bisa memberikan kontribusi yang sinergis terhadap sistem secara menyeluruh. Dalam tautan yang demikian, pemerintah daerah adalah merupakan subsistem dari sistem pemerintah pusat.
Persoalannya apakah pemerintah daerah memiliki independensi dalam pengambilan keputusan? Independensi secara epistemologi sosial merupakan suatu hak yang menjelma dalam harkat kemanusiaan manusia baik secara personal maupun personal yang terikat pada lembaga. Setiap orang memiliki independensi pada dirinya, namun sekaligus dengan itu seseorang juga mesti memiliki dependensi dalam dirinya terhadap komunitas dimana ia berada.
Sistem nilai yang berada di luar dirinya dibangun atas dasar kesepakatan, dan karena itu seseorang mesti dependen pada sistem di luar dirinya. Demikian pula pemerintah daerah memiliki independensi untuk mengambil keputusan tentang daerahnya. Dalam konteks itulah otonomi daerah disemaikan. Namun jika pemerintah daerah mengambil keputusan yang benang birunya dan benang merahnya telah diurai dari pusat maka pemerintah daerah terikat pada komitmen itu. Dalam bahasa hukumnya disebut mutatis mutandis.
Pemahaman tentang karakteristik sistem dan subsistem untuk kemudian dielaborasi (memerikan) ke dalam identifikasi perilaku manusia dalam mengambil keputusan, saat ini masih merupakan persoalan yang perlu penanganan serius. Konsep pemahaman ini dapat dilihat pada UU. NO. 22 Tahun 1999. UU ini baru dilengkapi dengan 1 PP NO. 25 Tahun 2000. Dalam kondisi objektif di lapangan banyak ditemui penyimpangan yang tidak sesuai spirit otonomi daerah. Misalnya kasus sumber air umbul sungsang dan umbul nyamplung di Boyolali (Umbu Tagela, Solo Pos, 17 Juli 2000 Hal. 6).
Pemerintah Daerah Jawa Tengah sebagai subsistem seperti dikatakan pada Pasal 3, PP. NO. 25 Tahun 2000. Tidak mengambil prakarsa untuk menyelesaikan. Bahkan dalam kesempatan terpisah Pembantu Gubernur Wilayah Surakarta mengatakan petunjuk tentang proses penyelesaianya belum ada. Kenyataan ini mendeskripsikan pada publik bahwa Pemerintah Daerah Jawa Tengah tidak memiliki independensi dalam menyelesaikan kasus di Boyolali.
Atas dasar itu, dapat dikatakan jika masyarakat Indonesia belum memahami apa artinya kewenangan, maka urusan delegasi atau penyerahan atau apa pun artinya tidak ada artinya. Masyarakat akan kembali dihadapkan pada otoritarian.
Pengambilan Keputusan
Davis (1969) mengatakan “A dicision is a definite determination of a question. It has do to with answers to questions as what should be done, and others that were discussed in conection with planning. They concern current action. The right decision is basically the right to plan”. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus menjawab pertanyaan tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam hubungan dengan perencanaan.
Keputusan itu sesungguhnya merupakan hasil proses pemikiran yang berupa pilihan di antara berbagai alternatif yang dapat digunakan untuk memperoleh solusi. Apabila sesuatu sudah disepakati dalam organisasi, maka siapa pun dia harus tunduk dan taat pada keputusan itu, yang oleh Mary Follet (1979) disebut dengan hukum situasi. Selanjutnya Follet mengatakan “The law situation, when all the fact s of situation are found , all concerned supervisions and operators, obey the law there is not the same feeling as when obeying orders, authority can still be exercised, but it is the authority of the fact of a situation”. Keputusan itu merupakan hal yang vital.
Kepemimpinan seseorang sangat ditentukan kemampuannya mengambil keputusan yang tepat dan bijak. Sehubungan dengan hal terbut, Wallas (Siagian, 1978) menyebutkan 4 tingkap pemikiran kreatif sebagai berikut: (1) tahap persiapan; yang meliputi perumusan masalah, analisis, pengumpulan informasi, alternatif, yang disertai konsekuensi; (2) tahap iluminasi, untuk menengkan pikiran dan perasaan,(3) tahap inkubasi, yakni tahap peralihan antara tahap persiapan dan tahap iluminasi dan, (4) tahap verifikasi, yakni memeriksa kembali masalah untuk dipecahkan.
Penutup
Pengambilan keputusan oleh suatu subsistem pada era Reformasi seperti saat ini memiliki pengaruh dan konsekuensi logis pada kiprah dan kiblat suatu organisasi pada tataran sistem. Pengaruhnya bisa bersifat positif dapat juga bersifat negatif tergantung kondisi objektif yang melingkupinya (Soetjipto,1988). Misalnya secara politis dapat berdampak negatif, karena adanya getaran sentrifugal pada jiwa keputusan.
Hal ini bisa diamati pada konsep otonomi daerah, terutama yang terjadi di Papua. Hidup adalah perjuangan, dan karenanya risiko merupakan bagian inheren dari perjuangan. Persoalannya apakah kita mampu menghandle risiko?