Kekalahan para incumbent dalam kompetisi elektoral di sembilan kabupaten kota kali lalu di NTT adalah contoh dari rezim yang tidak representatif.
Oleh Pius Rengka
NTT kini sedang memasuki fase kompetisi politik perebutan kursi gubernur, bupati dan wali kota. Tetapi, sebuah cermin masa silam perlu dilihat, ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sembilan kabupaten di NTT di suatu masa. Sebagai misal, antara lain ketika Herry Nabit menumbangkan Kamelus Deno di Manggarai, Jefri Riwu Kore menumbangkan Jonas Salean di Kupang, dan dr. Agustinus Taolin menumbangkan Willy Lay di Atambua dan lainnya.
Gejala empiris yang tampak pada waktu itu adalah semua incumbent mengalami kekalahan, baik dengan selisih tipis maupun besar. Para pengamat politik menilai bahwa kekalahan ini secara jelas menunjukkan kebangkitan kesadaran kritis masyarakat terhadap kinerja pembangunan yang ada.
Rakyat menilai bahwa para incumbent tidak melaksanakan tugas yang seharusnya (asas representasi) dan tidak memenuhi janji politik mereka. Di sisi lain, para analis politik berpendapat bahwa ketidakberhasilan incumbent ini juga membuktikan kebenaran teori-teori demokrasi.
Hanna F. Pitkin (1967), misalnya, mengemukakan tesis bahwa representasi kepentingan rakyat harus terwujud dalam pelaksanaan kekuasaan. Menurutnya, tindakan terbaik pemimpin adalah merepresentasikan demokrasi, yaitu menjawab keluhan dan tuntutan riil rakyat. Hal ini menjadi tanggung jawab pemimpin politik yang dipilih secara demokratis. Ini artinya janji harus ditepati sekurang-kurangnya beberapa dari janji itu tergenapi.
Kunci dalam memahami hubungan antara tindakan lembaga pemerintahan dengan representasi demokrasi, serta pentingnya demokrasi, dapat dijelaskan melalui penggunaan kekuasaan. Ada dua argumen utama dalam hal ini.
Pertama, secara normatif disepakati bahwa tindakan pemerintah merupakan ekspresi kepentingan rakyat. Artinya, pemerintah cq bupati wali kota dan gubernur mengerjakan sedikit atau sebagian atau seluruh janji politiknya demi trusty.
Kedua, rakyat berpolitik karena mereka mengharapkan pemerintah sebagai wakil kepentingan rakyat, dengan tujuan mengatasi keluhan dan tuntutan mereka. Artinya mereka memberi dukungan suara karena janji terpenuhi. Catatan ini perlu bagi Herry Nabit di Manggarai, Jefri Riwu Kore di Kupang dan juga tempat lain yang tidak disebut satu-satu.
Rakyat percaya bahwa pemerintahan yang dihasilkan dari proses demokratis adalah lembaga yang mewakili kepentingan demokrasi. Oleh karena itu, diharapkan tindakan pemerintah (kebijakan publik) dapat menjawab keinginan seluruh rakyat, bukan hanya sebagian kecil atau kelompok tertentu.
Dalam ilmu politik, representasi sering disebut dengan istilah yang berbeda. Robert Dahl (1971) menggunakan istilah responsiveness untuk menjelaskan bahwa karakteristik utama dari demokrasi yang bermakna adalah ketika pemerintah merespons pilihan rakyatnya. William Riker (1965) juga menggunakan istilah responsible dengan penjelasan serupa. Philippe Schmitter dan Terry Lynn Karl (1991) menggunakan istilah accountable, menekankan bahwa demokrasi politik modern adalah sistem pemerintahan di mana pemerintah harus bertanggung jawab atas setiap tindakannya yang sesuai dengan harapan rakyat pemilihnya.
Kekalahan para incumbent dalam kompetisi elektoral di sembilan kabupaten kota kali lalu di NTT adalah contoh dari rezim yang tidak representatif. Sebagai konsekuensinya, dukungan politik terhadap mereka sebagai aktor representasi dicabut. Pembatalan dukungan ini terjadi melalui pengurangan suara untuk mereka dalam pemilihan umum.
Melihat gejala politik elektoral yang telah dijelaskan, hasil Pilkada kala itu menjadi peristiwa reflektif bagi para pemenang. Mereka harus mampu memprediksi kemungkinan terpilih kembali di masa depan, yang ditentukan oleh sejauh mana tindakan politik selama masa kepemimpinan mereka dapat merepresentasikan kepentingan rakyat.
Artinya para penumbang incumbent kali lalu, kemudian sekarang berubah menjadi incumbent dengan kompetitor pendatang baru, patut merefleksikan dengan tepat diksi kampanye yang dipakai. Hati-hati dengan diksi …lanjutkan… karena dapat ditambah dengan kata … kegagalan. Sehingga jika digabung menjadi lanjutkan kegagalan. Atau kata …dua periode lanjutkan…. Dapat berubah menjadi dua periode kegagalan. Intinya, perlu cerdas ucapkan kata-kata sifat, kata kerja atau kata benda.
Saran saya, para bupati pemenang harus bekerja dengan sangat serius, seolah-olah esok hari rakyat akan menghentikan mereka. Pekerjaan mereka bukan untuk memastikan terpilih kembali, tetapi untuk mewujudkan kepentingan rakyat. Mereka harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan bebas dari imajinasi politik yang menguntungkan diri sendiri dan lingkungan terdekat.
Mantan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, dalam sebuah diskusi di rumah pribadinya di Kupang pada November 2020, menyatakan: “Pemimpin harus bekerja seperti budak rakyat, karena rakyat adalah tuannya. Pemimpin harus bertindak tanpa terpengaruh oleh imajinasi untuk terpilih kembali. Dia harus bekerja seolah-olah esok hari rakyat akan memecatnya, jika terbukti tidak mampu membebaskan mereka dari penderitaan. Jangan bekerja dengan harapan untuk terpilih kembali, karena pemimpin seperti ini cenderung ragu-ragu dan sibuk berusaha menyenangkan semua orang, meski hasilnya tidak memuaskan.”
Mengutip David Lloyd George, mantan Perdana Menteri Britania Raya (1916-1922), Viktor Laiskodat menekankan pentingnya keberanian dalam mengambil langkah besar: “Anda tidak bisa menyeberangi jurang dalam dua lompatan kecil.” Pria yang berasal dari Helong Timor Semau ini mengungkapkan bahwa kemiskinan di NTT adalah hasil dari kebodohan, kemalasan, dan ketidakpedulian. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama memerangi semua itu, dimulai dari perilaku para pemimpin dan birokrat. “Jangan pernah bosan atau jera mengunjungi rakyat, karena masalah mereka adalah tanggung jawab kita untuk diselesaikan,” ujarnya.
Di tengah panasnya kompetisi para kandidat hari ini, kiranya nasihat atau sejenis seruan atau bahkan refleksi Viktor Laiskodat mungkin baik untuk dipikir-pikir. Paling kurang agar narasi politik antaraktor menjauhi makna menyudutkan para lawan politik. Sebaiknya masing-masing aktor memasifkan gagasan-gagasan cemerlang para calon terutama yang terkait dengan cara mengatasi masalah konkret di kabupaten dan kota masing-masing. Begitu saja.