Sekali Lagi Menimbang Penimbang Masa Depan

Pius Rengka. Dok detakpasifik.com

Oleh: Pius Rengka, Pemimpin Umum detakpasifik.com

Pengantar Redaksi

Sebagian tulisan ini, pernah dirilis di sebuah media. Tulisan ini saya pikir masih relevan disiarkan sekali lagi dengan mengubah struktur serba sedikit.

Dahulu kala, pertanyaan bagaimana nasib masa depan manusia atau satu bangsa selalu merangsang para ahli nujum, ahli ekonomi, social dan politik. Mereka menentukan kemungkinan mana yang terbaik bagi umat manusia di masa depan. Saat itu, bermacam-macamlah cara yang dipakai para ariolis (peramal) untuk membayangkan wujud dan rona masa depan.

Cara-cara itu, antara lain, misalnya, memperhatikan kelakuan kambing di padang penggembalaan atau perilaku anjing penjaga rumah, kelakuan kucing dan sebagainya. Nyaris semua tingkah laku binatang ditafsir oleh jenis binatang lain yang berakal sehat.

Ada juga di antaranya yang memakai kartu remi untuk meramalkan nasib hidup orang, termasuk mencermati makna jalur ampas kopi di gelas yang isinya sudah diminum. Perihal jalur dan lajur ampas kopi yang ditafsir para peramal, sama sekali tidak asing di wilayah kita. Begitu pun bunyi tekukur di padang penggembalaan.

Ada pula ariolis yang mencermati siulan burung nuri yang dikerangkeng pemiliknya. Burung yang terkurung itu, pastilah tidak sanggup pergi ke tempat jauh, misalnya, ke hutan belantara, sebagaimana keharusan habitasinya, karena selain kakinya diikat juga tubuhnya dikurung dalam sangkar serba terbatas. Jika saja pemilik burung sadar akan makna bahasa burung, mungkin saja siulan burung nuri yang didengarnya saban pagi itu, sejenis jeritan batin karena dia terkurung di tempat yang tidak seharusnya baginya. Dia dikurung bukan lantaran kemauannya, melainkan seturut nafsu pemilik burung yaitu nafsu untuk menyiksa mahluk hidup lain. Tetapi di mata ariolis, siulan burung nuri memiliki signifikansi dengan sesuatu yang bakal terjadi, terutama kepada si pemilik burung.

Sampai kini pun praktek ariolis hadir di kebudayaan kita. Masih ada di antaranya yang mempercayai masa depan manusia dituntun dan ditentukan oleh petunjuk urat ayam setelah menilik hati ayam putih atau urat babi.

Para politisi pun tampak amat kerap kembali ke juru ramal untuk menentukan kemungkinan kemenangannya dalam politik elektoral, ketika analisis rasional sudah mentok. Rasionalitas mentok, sesungguhnya karena rasionalitas tidak dilatih untuk terus bekerja serius.

Namun, para peramal menyadari dengan serius (atau juga main-main) pentingnya posisinya itu, sehingga demi ramalannya itu, tarif ramalan pun dipatok. Amat fenomenal, para ariolis laris manis saat-saat musim politik tiba (Pilkada atau Pileg). Sekurang-kurangnya anggaran untuk membeli rokok terpenuhi, karena pasien kian banyak. Juga anggaran untuk membeli kopi dan gula pun tergenapi dengan baik.

Klik dan baca juga:  Paternalisme Tumbang di Semarang dan Kupang

Saya pun sering memperhatikan kelakuan para calon anggota legislatif. Mereka rela merebahkan diri di pelataran tanah berdebu berbau tengik limbah sirih pinang untuk memenuhi isyarat syarat dan langkah yang diperlukan juru ramal. Lidah para klien disuruh dijulur sembari kepala mendongakkan kepala. Leher dibiarkan dielus-elus sesuka hati peramal. Karena dipercayai, elusan itu sanggup mendapatkan dan memberi tanda atau pratanda. Pada akibatnya jawaban atas ritus itu menentukan nasib elektoral. Bahkan kisruh partai politik pun mungkin dikonsultasikan kepada para peramal. Ditanya tentang nasib partai, agar tidak diganggu selanjutnya.

Ada juga pasien yang rela wajahnya diludahi ariolis. Konon, kasiat air ludah, yang tercampur sirih pinang, sungguh bertuah, mendatangkan ketepatan ramalan. Pasien menerima bodoh begitu saja perlakuan itu tanpa sedikit pun interupsi. Cara sedemikian itu lalu dianggap sebagai bagian dari ritus untuk menemukan presisi ramalan.

Ada pula di antara para peramal yang membisniskan ramalannya itu secara terbuka untuk kepentingan mendapat rokok gratis, transportasi tanpa bayar dan belanja beras di pasar regular rakyat.

Kelakuan itu, mirip dengan tabiat para pendukung politik. Tokoh politik yang didukungnya dijejali informasi palsu. Mereka mendistribusi informasi hasil imajinasinya sendiri. Informasi diberi hanya untuk membuai aktor politik yang didukungnya. Protes politik dan beda pendapat, dikira sebagai perlawanan politik. Hasilnya saling pecat memecat.

Padahal akal sehat di mana pun di dunia ini, telah mengetahui bahwa debat kritis sesama anggota partai itu penting, tak harus membuahkan pecat memecat. Partai politik itu butuh massa, karena dengan massa yang cukup partai memperoleh kursi. Dengan kursi yang diperoleh partai dapat memperjuangkan ideologinya di parlemen atau di birokrasi eksekutif.

Partai politik itu berbeda dengan birokrasi pemerintahan atau mesin manajemen perusahaan, apalagi militer. Jumlah anggota perlu terbatas dan dibatasi karena ada tuntutan kualitas terstandar dan distandarkan. Tak boleh orang gila masuk ke dalam anggota militer atau tak boleh banyak beda pendapat di militer, karena memang mesin organisasi militer rigid dengan struktur dan ketat dengan komando. Tetapi, celakanya, ada orang yang memperlakukan partai politik semacam organisasi militer. Ketua dianggap segalanya, semacam jenderal dalam militer. Padahal, mungkin, Ketua Partai selalu dungu bertindak dan kerap disorientasi dalam pengarahan. Begitulah.

Selain itu, mimpi-mimpi pun ditafsir para juru tafsir. Seolah-olah kejadian seperti dikisahkan di Kitab Kejadian di masa pra Jesus itu terulang kembali hari ini. Tetapi, sejujurnya, ramalan para ariolis itu selalu menimbulkan perasaan was-was, antara kebimbangan psikologis dengan logika rasional yang membingungkan. Di dalam lubuk hati terjauh, para klien menggantungkan imajinasinya setinggi mungkin dengan derap harapan agar semuanya berjalan baik-baik saja dan sesuai dengan harapan terbaik yang diyakininya sebelumnya. Karena itu wajah para clien memelas seolah-olah menanti dengan risau akan apa titah para peramal.

Klik dan baca juga:  Volatilitas Politik Menyemburkan Ketidakpastian Sosial

Di jaman modern ini, jangan dikira para juru ramal absen dari lalu lintas permainan. Ramalan mereka justru didukung data statistik yang canggih. Mereka bahkan sangat yakin menyebutkan, misalnya, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia, selain China (ekonomi China tumbuh 7%), akan menyentuh  5% dari rerata pertumbuhan ekonomi tahun-tahun sebelumnya 2-3% pertahun. Dikatakan, pertumbuhan ekonomi 5% itu mulai tampak pada akhir 2020. Tetapi, nyatanya, hari ini kita temukan total keliru.

Di bidang politik pun disebutkan, ideologi besar dunia akan mengalami krisis hebat (tarung sengit) seiring dengan bangkitnya kesadaran raksasa Asia Pasifik, terutama negara-negara di tepi Selatan Asia. Disebutkan kebangkitan Asia Pasifik seiring dengan gelombang ekonomi mengalir dari Atlantik ke Pasifik. Para pemain baru datang dari kawasan belahan selatan dunia. Bukan lagi utara. Tetapi apa latah. Ternyata, ramalannya, meski selalu keliru besar, tetapi ramalan yang ditaburi aneka data statistik itu melumpuh tatkala datang badai Covid-19.

Begitu pun dengan ramalan politik dunia. Kerap keliru. Banyak yang menduga, Trump akan bertahta lagi, dan Aung San Suu Kyi di Myanmar tetap terus Berjaya. Tetapi apa latah. Trump tumbang, dan Myanmar hari ini sunyi dari perjuangan Aung San Suu Kyi.

Habib Riziq, juga begitu. Para peramal mematok Riziq, sang penggemar berisik itu, bakal menjadi habib agung di seantero negeri ini. Karena itu, para peramalnya memompanya dengan sejumlah pujian sedemikian rupa dengan serial keyakinan bahwa Riziq segera balik ke tanah air, setelah sang habib merantau jauh di negeri seberang. Tetapi apa latah. Riziq balik dari tanah rantau, tanpa membawa belak kesadaran bahwa kepulangannya ke tanah air yang, meski disambut riuh di bandara Soeta, justru berbuah amat sangat pahit. Kepulangannya justru memperlancar dirinya masuk dalam jebakan hukum yang menantinya sekian lama. Hari-hari belakangan ini Riziq tak lagi berisik. Dia sunyi di dalam pedihnya pelukan ruang tahanan.  Meski demikian, namanya dikenang sebagai tukang bikin berisik, gemar menghina presiden, dan tak bosan menawarkan agar negeri ini perlu mengganti ideologinya.

Contoh lain lagi dapat dikemukakan di sini. Yaitu ceritera tentang komplotan pencuri uang dana bansos.  Komplotan pencuri dana bansos diduga berasal dari PDIP besutan Ibu Megawati Soekarnoputri. Para maling ini gemar menyerukan keberpihakannya kepada kaum kecil (wong cilik), tetapi ternyata di balik itu, rakyat yang dibelanya itulah yang disembelih pertama melalui cara mencuri uang bantuan sosial. Ramalan peramal tentu ikut berbeda arah.

Klik dan baca juga:  Spirit Kepemimpinan Ahok dan Gerakan Sosial Bupati dr Agus Taolin

Kita semua, hari ini, mengutuk para pelakunya karena mereka kita anggap kejam dan jahanam. Mengapa? Karena mereka kok begitu tega dan sanggup mengambil duit hak  kaum papa. Khalayak rame tahu persis (karena sering disiarkan begitu), bahwa PDIP adalah partai pembela kaum papa. Lalu, mengapa PDIP tega nian mempecundangi kaum papa dengan begitu keji nan jahanam? Peramal-peramal di sekitarnya, mungkin kini sedang sebagai pemegang kuasa besar dan kuat, entah berkuasa di legislatif, eksekutif atau di elit PDIP. Tetapi mengapa mereka diam tak lagi sanggup mengoceh ramalannya?

Semua ramalan peramal di PDIP, sirna seketika ketika KPK mengumumkan besaran uang yang diduga dicuri itu. Metode pencurian pun sistematis, masif dan terstruktur. Kita peroleh kesan itu dari berita Majalah Berita Mingguan TEMPO dan harian Koran TEMPO. Belakangan dua media ini memberitakan kasus itu secara rinci. Tindakan keji para politisi maling ini mungkin saja dituntun terang cahaya kata-kata peramal bangsat.

Selain itu, para peramal ekonomi dan politik, kini terperangah. Mereka tidak pernah menduga meluasnya pengaruh Covid-19. Mereka luput dari perhitungan bahwa wabah Covid-19 mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia melambat. Melambatnya pertumbuhan ekonomi itu, mendorong para ahli ramal ekonomi dan politik memilih berdiam diri di hari-hari ini. Krisis ini kian meluas sampai-sampai tingkat okupansi hotel di Kupang anjok, sebagaimana laporan Redaktur Ekbis detakpasifik.com, Yulin Kurnia, pekan silam.

Masa depan kita diprediksi secara futuristik. Futuristik artinya mengamati kecenderungan di masa yang baru lalu dan mengekstrapolasikannya ke masa depan yang dekat.

Para ariolis (peramal) masih dirujuk khalayak. Mereka dirujuk karena ramalannya menentukan langkah apakah yang tepat diambil untuk kepentingan politik kita ke masa depan. Tetapi, mereka pun kerap keliru.

Para ariolis laku keras. Ada di antara kita yang mengakui kecanggihan analisa para ariolis ini karena diyakini ramalannya nyaris tepat. Dengan kata lain, apa yang dikatakan kaum ariolis nyaris persis secara empiris. Maka otoritas kaum ariolis dijaga secara empirik, mungkin diakui secara teologis, bahkan dimasuk-akalkan secara rasional. Lambat laun ramalan mereka mendorong kliennya berbuat seolah-olah segala cara dihalalkan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *