Kita sadar bahwa masa depan adalah merupakan era embaran (information), tapi kita sepertinya mengabaikan.
Oleh Umbu Tagela, Pengajar di FKIP UKSW Salatiga
Deraan Covid-19 yang berkepanjangan ditambah situasi politik yang tidak menentu, dan bencana alam yang silih berganti melanda negara kita, rasa-rasanya telah melumpuhkan daya imajinasi, kreativitas serta kemampuan kita untuk melakukan suatu prediksi dan antisipasi bermakna tentang apa yang terjadi tahun depan.
Memang, sesuatu yang akan datang tidak tergolong dalam kajian ilmiah, karena tidak jelas fakta dan datanya. Biasanya sesuatu yang akan datang itu berada dalam dimensi waktu keakanan. Dan untuk memprediksi, memproyeksi, mengestimasi atau mengantisipasinya kita butuh suatu landasan berpikir yang kuat yang bertumpu pada dimensi waktu kekinian dan dimensi waktu kesilaman.
Dimensi kesilaman kita penuh dengan catatan pelanggaran HAM, KKN dan ketidakberdayaan hukum menghadapi penguasa. Sementara dimensi kekinian penuh dengan perasaan khawatir, takut dan ketidakpastian dalam segala hal. Peristiwa ledakan bom beberapa waktu yang lalu, amat mencemaskan masyarakat. Ancaman bom yang ditebar oleh para teroris di berbagai tempat, membuat masyarakat sangat takut.
Situasi politik yang tidak menentu, yang diindikasikan dengan masalah pencapresan ikut membangun polarisasi dalam kehidupan masyarakat. Distribusi KKN yang merebak sampai ke desa-desa telah ikut melumpuhkan kesadaran masyarakat. Rasa-rasanya masa depan buat kita di tahun 2023, mungkin sama saja dengan apa yang sekarang sedang kita alami atau malah mungkin lebih mengenaskan.
Era informasi
Naisbitt dan Aburdene (1990) mengonstatir bahwa masyarakat masa depan akan ditandai oleh globalisasi yang disertai dengan peningkatan peranan individu-individu. Dalam tautan yang sama Toffler (1990) mengatakan bahwa kemajuan ilmu dan teknologi khususnya di bidang informatika, telekomunikasi dan komputer berdampak meningkatkan akses terhadap berbagai kajian disegenap permukaan bola dunia sampai ke taraf yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sehingga menampilkan tatanan kekuasaan baru yang dapat menantang kalau tidak menjungkirbalikkan tatanan kekuasaan yang telah mapan.
Untuk dapat menetapkan fondasi serta mengambil tindakan secara bertanggung jawab dalam kehidupan yang ditandai oleh perubahan yang semakin cepat akibat aksesibilitas informasi yang semakin tinggi. Maka para individu perlu diperlengkapi dengan acuan dan keterampilan untuk menilai dan memanfaatkan di samping menemukan informasi. Hanya dengan kemampuan mengelola informasi yang memadai diharapkan terwujud masyarakat yang lebih demokratis.
Keadaan dunia yang sedang mengalami perubahan dan penuh ketidakpastian ini, memotivasi kita untuk menyiapkan diri paling tidak dalam tiga hal, yakni (1) menata kembali kehidupan ekonomi yang terkoyak akibat Covid-19, (2) menempatkan posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan (3) meningkatkan sistem politik luar negeri yang bebas dan aktif atas dasar saling menghargai dan menghormati.
Pandangan ini hampir sama dengan ide Georg Picht (1969) dalam bukunya Mut Zur Utopie (keberanian melamun). Dikatakan, “dalam menghadapi masa depan, kita harus mengusahakan perubahan mental, berbekal segala iktikad yang baik saja, kita tidak akan peroleh masa depan yang cerah. Berpikir dan bertindak yang bijaksana tak boleh terlepas dari pemahaman yang substansial tentang pengertian dunia di masa kini yang menjadi acuan pengembangan masa depan”.
Isi masa depan meski berupa kemungkinan belaka, kini sudah dapat diperhitungkan sehingga boleh dipandang sebagai tingkat tertentu dari realitas politik, ekonomi dan sosial. Terutama politik harus dimanfaatkan untuk meramalkan secara ilmiah masa depan suatu bangsa. Jika tidak demikian maka politik itu hanya sekadar akan menyuguhkan berbagai krisis termasuk krisis ekonomi dan sosial.
Picht juga mengingatkan pembaca bukunya tentang lahirnya ilmu masa depan yaitu futurologi yang coraknya interdisiplin. Ilmu masa depan ini menjadikan fakta sekarang sebagai basis untuk melakukan prognosa tentang masa depan. Sejujurnya banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu yang skeptis terhadap futurologi, lantaran basis analisisnya didaku (claim) tidak ilmiah. Namun begitu, ilmu masa depan tetap memiliki kekuatan dan daya sihir tinggi dalam kehidupan manusia di abad ini.
Pergantian tahun
Eric Muraise (1971) dalam artikelnya yang berjudul De gorte angst: het jaar 2000 (ketakutan besar tahun 2000). Eric mengatakan, janganlah sembarangan memasuki tahun 2000. Sebab selain berubah abad dan tahun sekaligus juga berubah milenium yakni milenium ke 3.
Menurut pengalaman sejarah, setiap kali abad akan berganti, orang senantiasa dihinggapi suatu kekhawatiran dan kecurigaan. Apalagi jika pergantian abad sekaligus merangkap pergantian milenium. Misalnya ketika tahun 1000 Masehi di ambang pintu, orang mengira bahwa dunia akan kiamat.
Angka 1000 merupakan angka bulat yang terkesan magis, telah memacu para Raja Kristen di Eropa untuk berikrar mempertahankan tanah suci Palestina dengan Perang Salib melawan Perang Sabil.
Dimana masing-masing pihak sama-sama menjadi martir dan masuk Firdaus. Yerusalem memang berhasil ditaklukkan dari kekuasaan bangsa Saljuki, tapi, anehnya kiamat tak kunjung datang. Malah yang lebih aneh lagi, Perang Salib yang aspirasinya semula bermuatan religius, dibelokkan ke relasi dagang, pertukaran ilmu pengetahuan dan munculnya kembali gairah hidup menunda akhir jaman.
Setiap pergantian abad, manusia Barat menjadi gelisah. Secara instingtif orang merasa berhadapan dengan suatu lompatan historis spektakuler yang dapat membawa berkat tetapi mungkin juga bencana.
Hijriah dan syoowa
Revolusi di Iran yang berhasil menggulingkan raja Shah Palevi terjadi dipenghujung abad ke 14 tarikh Hijriah. Kaum Islam mashab Syiah melihat munculnya Khomeini sebagai cecala datangnya sang Imam Mahdi. Ketidaksabaran orang-orang Iran tercermin pada saat kerusuhan bersenjata di Makkah tepat pada pembukaan tahun 1500 Hijriah.
Dari situlah sebenarnya dimulai kebangkitan kembali Islam di segala bidang kehidupan. Keagungan Islam dari jaman kalifah Bagdad dan Kordoba sedang berulang untuk itu puji syukur kepada Illahi mesti dipanjatkan.
Dalam tautan yang sama, bangsa Jepang di kawasan Asia, merasa terpanggil untuk melepaskan saudara-saudara di Asia Tenggara dari penjajahan Belanda, Inggris, Perancis, Portugis. Ketika Hitler membuka Perang Dunia II di Eropa tahun 1940, di Jepang tahunnya Syoowa tepat tahun 2600.
Di akhir 2601 Harbour (Hawai) di bom dan pengusiran penjajah putih di Asia Timur Raya dimulai oleh Jepang. Demikian juga deraan Covid-19 yang melanda dunia telah mampu melumpuhkan semangat bangsa di dunia untuk meraih kesejahteraan. Ketiga contoh di atas menggambarkan betapa hebatnya bangsa Eropa, Islam dan Jepang dapat bertindak karena dorongan panggilan magis – misterius dari datangnya abad baru.
Kesimpulan
Sebagai salah satu bangsa yang besar, rasa-rasanya kita kehilangan momentum untuk menorehkan tinta emas pada sejarah perkembangan dunia. Kita masih saja berkutat dengan persoalan-persoalan internal yang kita ciptakan sendiri. Kita sadar bahwa masa depan adalah merupakan era embaran (information), tapi kita sepertinya mengabaikan.
Kita suka dan selalu berbicara tentang peningkatan kualitas SDM dan peningkatan kesehatan masyarakat, tapi dengan sengaja dan sistematis kita anggarkan biaya pendidikan dan kesehatan dalam jumlah yang kurang memadai. Mengapa ini harus terjadi? Ebiet mengatakan, ”coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
Para elite politik kita sibuk melakukan manuver politik, sibuk berpolemik ria lewat mas media cetak dan elektronik, sementara kehidupan bangsa ini kian rapuh dan goyah. Karena itu amat wajar, jika sebagian besar di antara kita amat cemas dan khawatir tentang apa yang bakal terjadi di tahun 2023.