“Mesti nafasmu kadang tersengal. Memikul beban yang makin sarat. Kau tetap bertahan…” – (Ebiet G Ade, Titip Rindu Buat Ayah, 1993).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Tuhan luka lecet?
Beberapa tahun silam, selepas perayaan ekaristi (misa) pagi, saya panggil koster yang bertugas. Kepadanya diluncurkan satu pertanyaan dalam gaya Flores, “Kenapa kau taro anggur begitu sedikit tadi?” Si koster sedikit kaget. Heran-heranlah dia soal tanya anggur untuk misa tadi. Salahnya di mana? Toh, tetap ada anggur untuk misa. Tak ada yang dilupakan. Yang jadi soal, itu tadi, ‘taro anggur sedikit saja’.
Saya hanya bilang, “Adik, lain kali anggur misa tu kau taro agak banyak-sedikit ka! Yesus itu mati berdarah-darah. Bukannya mati berdarah luka lecet.” Maka pahamlah si koster bahwa tubuh yang terluka ngeri menyisahkan tetesan dan gumpalan darah berceceran. Sebab itulah anggur misa mesti penuh ampul. Tetapi, apakah koster berpikir lain bahwa saya sebenarnya mau minum lebih banyak anggur? Entahlah.
Baca juga: Kebenaran Itu Akan Memerdekakan Kamu
The Passion of Christ, film di tahun 2004 itu memang mengerikan. Mel Gibson, sang sutradara, dengan caranya sendiri telah riliskan kisah sengsara Yesus teramat keji. Tetapi nyatanya itulah yang ‘disenangi’ umat Kristiani. Sungguh, derita Yesus jelang kematianNya di Kalvari sungguh nyata dan amat menggetirkan. Tak peduli apa ia beraura anti-semitism yang bernada rasism. Seolah-olah begitu sadisnya bangsa Yahudi yang menjadi otak kematian seram untuk seorang tokoh yang menyebut diriNya Putera Allah.
Mel Gibson sendiri tak gampang, katanya, berjuang cari muka demi promosi drama derita Yesus ini. Ia dan krunya ‘libatkan pendapat Vatikan (Paus) dan beberapa pemimpin gereja’ yang disinyalir telah bersimpati berat pada hasil karyanya itu. Sayangnya semuanya claiming itu dibantah. Namun, The Passion of Christ telah menyedot perhatian tumpah ruah dan saling silang reaksi.
Nutrisi spiritual
Tetapi, bagi gereja yang merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Tuhan, citra pemaknaan apakah yang sepantasnya direnungkan?
Pertama, Tubuh dan Darah adalah satu proklamasi keintiman relasi antara murid-murid Tuhan, gereja (kita semua). Di malam perjamuan akhir, Yesus bersabda kepada para murid: ‘Ambillah dan makanlah! Inilah TUBUH-KU. Ambillah dan minumlah! Inilah DARAH-KU…’
Gereja tak pernah bisa dipikirkan tanpa kebersatuannya dengan Kristus, sebagai kepala. Dari Tubuh dan Darah Kristus, gereja memperoleh nutrisi spiritual yang mempersubur gairah iman-harapan dan kasih. Karena kebersatuan itu gereja menjadi hidup. Dalam lukisan pokok anggur, Yesus kiaskan diriNya sebagai POKOK dan kita adalah ranting-rantingnya. Dan tidak kah Ia tegaskan “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).
Dalam perayaan ekaristi, yang adalah puncak kehidupan gereja, kita alami kekuatan kehadiran Tuhan dalam sabda dan sakramennya. Ekaristi hadirkan (kembali) keagungan dan kemuliaan Tubuh dan Darah Tuhan yang dirayakan.
Tetapi sepantasnya mari kita renungkan animo spiritual kita untuk “pergi misa”. Litania alasan sudah dikemas untuk enggan ‘ke gereja hari Minggu’. Sibuk tak ada waktu? Kurang PD tampil sebab tak ada ‘sepatu, baju dan celana gereja?’ Jenuh dengan isi dan cara bawakan khotbah yang kurang streg? Bosan dengan pengumuman yang bertele-tele? Punya persoalan pribadi dengan pastor dan seterusnya, atau masih bergulat dengan soal-soal hidup sendiri yang membingungkan?
Baca juga: Tuhan Ada di Sini di dalam Jiwa Ini
Apa pun alasannya, Yesus, Tuhan, kepada semua kita, tetap setia menanti untuk membaharui dan meneguhkan kembali jalan hidup setiap kita. Kita hadir di hadapan Tuhan dalam ekaristi tidak karena kita adalah kaum berdosa, tidak pula karena kita adalah orang-orang teramat saleh. Tetapi bahwa gereja (kita) yakin Kristus Tuhan senantiasa menanti kita dalam kekuatan kasihNya yang mengagumkan.
Kedua, saat terpelanting dari kuda tunggangan Saulus menangkap suara yang berseru, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kis 9:4). Dan Saulus pun pada titiknya menjadi sadar bahwa “Yang teraniaya adalah Yesus yang hadir dalam diri orang-orang yang dianiayanya.” Ingatlah pula! Bukan kah kepada Thomas, Rasul, Tuhan bertitah, “Tarulah jarimu di sini dan lihatlah tanganKu dan cucukanlah ke dalam lambungKu!” (Yoh 20:17)?
Terdapat sekian banyak ‘Yesus dalam diri saudara-saudaraNya’ yang tak tentu nasibnya. Perang serta aneka kekerasan adalah tragedi Golgota yang tak pernah berakhir. Tubuh-tubuh kurus tak berdaya terlihat di mana-mana. Kelaparan mendera untuk dihilangkan dengan apa yang masih tersisa di tong-tong sampah.
‘Tubuh dan Darah Tuhan’ tetap lunglai tak berdaya akibat sekian banyak praktik ketidakadilan dan tindak koruptif. Sebab katanya, ‘yang gemuk semakin tambun; yang kering semakin kerontang hingga tulang terbilang.’ Tidak kah pula ‘Tubuh Tuhan’ semakin banyak terbujur kaku dalam antrean ‘peti-peti mati yang dikirim dari tanah perantauan?’ Mereka itulah pahlawan kehidupan bagi keluarga mereka yang sederhana dan tak berdaya. Namun mereka sepertinya dinasibkan ‘salah diurus’ dan lalu diperlakukan semena-mena oleh yang (merasa) berkuasa.
Baca juga: Natal dan Bahaya Adaptasi Hedonis
‘Tubuh dan Darah Tuhan’ tentu tidak saja merupakan ‘perayaan adorasi ke altar dengan asap dupa harum semerbak mewangi, dengan rangkaian indah bunga-bunga, serta lilin bercahaya.’ Tetapi Tubuh dan Darah Tuhan juga menarik (paksa) kita keluar dari segala ‘kelebihan dan ketersedikitan kita’ akan ‘Tubuh dan Darah Tuhan’ yang “ketika Aku lapar; ketika Aku haus; ketika Aku seorang asing; ketika Aku telanjang; ketika Aku sakit; ketika aku dalam penjara…” (cf Mat 25:31-46, Penghakiman Terakhir).
Ketiga, dalam Tubuh dan Darah Tuhan yang dikontemplasikan, deretan nilai terpancar dalam terang yang sungguh berkuasa dan mengagumkan. Dalam persatuan dengan Tubuh dan DarahNya nan mulia, Yesus mendidik dan mengajak kita untuk berani bertaruh hingga ke Puncak Golgota.
Di via dolorosa itu terbentanglah tapak-tapak: kerendahan hati, kesabaran, pantang mundur, pengorbanan, tak membalas, kepasrahan, keberanian hati, serta kesetiaan hingga akhirnya. Maka bersatu dengan Tuhan dalam Tubuh dan DarahNya adalah satu dinamika spritual internalisasi keagungan nilai-nilai ini.
Tubuh-Darah Tuhan vs ironia sambut baru?
Teringat lagi kisah-kisah komuni pertama (Sambut Baru) yang sudah dikaroseri sekian aduhai. Musik menggelegar dengan speaker bertingkat di segala sudut tenda pesta. Hewan-hewan korban yang tak sedikit jumlahnya. Tampilan si ‘anak sambut baru’ bak ratu atau raja. Segala pernak-pernik sana-sini yang bukan sedikit. Semuanya demi merayakan pesta menerima ‘Tubuh dan Darah Tuhan’ yang berbilur, ‘jelek dan tak indah’. Penuh derita.
Ada lagi kisah sambut baru yang jadi arena tebalkan lagi ‘rasa hati tidak baku enak’ dalam keluarga (besar). Sebabnya, dia ini dan dia itu telah ‘dipaku mati untuk tidak boleh diundang memang’. Ini belum lagi, katanya, masih harus bicara adat yang belum beres itu ini itu. Jadinya satu pesta sambut baru yang rumit dan ‘rasanya tidak enak punya’. Tetapi syukurlah, momentum Tubuh dan Darah Tuhan, yang sering dirayakan pula dengan perayaan “Komuni Pertama” bisa jadi ajang untuk berkumpul bersama dengan siapa pun dalam suasana sukacita penuh kasih.
Akhirnya….
Di atas segalanya, mari kita renungkan betapa muliaNya TUBUH dan DARAH TUHAN yang karena kasih dan kesetiaanNya membawa kita semua kepada kehidupan dan keselamatan.
Tuhan, ajarkan kami semua untuk kembali memandang Tubuh Suci-Mu penuh teguh; dan biarkan kami semua berani meminum dari Cawan Derita SuciMu. Sebab dari situlah kami ada, kami berziarah, kami berharap. Hingga akhir nanti. Sebab kami tahu dari SabdaMu, “Barangsiapa makan daging-KU dan minum darah-KU, ia tinggal dalam AKU dan AKU tinggal di dalam dia” (Yoh 5:56).
Verbo Dei Amorem Spiranti
Tuhan memberkati