Merenung kematian almarhum Brigadir Yosua.
“Terkadang orang tidak ingin mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi mereka dihancurkan” – Friedrich Nietzsche – Filsuf Jerman, 1844-1900.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Mendung kelam menggumpal
Semuanya telah terjadi! Namun, pantaskah ia mesti meregang nyawa setragis itu? Jumat kelabu, di tanggal 8 Juli 2022 itu, Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat, kelahiran 29 November 1994, pergi untuk selamanya. Semuanya terjadi tepat seminggu setelah Korps Bhayangkara RI rayakan HUTnya ke 76 (1946-1 Juli-2022). Dan Indonesia pun berduka dalam keributan yang sunyi.
Satu kisah kelam yang sungguh durjana. Indonesia tersentak. Namun, umumnya dalam diam seribu bahasa. Semuanya telah dalam penantian. Apakah yang sebenarnya terjadi? Sejuta tanya terlontar sana-sini. Kematian Yosua penuh pilu itu telah jadi ‘panggung terbuka’. Di situ, tersebarlah ‘asumsi, opini, interpretasi, prasangka, teori konspirasi, serta komen lepas tempias sana-sini.’ Seakan berlomba-lomba mengayak kebenaran.
Kisah post mortem ini tentu tak lepas dari aura pengap sarat kepentingan. Sebab itu ‘tarik ulur dengan sejuta pengandaian’ bertabrakan di situ. Rancang bangun tembok tebal yang reasonable pada titiknya terjebol pula. Yosua adalah kematian yang terbuka pada seribu pengandaian. Namun, ia pastinya ada di satu jalur kebenaran yang tak tergugat. Kokoh.
Sungguh ini satu ujian
Polri, setidaknya, hadapi penghakiman seantero Sabang hingga Merauke. Sepertinya ‘panas dingin di telinga’ pada diktum “Semut di seberang lautan kasat terlihat, gajah di pelupuk mata sendiri tak tampak.” Sebegitu sulit kah menggali kebenaran yang terjadi ‘di dalam rumah sendiri dan juga libatkan orang dalam rumah sendiri?’ Tapi justru di situlah letak sulitnya.
Perlahan namun pasti, kebenaran itu mulai berwibawa di dalam dirinya. Sebab kebenaran itu tidak bisa diborgol. Tak bisa ditekan dan diancam. Yang paling tak disukai oleh kebenaran adalah negosiasi kiri kanan. Sebab dalam negosiasi kebenaran ‘merasa diri’ diatur-atur. Dan itu tak mungkin!
Dalam negosiasi siapa pun memang dicurigai tak peduli akan kebenaran dan kebaikan. Sebab di situ, tak terdapat “usaha mencari yang terbaik (dan benar), tetapi hanyalah usaha untuk mempertandingkan kekuatan. Yang penting menang, dan pedoman terakhirnya adalah hukum” yang bisa juga ‘diatur dan dirayu’.
Tak pernah ada rezim kebenaran
Terlalu mudah bagi si jenderal bintang dua, Ferdy Sambo, untuk tunjukan ‘kuasa dan perintahnya’. Kolaborasi dan solidaritas negatif dapat dibangun. Tetapi Sambo mungkin tak pernah sadar. Ia tak identik dengan kebenaran itu sendiri. Ia tak akan pernah jadi diktator mahabenar dari sebuah rezim yang sekian rapuh itu.
“Pesawat itu telah jatuh. Itulah kematian si Yosua.” Kotak hitam telah ditemukan. Perlahan namun pasti telah dibuka. Diselidiki. Penuh saksama dan runtut. Ditulis perlahan dalam tesis-tesis sangkaan. Semuanya akan mengarah pada sidang pengadilan. Bermuara pada putusan. Indonesia mesti bersabar. Dan memang harus bersabar lagi.
Kebenaran itu tak akan pernah terkalahkan
Kita pasti tak bisa nafikan satu kenyataan. Yosua telah mati dengan cara tragis. Duka dan air mata belum terhenti. Rosti, sang ibu dan Samuel, ayah Yosua, serta keluarga sepertinya tak ingin ‘dihibur’. Terlalu pilu untuk harus merasa ditinggalkan Yosua. Derita lahir batin tak tertahankan. Itulah kebenaran derita psikologis yang sungguh menyayat.
Bagaimanapun, kematian Yosua adalah satu pedagogi nurani yang teramat mahal. Kisah di Jumat, 8 Juli 2022 itu memaksa siapa pun untuk memaknai kedalaman dari nilai kebenaran. Dalam masyarakat yang semakin terbelit kusut hanya demi kepentingan berbendera ego yang individualistik dan groupism, nilai-nilai kehidupan sekian mudah lepas tercecer. Pecah-pecah dan berantakan!
Tak ditampik kenyataan, kebenaran yang disangkal akan menuntut sekian banyak energi (yang tak perlu terkuras) demi membentengi rawa-rawa kebohongan. Betapa sulitnya berjalan di lintasan kebenaran. Selurus dan sejujurnya. Lebih mudah untuk kisahkan serial ‘rekasaya kebenaran’ (kebohongan). Sayangnya, orang sering uarkan kebohongan namun memakai ‘topeng kebenaran’. Paradoks memang!
Krisis nilai tetap mengintai
Hidup di zaman yang serba modern ini, tentu tak dengan sendirinya jadi garansi untuk serba kejelasan. Kita tak luput dari krisis kebenaran. Pun dari berbagai krisis nilai lainnya. Bukanlah opini yang sekian spiritualistik atau dituduh berada di alam spiritisme bahwa daya kontemplasi seyogiyanya mesti jadi satu jembatan menuju kebenaran.
Ketergesahan, kepanikan, serta aneka tekanan telah sibukan batin. Maka, di situ tak ada ruang sedikit pun untuk melihat satu sama lain dengan tepat dan benar. “Kontemplasi”, kata si bijak berarti, “telanjang dan dengan rendah hati untuk hadir secara penuh bagi yang lain.” Maka, batin dan suara hati mesti dihidupkan (kembali).
Tetapi, apakah Yosua harus pergi oleh karena kebenaran nilai yang diusungnya? Bahwa di dalam dirinya tersimpan ‘kebenaran yang sungguh berisiko?’ Jika benar bahwa adalah Bharada Richard Eliezer Pudihang yang dipaksa jadi algojo maut, maka sedemikian rapuhkah dirinya untuk mengubah sikapnya terhadap Yosua sebagai sesama Korps Tribrata dan sahabat? Dan lalu Yosua mesti jadi musuh yang mesti diganyang?
Ia telah mati namun ia tetap hidup
Di titik ini, terenunglah kata-kata Yesus, Guru dari Nazaret. “Barangsiapa mempertahankan nyawanya akan kehilangan nyawanya, sebaliknya yang kehilangan nyawanya karena Aku, akan menyelamatkannya” (Injil Matius 10:39). Eliezer telah selamatkan ‘nyawanya’ sendiri di bawah ‘kebenaran Sambo’. Namun, ia akhirnya harus tersekap dalam ‘kehilangan nyawa’ dalam banyak titik.
Tetapi, mungkinkah si Yosua yang telah ‘kehilangan nyawanya’ sungguh masuk dalam ‘forma menyelamatkannya?’ “Ia jatuh ke dalam tanah dan mati bagai biji gandum, tetapi hasilkan banyak buah” (Yohanes 12:24). Di dalam kematian tragis itu ‘kebenaran, kejujuran, kesetiaan, serta keadilan’ semakin bersinar. Ia mesti bercahaya demi dirinya, demi institusi kepolisian, demi nilai, dan demi iman yang diakuinya.
Akhirnya
Tak pernah boleh ada kata menyerah demi kebenaran. Tetapi, jauhilah prasangka yang bukan-bukan. Kesabaran mesti dimiliki. Adakah sesuatu yang dapat dipahami di balik geliat sang Jendral, jika benar ia adalah dalang dari semuanya? Sekian banyak anggota korps yang diduga, kini bagai pecahan-pecahan mosaik yang mesti ‘terhubungkan’. Semuanya demi satu gambaran menderang dari semuanya.
Kita tetap berdoa dan berharap di dalam tegasan kebenaran ajaran Yesus dari Nazaret. Dia yang diimani sang jenderal, Ibu Putri, Yosua dan Eliezer, “Sit autem sermo vester: Est, est; Non, non: Quod autem his abundantius est, a malo est.” Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari itu berasal dari si jahat (Matius 5:37).
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma