Labuan Bajo, detak-pasifik.com- Pada Kamis, 12 Desember 2024, Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi (AMPD) Kabupaten Manggarai Barat menggelar aksi demonstrasi yang mengejutkan di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Manggarai Barat. Dalam aksi yang berlangsung siang hari tersebut, para demonstran membawa sebuah keranda mayat, yang mereka anggap sebagai simbol “matinya demokrasi” di wilayah tersebut.
Aksi ini digelar untuk menuntut klarifikasi dari Ketua KPU Kabupaten Manggarai Barat, Ferdiano Sutarto Parman, terkait dugaan pelanggaran dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung pada 27 November lalu.
Para demonstran juga mendesak agar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Ferdiano Sutarto Parman, selama proses Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Barat dan segera mencopotnya dari jabatan Ketua KPU.
Massa aksi menyampaikan bahwa keranda mayat yang dibawa dalam demonstrasi tersebut mewakili kematian demokrasi di Kabupaten Manggarai Barat. Selain itu, mereka juga melaksanakan ritual adat “Keti Manuk Miteng” yang melibatkan penyiraman tanah dari kuburan di gerbang kantor KPU setempat. Ritual ini dianggap sebagai bentuk simbolis dari penghormatan terhadap demokrasi yang telah mati menurut perspektif para demonstran.
Dalam orasinya, Try Dedy, juru bicara aksi, menegaskan bahwa demokrasi di Manggarai Barat telah “mati” dan hal ini bermula dari tindakan Ketua KPU yang menurutnya gagal menjalankan tugas dengan baik sebagai penyelenggara pemilu. Dedy juga menyesalkan sikap Ferdiano Sutarto Parman yang tidak merespons tuntutan massa untuk berdialog, dengan tetap enggan keluar dan menemui para pengunjuk rasa.
Selain membawa keranda, para demonstran mengungkapkan kekesalannya terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi selama Pilkada 27 November lalu, khususnya terkait dengan adanya klaim bahwa seorang warga yang telah meninggal dunia diduga ikut terlibat dalam pencoblosan.
Kon Agal, salah satu tokoh yang turut dalam ritual adat tersebut, menegaskan bahwa keranda yang mereka bawa adalah protes terhadap praktik kecurangan yang mereka yakini dilakukan oleh KPU Kabupaten Manggarai Barat.
Menurut Kon Agal, dalam Pilkada 27 November lalu, seorang warga dari Desa Siru Lembor yang sudah meninggal dunia diduga terdaftar sebagai pemilih dan ikut menggunakan hak pilihnya. Ia menyebutkan bahwa ini adalah salah satu contoh kecurangan yang harus ditanggapi secara serius oleh pihak KPU. Hal ini, menurutnya, mencerminkan ketidakberesan dalam proses pemilihan yang seharusnya berjalan jujur dan adil.
Reaksi KPU dan Tuntutan Massa Aksi
Hingga siang hari, meskipun massa aksi terus melakukan protes dan meminta penjelasan, pihak KPU Kabupaten Manggarai Barat belum memberikan respons yang memadai. Massa berharap agar Ketua KPU segera memberikan klarifikasi terkait dugaan pelanggaran yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap integritas pemilu di daerah tersebut.
Aksi ini menggambarkan rasa frustrasi masyarakat terhadap proses demokrasi yang mereka nilai tidak berjalan dengan semestinya. Mereka menuntut agar seluruh mekanisme pemilu diperbaiki dan pelanggaran yang terjadi dapat segera diusut secara transparan dan adil.
Aksi yang mengusung simbol keranda mayat ini telah menarik perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai proses Pilkada yang terjadi di Manggarai Barat. Demonstrasi ini juga memperlihatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh KPU, terutama terkait dugaan kecurangan yang mempengaruhi hasil Pilkada.
Masyarakat berharap agar tindakan tegas segera diambil oleh pihak berwenang untuk mengusut dan mengklarifikasi setiap dugaan pelanggaran yang terjadi. Selain itu, mereka juga berharap agar KPU Kabupaten Manggarai Barat dapat memperbaiki prosedur dan sistem yang ada agar kepercayaan publik terhadap lembaga pemilu ini tidak tergerus lebih lanjut.
Aksi ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan pemilihan umum, yang merupakan dasar bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat di Indonesia.*** (Vens Darung)