Oleh: P. Kons Beo, SVD
Baju Agama di Panggung Jualan
Agama. Ia tetap jadi magnet. Masih menarik minat bagi sekian banyak umat manusia. Baju agama yang dipakai memberi rasa nyaman. Ada rasa percaya diri. Tidak saja demi satu garansi di bumi yang fana ini. Agama dengan segala pernak-perniknya telah dilihat bagai tiket otomatis masuk surga. Melewati neraka dengan segala hukuman mautnya. Siapa pun yang berbaju agama, walau dalam ketaatan tak berakhlak, setelah kesementaraan ini, akan segera masuk ke dalam alam sukacita abadi. Berpesta ria selamanya.
Atas nama agama, para pemimpin dan pengajarnya segera jadi penentu moralitas, kebenaran serta sekian banyak prinsip hidup. Sejatinya, tak ada yang eror dari situ. Toh, sekian banyak nilai dan prinsip hidup yang baik tersuarakan pula melalui para pemimpin itu. Apalagi, bila para pemimpin agama itu mencahayai kata-katanya dengan sinar kesaksian hidup yang unggul.
Tetapi, rasa keenakan dalam berpayung dan berbaju agama, sering membuat para pengajar agama justru pinggirkan agama itu sendiri. Yang tersembul kini adalah berbagai hasrat pribadi yang terungkap dalam kepentingan-kepentingan sempit. Maka yang terjadi, agama yang seharusnya jadi domain demi keadaban hidup, kini cuma dipakai sebagai sarana dengan rupa-rupa kepentingan di baliknya. Bukankah agama (penganutnya) telah ditunggang demi ambisi kuasa serta demi hasrat tak terkendali pada arena beraroma ketamakan?
Sekian banyak pikiran kritis kini menyasar arena-arena tertentu berkaitan dengan pengajaran agama. Agama telah dibius dalam ‘jualan, kemabukan serta baju’ sekian murah meriah demi seperangkat kepentingan fana semata. Yakinlah! Tak pernah ada diskusi teologis antar umat beragama untuk sampai kepada satu sintesis teologis sebagai pegangan bersama. Entah diskusi itu bertaraf internasional sekalipun.
Menuju Kemanusiaan
Antar agama (penganutnya) biarlah sebatas saling menghormati dan menghargai. Lebih dahsyat dari itu adalah keberanian dan kejujuran demi memuliakan nilai kemanusiaan. Itulah panggilan untuk menggebuk segala degradasi nilai kemanusiaan dan alam lingkungan. Malah, ada keyakinan untuk “lepaskan agama (mu) dan mari bersama-sama tumpaslah kemiskinan, kelaparan, kekerasan, konflik, penyakit, ketidakadilan, pengungsian serta berbagai krisis hidup anti-kasih.”
Di luar nilai kemanusiaan, sebagai bendera yang patut dikibarkan bersama, antara penganut agama dengan mudah terperosok dalam rawa-rawa saling menenggelamkan atau menghempaskan. Bahkan dengan cara-cara yang amat keji. Di situ, berbagai hasutan menyulut situasi chaos mudah dihembuskan. Saat sekian jauh dari sikap kritis dan jauh dari hati penuh teduh, ‘baju agama yang sebenarnya usang’ toh masih gemar dipakai sebagai ‘pakaian bersih tanpa noda.’
Dalam sejarah, entahlah telah berapa nyawa terbunuh dan dibunuh atas nama agama. Konflik antar pemeluk agama sungguh berakhir sia-sia.
Baju Agama: Antara Simpati dan Antipati
Tetapi pertanyaannya adalah apakah semudah itu melepaskan segala mimpi buruk berkaitan dengan agama? Tesis-tesis teologis, syukurlah, bila selalu ada penyegaran (pembaharuan) di dalamnya. Artinya dalil-dalil ‘maut’ yang dibalut dalam kerangka teologis mesti disingkirkan, dan lalu harus dibaharui dalam konteks masa kini. Karenanya, sangat tidak dibenarkan untuk membabat sesama atas nama hukum/perintah Tuhan dalam ‘prinsip bahwa perintah Tuhan lebih tinggi derajatnya dari hukum publik.’
Tetapi sayangnya, endapan energi spiritual yang mesti berkiblat pada Yang Kuasa dan demi melayani sesama, telah diracuni oleh berbagai rangsangan kotor. Dan itu sungguh menghancurkan kehidupan itu sendiri. Kita lihat saja, teror kepada penganut agama lain kini tidak hanya sebatas teror fisik. Saat, misalnya, sebuah rumah ibadat dibuat berkeping-keping, dan juga timbulkan korban jiwa. Tidak hanya itu! Nampaknya, sejarah silam yang usang (antar umat bergama) tidak dilihat sebagai pembelajaran serius untuk masa kini.
Kini, ‘sakralitas’ agama yang disemayamkan dalam ‘Alkitab, tradisi, dogma, ajaran, benda, ritual’ telah menjadi obyek vital untuk digempur sebagai satu lelucon murahan. Bukankah hal ini timbulkan rasa terluka di hati, saat yang dianggap sebagai ‘barang keramat’ diobrak-abrik begitu saja? Ketika, misalnya, harus menangkap suara, “ketika Yesus lahir, bidannya siapa? Di salib ada jin kafir!; Bible kristen itu palsu; Yesus memadu cinta miring dengan si Magdalena; di gereja mereka menyembah Santu Dominggo,” atau bila harus mendengar segala kata-kata maut Paul Zhang mengenai Nabi Muhammad dan dunia Islam pada umumnya.
Di satu sisi, tentu luhur mulialah ajaran agama bagi pemeluknya. Saat ajaran agama itu sungguh menjadi terang di ziarah hidup ini. Tentu yang dipahami adalah terang dalam perlawanan dengan kegelapan. Dan kegelapan itu selalu menghancurkan, merusakkan serta mematikan. Tak mungkin ditampik bahwa peradaban dunia menjadi maju oleh peranan keagamaan. Demikian pun cara berpikir serta aneka pola sikap positif lahir oleh terang ajaran agama.
Namun di sisi lain, agama sebagai satu ‘struktur yang mengikat’ semakin tidak diminati, diasingkan bahkan dibenci. Larut dalam penggalian personal spirituality adalah upaya mencari damai dan keteduhan batin. Tanpa mau disisip-sisip oleh yang berbau agama yang sekian nampak. Intinya, selalu ada kegairahan menggali oase spiritualitas pribadi encountering with God dan lalu dihayati dalam berbagai sikap hidup positif.
Bagaimanapun, sisi sosial manusia adalah karakter tak terbantahkan. Dalam berbagai aspek kehidupan, siapapun manusia tak mungkin isolatif. Hal ini tentu berlaku pula dalam rana religius. Manusia tak dipanggil hanya untuk berdoa, tetapi juga untuk mendoakan, dan bahkan didoakan. Maka urusan religius-spiritual, tak cuma bergelora di tatanan pribadi. Ia mesti dipandang pula sebagai ekspresi iman kolektif-komuniter.
Baju Agama: Modus Murah Berharga Mahal
Sayangnya, kekacauan dalam sikap beragama tetap kasat mata. Fundamentalisme, fanatisme sempit serta reaksi sengit dari neo-konservatisme tetap jadi momok menakutkan. Di situ, akar masa lalu digali dan dihidupkan kembali. Bendera nostalgia berkenaan dengan kebenaran mutlak, kuasa dan segala kepastian berdasarkan kaidah agama harus kembali dikibarkan. Hal ini menjadi amat berbahaya manakala ambisi politik demi kekuasaan turut bermain cantik nan licik di dalamnya.
Bukankah beberapa politisi di Amerika manfaatkan fundamentalisme kristen? Tak dapat dipungkiri bahwa partai yang berkuasa di India bersenyawa pula dengan fundamentalisme Hindu. Atau bahwa situasi chaos di Timur Tengah itu sulit untuk tidak dikaitkan dengan fundamentalisme Islam. Di Indonesia pun, secara politik, nafsu akan kekuasaan secara kasat mata juga memanfaatkan ‘jasa baik’ gerakan radikal berbalut agama.
Tetapi, tak ditampik pula bahwa serangan gencar arus postmodernisme bukanlah hal sepele menimpah agama dan segala atributnya. Nasib hidup manusia ada dalam peradaban modern manusia itu sendiri. Tak cuma mengobrak-abrik segala mitos irasional dengan segala kegaibannya, postmodernisme pun berjuang singkirkan agama dan peri hidup (moralitas) untuk tak lagi dilihat dimensi sakti untuk mengukur segala keberadaan manusia.
Sebaliknya, postmodernisme sungguh sentakan segala energi agar manusia beratensi hanya untuk tikam kepala demi kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Sudah waktunya agama ‘ditabernakelkan’ untuk tidak ‘dibagi-bagi lagi’ secara masif. Biarkanlah siapapun mencari untuk menjumpai Tuhan-nya dalam caranya yang amat unik dan tersembunyi.
Bagaimanapun, dalam konteks Indonesia, ‘baju agama dengan segala atributnya’ tetap laris manis terbeli dan terpakai. Karena (kegiatan) agama, ekspektasi demi naluri kumpul-kumpul temukan salurannya. Tentu, agama apapun adalah wadah demi ‘mengumpulkan’ dan ‘mengikat’ perelasian antar penganutnya. Dan di situ, bukankah irama hati ketergantungan terbentuk? Tidakkah para penganut agama mencari rasa nyaman, dan akan bereaksi sengit bila ada yang mengganggu rasa kenyamanan itu?
Sungguh! Baju agama dengan segala ornamennya masih saja diminati dan diserbu. Segala dusta dan tipu daya, hanya karena tampilan dan baju agama, tak dilihat secara kristis sebagai penyesatan. Sekian banyak orang rela atau bahkan dipaksa beramal sedekah juga karena atas nama agama. Nampaknya ada kerapian kerjasama reciprocal antara kepentingan elit politik dan para pengajar agama. Para elit impikan kuasa sementara para pengajar berbaju agama bisa mendapatkan keuntungan dalam persentuhan dengan para penganut yang tak kritis.
Entah Sampai Kapan?
Ambillah satu kisah sebagai contoh. Kisruh terakhir Israel-Palestina. Jauh di sana. Namun sulit rasanya di tanah air bebas dari tiupan kencang berbaju agama. Penggalangan dana demi Palestina di berbagai tempat, dan dengan cara apapun tetap dibungkus dalam baju agama. Janji surgawi dan jaminan bebas api neraka sebagai ‘teror religius’ sungguh amat disayangkan. Tetapi, itulah modus nan piawai terhadap kalangan sederhana, yang tak banyak tahu dan tak mau repot seperti apa sesungguhnya fakta sejarah pertarungan Israel-Palestina.
Sungguh sejuklah tanggapan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat, atas situasi suram Israel-Palestina. Sebab katanya di suatu ketika, “Saya menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri. Solusi damai dua negara, hanya bisa terwujud dengan cara-cara damai.” Satu seruan yang luar biasa dari seorang Ketum Partai rasa presiden untuk sebuah himbauan sejuk bagi dua bangsa yang tengah berseteru.
Sayangnya kata-kata lain AHY pada konflik ini terkesan tak luput dari aroma berbaju agama. Katanya, “Cara kekerasan, sampai melukai warga sipil yang tidak bersenjata, bahkan sedang beribadah sangat menyakit kita semua, khususnya umat Islam.”
Komentar seorang Ketum Partai, sebagai politisi, tentu ditafsir dan dimengerti secara politis pula. Yang tentunya diharapkan mendapat simpati dari segala saluran yang bernafaskan Islam. Ya, setidaknya dari saudara-saudari muslim yang mayoritas ini. Ini barulah satu contoh dari sekian banyak kisah berbaju agama di tanah air. Belum lagi misalnya segala donasi untuk Palestina, oleh pihak Kedutaan Besar Palestina, disinyalir belum pernah nongol melalui pihak kedutaan.
Entahlah sampai kapankah baju usang berbau agama terbebaskan dan tak boleh terpakai lagi? Ya, demi alam demokrasi yang lebih bercitra?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma