“Orang yang rendah hati akan nyaman dengan dirinya, dan bahkan orang lain pun akan merasa nyaman berada di sekitarnya” – (Anonim).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Satu kenangan terindah
Teringat kisah kebersamaan di waktu dulu. Di saat-saat ramai berkumpul, sering terdengar seruan khas yang lazim terucap, “Biasa-biasa ka!” Ini alarm halus. Tapi sebenarnya jelas tegas. Demi membidik teman yang dianggap kelewatan dari yang biasa-biasa. Yang sedikitnya overacting ‘mo stel pamer-pamer.’ Yang terkesan MPO (menarik perhatian orang) sembarang yang overdosis.
“Biasa-biasa ka!” sepertinya juga jadi satu hardikan tipis namun telak. Tertuju pada siapa pun yang ‘suka omong tinggi semua.’ Yang sekian melambung ke awan-awan tentang segala kisahnya. Yang terkesan bikin drama show of force dari keluarbiasaan yang ‘dipunyainya.’ Tetapi ini semua tak mengapalah. Tak terlalu penting. Entah itu sungguh sesuai dengan kenyataan atau tidak. Intinya, ada sesuatu ‘yang bikin rasa enak begitu’ dalam canda gurau.
Duduk kumpul bersama seperti itu tetap asyik. Demi ramainya suasana memang perlu orang-orang yang talented dalam ‘wora’ (bahasa Ende-NTT), artinya orang ‘yang suka omong banyak, dengan banyak variasi kembang-kembangnya.’ Kita sedikit pun tak peduli pada soal kebenaran isi ceritanya. Yang terpenting, ya itu tadi, sekedar bikin ramai. Hidupkan suasana. Ada rasa senang dan menghibur.
Keasyikan “omong tinggi semua”
Dan kita tahu benar, tak semua orang berbakat ‘wora’ atau mungkin seperti ‘joak’ dalam bahasa Manggarai. Tetapi, jika kita mesti kembali pada sentakan “Biasa-biasa ka!” tetap ada alarm dini. Agar yang suka ‘suka bicara tinggi-tinggi itu sedikit ukur-ukurlah dalam berkisah.’ Ini semua agar duduk-duduk kumpul itu berakhir dengan rasa puas.
Semuanya akhirnya bubar dalam kepuasan penuh senyum. Sebab telah lewati satu arena komedi penuh jenaka. Para pendengar jadi ceriah nan geli. Dan si pencerita pun puas dalam kelucuan. Sebab ending actingnya tertangkap sebatas guyon yang memang mengasyikkan. Tetapi intinya semuanya pada bubar kembali pada keseharian yang biasa-biasa itu.
Ini tentu berbeda dengan ‘wora’ yang manipulatif. Yang berintensi ‘sengaja sekali untuk mengakali’ sesama. Di situ ada teater ‘omong tinggi melambung.’ Ciptakan jarak lebar dan jauh dari pendengar. Terkesan ‘jauh, senyap dan tersembunyi’ dengan trik terselubung namun nyata. Agar si pencerita itu sendiri ditinggikan dan dimuliakan.
Jebakan elitisme palsu
Kisah-kisah manipulatif itu memang tercium penuh asesori yang dibuat sekian elitis. Agar terkesan bahwa tak sembarangan orang yang berkesempatan untuk masuk dalam satu ‘suasana, alam, tempat, posisi, jabatan, ataupun kuasa’ yang dianggapnya mentereng, sakti dan bahkan keramat.
Para pencerita seperti ini telah sengaja menjebak pendengarnya. Ini semua agar para audiens terjerat dalam karoseri pengaguman yang palsu dan sedikit dipaksakan. Suasana bersama telah jadi terkecoh dan terakali. Atmosfer ceria bersama telah terpolusi oleh pemeran gadungan. Aktor palsu ini sekian tegah memborong teater umum demi ego dan pencitraannya.
Maka si pencerita palsu ini pun tak segan-segan tempatkan segala atribut elitis demi melambungkan dirinya. Menjarakkannya dari segala ‘ruang-waktu dan tempat yang dianggap biasa-biasa.’ Namun ini sebenarnya telah menjadi satu permainan sungguh paradoksal. Membutuhkan masa demi dahaga akan pengakuan, namun serentak tetap ‘menjauhkan dirinya sendiri dari masa’ demi bersembah sujud pada area elitis.
Spirit “biasa-biasa, kesetaraan, kekitaan”
Ketika kita sungguh merenungkan sentuhan ungkapan “Biasa-Biasa ka!” maka terdapat makna kesetaraan dan kesejajaran. Kita dipanggil pulang untuk ‘kembali ada bersama dalam kesamaan.’ Di situ, ditemukan kembali makna terdalam dari kata “KITA.”
Kebersamaan yang setara-sejajar tentu membawa makna hidup saling membebaskan. Tanpa canggung dan tanpa cemas. Sebab merasa diri ‘luar biasa yang eksklusif dan elitis’ memang sepantasnya disingkirkan. Elitisasi yang berciri ekslusif itu terjadi ketika partisipasi tersingkir oleh variasi modus single fighter dan aksi pembatasan.
Tendensi elitisme bukan tak mungkin menyusup pula dengan mudah dan rapih dalam jalur keber-agamaan. Tanpa terlalu banyak hambatan. Kita renungkan saja apa disinyalir oleh Radcliffe T, “Di dalam gereja godaan itu terdapat pada para imam yang mendominasi pembicaraan, menentukan kosa kata, dan dialeknya” (2008).
Agama: jalur basah elitisme?
Arus elitisme religius menyeruak ketika para pemuka agama merasa diri sendiri sebagai agen sah dan tunggal sertifikasi demi ‘surga-neraka, halal-haram, saleh-kafir, benar-berdosa.’ Maka di sini terdapat apa yang disebut ancaman perampasan otonomi diri yang bebas.
Menjadikan institusi agama yang sekian ‘luar biasa dan sakti’ lebih dari “biasa-biasa” bisa berdampak rasa curiga dan sekian tak nyaman. Sekian banyak “kaum muda,” misalnya, “menunjukkan kelaparan yang sangat akan Tuhan, tetapi curiga pada setiap lembaga yang memberikan tuntutan tertentu pada mereka” (2008). Harga mahal akan kebebasan jati diri tak hendak dikuasai apa pun institusi.
Rahasia kokohnya satu kebersamaan hanya terdapat pada ‘rasa kebersamaan’ itu sendiri. Saat ‘yang dianggap luar biasa tidak dipakai sebagai tameng atau tembok tebal yang membentengi elitisme. Kebersamaan yang benar adalah panggung di mana suara setiap orang dapat didengar. Saat keindahan setiap orang ditangkap. Dan bahkan lebih dari itu, “di mana suara yang lemah dapat terdengar, walau dengan kata-kata asing sekalipun.”
Akhirnya
Sungguh tak mudah untuk membebaskan diri sendiri dari lingkaran ‘aku yang elitis.’ Diri kita sungguh terbebani oleh berbagai asesori ‘pangkat, jabatan, kuasa, gelar pun kedudukan’ yang sengaja dirawat dan ditonjol-tonjol demi satu impresi angker dan elit.
Ada bagusnya jika mesti segera pulang ke lingkaran yang ‘biasa-biasa.’ Sebab di situlah kita temukan kembali jati diri. Itulah diri yang sebenarnya. Bebas dari segala tempelan yang memberatkan. Ini juga penting agar kita bisa kembali pulang dalam ‘persaudaraan sesama manusia.’
Enak juga ‘duduk-duduk kumpul bersama’ untuk tembakan alarm peringatan, “Biasa-Biasa ka!” Agar siapa pun segera teringat untuk pulang kepada sesama. Teringat untuk kembali pulang dalam kebersamaan. Dan, tak terperangkap terus dalam kemabukan elitisme. Sebab, kita mesti tetap berkarib-ria. Bercanda bersama seperti dulu lagi. Sebab kebersamaan seperti itu memang tak pernah boleh usai di sini.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma