Oleh P. Kons Beo, SVD
Agus dan Ibas Yudhoyono belakangan ini lagi tenar. Dua bersaudara, yang sering dijuluki ‘Pangeran Cikeas’ itu lagi berakrobat di pentas politik nasional. Modal baperan sudah cukup untuk diracik sebagai ramuan politik. Berempati pada nasib rakyat, keduanya serius dan amat keras untuk menegur pemerintah. Rakyat sudah jadi korban yang tak main-main. Telah banyak kisah kehilangan yang diderita akibat Covid-19 itu.
Pada Rabu, 7 Juli 2021, ada keterangan tertulis milik Ibas. Dirilis kepada publik untuk disimak. Ada pertanyaan Ibas sedikit bernada retoris, “Sampai kapan kita akan terus begini?” Pemerintah nampaknya tak punya kiat jitu untuk tangani efektif dan solutif.
Belum lagi bila harus disusuri pernyataan sambungannya, “Jangan sampai negara kita disebut sebagai failed nation atau bangsa yang gagal akibat tidak mampu menyelamatkan rakyatnya.”
Derita bangsa yang gagal pun dapat disimpulkan dari segala yang disuarakan oleh AHY. Ketum Partai Demokrat ini meratapi nasib perkembangan status ekonomi nasional. Intinya, kondisi ekonomi Indonesia kini tidak ideal.
Kategori lower-middle income, negara berpenghasilan menengah ke bawah, rujukan pada Bank Dunia, sesungguhnya patut disayangkan. Tahun ini, katanya, income per capita Indonesia anjlok ke USD 3.870. Padahal di tahun silam, GNI per capita Indonesia ada di posisi USD 4.050. Seturut AHY, Indonesia sudah turun kelas.
Tak ada yang salah dari dua bersaudara (AHY-EBY) petinggi Partai Demokrat itu. Sebagai partai resmi dan pernah besar dan jaya di negeri ini, Demokrat terpanggil untuk bersuara demi bangsa dan rakyat Indonesia. Terkadang keraguan atau nada-nada pesimistik bisa menjadi kontribusi agar pemerintah terus berupaya memikirkan cara-cara yang tepat dan sehat untuk mengatasi Covid-19.
Tentu, partai-partai koalisi dalam pemerintahan (pro-pemerintah) punya pandangan tersendiri. Setidaknya, suara Demokrat dianggap tak santun dan tidak tepat di saat semua pihak lagi berjuang untuk atasi pandemi Covid-19.
Apakah Demokrat patut dicurigai lagi bermain-main seputar kekuasaan? Apakah suara petinggi-petinggi Demokrat adalah strategi demi sebuah orkestrasi mendulang atensi suara rakyat pada Pileg atau Pilpres mendatang?
Failed nation, bagaimanapun, adalah kenyataan miris rakyat dan bangsa Indonesia akibat failed leadership pula. Bila mesti diteropong dari lensa ‘other side’, maka faied nation tak cuma diarahkan pada pemerintah sebagai sumbangan sejuk untuk atasi derita pandemi Covid-19.
Di sisi lain, failed nation cukup mudah ditebak sebagai arus dahsyat konsientisasi (penyadaran) rakyat Indonesia bahwa bangsa dan negara ini lagi dipimpin oleh pemerintah yang salah dan gagal dan oleh koalisi yang tak karuan.
Bila Ibas bertanya “Sampai kapan kita akan terus begini?” Maka isyaratnya adalah ‘sampai model kepemimpinan seperti ini berakhir’. Andaikan tahun 2024 dianggap masih terlalu jauh dan lama, apakah perlu ditafsir bahwa Demokrat lagi sungguh berharap agar kepemerintahan ini mesti ditamatkan lebih awal? Rasanya tafsiran ini sekian exagerated-hyperbolic. Bukankah Demokrat adalah partai pencinta, pengusung dan penjaga demokrasi?
Tidaklah mungkin bahwa segenap keluarga besar Partai Demokrat nantinya akan bergerak revolusioner ala jalanan. Bahwa Partai Demokrat sudah dicurigai sebagai salah satu bohir untuk berbagai kegaduhan dan keresahan kehidupan berbangsa dan bertanah air tentunya adalah satu pikiran yang keterlaluan.
Apalagi bila, misalnya, BEM Universitas Indonesia di bawah Leon Alfinda Putra, yang mengkritik Presiden Jokowi sebagai King of Lips Service, dicurigai berada dalam bayang-bayang Cikeas, adalah kekejian tak berdasar!
Dan lagi, apa mungkin pikiran dan sikap Partai Demokrat mesti nampak sejajar dengan celotehan Rocky Gerung bahwa Covid-19 di Indonesia akan berakhir kalau presidennya diganti?
Bagaimananpun kita semua tetap yakin, sekali lagi, bahwa Demokrat adalah partai besar yang telah dan pernah hadir dalam pentas kekuasaan negeri ini. Dan tentu tetap bertarung ide dan strategi untuk kembali ke tampuk kekuasaan. ‘Intervensi politik’ ala Anisa Pohan yang turut nimbrung tentang penanganan Covid-19 sudah ditilik sebagai hasrat penuh impian demi menjadi ‘first lady’ di istana.
Tetapi, sudah jadi nyata akan adanya rivalitas komparatif antara SBY dan Jokowi di medan kepemimpinan di negeri ini. Pertarungan narasi menjadi tak terkendali. Semuanya dalam forma kedaulatan atau kewibawaan kepemimpinan antar keduanya.
Bisa dipahami saat rongsokan Hambalang, gelap dan pengapnya kisah Bank Century hingga kreativitas SBY dalam menghasilkan album lagu dibenturkan dengan segala pencapaian dan terobosan yang dilakukan oleh Jokowi.
Namun, Jokowi bukannya selalu nyaman memimpin. Ditodong sebagai turunan PKI, antek asing-aseng, regim zalim-otoriter, plonga-plongo, tukang meubel jadi presiden, the king of lips service, hingga Jokowi yang mesti digantikan namanya dengan Jokodok, dan ditambah lagi kreativitas hinaan sana-sini.
Mudah ditebak alur perseteruan ini. Saat SBY menjadi tak nyaman dengan segala gebrakan Jokowi, maka alam ketidaknyaman mesti diciptakan pula. Diluarnya pencapaian Jokowi bukankah adalah penghakiman secara tidak langsung atas rezim 10 tahun SBY yang kurang banyak hebatnya?
Andaikan Jokowi terhenti (dihentikan) sebelum waktunya (2024), bukankah ini adalah bukti kegagalannya? Tidak mencapai sempurna dua periode adalah modal telak bagi kubu SBY (Demokrat) untuk memastikan failed nation di bawah regim Jokowi.
Tidak saja dalam konteks penanganan Covid-19, tetapi dalam berbagai ranah kemajuan lainnya. Semuanya ternyata gagal dan sia-sia. Karenanya, segala daya upaya demi demisioner kepemerintahan di bahwa Jokowi bisa menjadi harapan dan perjuangan besar dari seluruh elemen anti Jokowi dan koalisi pendukungnya.
Bila Demokrat sungguh serius dan tulus demi nasib bangsa ini, maka alarm AHY dan EBY patut ditelaah. Tulus dalam artian tak menyerempet pada kekuasaaan yang mesti diobok-obok. Tulus pun dalam pemahaman sebagai sumbangan amat berharga bagi bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia. Ya, seperti yang disuarakan oleh politisi Demokrat Didik Mukrianto bahwa semuanya adalah bentuk kecintaan dan kepekaannya (EBY) terhadap bangsa ini.
Tetapi andaikan sebaliknya, betapa semuanya ini adalah dagelan politik yang menggelikan serentak cukup bikin makan hati! Betapa tidak? Di saat dari Sabang sampai Merauke sekian getar-getir oleh pandemi global, dan sekian banyak elemen yang sungguh bertarung demi sikap dan tindakan solutif, toh masih ada pihak-pihak tertentu yang tetap bernafsu pada hasrat kekuasaan.
Maka di sini, failed nation benar-benar menjadi satu lelucon politik tidak pada tempatnya. Yang terbaik sepatutnya adalah adanya suara himbaun AHY dan EBY untuk segenap bangsa Indonesia, “Wahai rakyatku… demi menekan laju perkembangan pandemi Covid-19, taatilah segala protokol kesehatan!”
Verbo Dei Amorem Spiranti