Negara harus bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan bagi warganya, antara lain dengan menetapkan tujuan-tujuan dan menyediakan sarananya.
Oleh Meilisa Putri Nurwidiyana, Mahasiswa Program Studi BK FKIP di UKSW Salatiga
Persoalan pendidikan sekarang ini di berbagai negara dipandang sebagai problem yang sangat luar bisa sulitnya. Lebih-lebih karena belakangan ini sederetan peristiwa di dunia pendidikan kita mendapatkan sorotan yang tajam dalam tingkat lembaga maupun dalam tingkat lembaga masyarakat. Dirisaukan oleh kecenderungan pemerintah untuk dapat melakukan penyeragaman atas berbagai aspek pendidikan di sekolah. Mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sampai pada taraf yang dirasakan. Kendatipun dibuka peluang untuk mengembangkan dalam hal-hal yang kita kenal sebagai muatan lokal, tidak urung kesan yang menonjol adalah sentralisme yang melahirkan infeksibilitas dan ketertinggalan.
Sentralisme ini pada gilirannya membuka inti pada kekuatan-kekuatan ekonomi untuk masuk dan menjadikan pendidikan sekolah sebagai lahan bisnis yang empuk. Akibatnya, selain membuatnya mahal secara tidak masuk akal, banyak segi dari proses pendidikan-pengajaran terkesan seperti berjalan lebih untuk mengikuti hukum-hukum bisnis dari pada prinsip pedagogis dan psikologis yang semestinya.
Pada tingkat personal pendidikan, kita semua sempat terkesima oleh rentetan berita dari berbagai pelosok tanah air tentang aneka tindak kekerasan, yang dilakukan oleh sejumlah guru terhadap murid-muridnya. Yang jelas-jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, timbul kesan cukup kuat bahwa pendidikan sekolah kita tidak berdaya dan berjalan mengikuti kekuatan-kekuatan yang tidak sejalan dengan hakikat yang sebenarnya.
Ketegangan antara berbagai kepentingan mempersoalkan bahwa mau dibawa kemanakah sekolah kita? Itulah pertanyaan yang biasanya dilontarkan oleh masyarakat kita namun tampaknya kerisauan semacam ini bukanlah suatu yang baru.
Dilihat secara makro, isu tentang tujuan pendidikan sekolah pada dasarnya berkisar pada tiga macam ketegangan sebagai berikut:
- Pendidikan untuk sosial atau transformasi sosial
- Pendidikan untuk membina kehidupan bersama atau untuk mendorong perkembangan individu secara optimal
- Pendidikan untuk meningkatkan berbagai kemampuan mental
Pendidikan sekolah memang berwajah konservatif, artinya pendidikan sekolah bertujuan mempertahankan dan melestarikan tradisi berbudaya masyarakat. Oleh karena itu, sosial survival yang dipertahankan status quo lewat trasmisi oleh generasi yang lebih tua, yakni para pendidik, kepada generasi yang lebih muda menjadi tujuan pendidikan bukan saja bagi masyarakat semacam itu.
Kebinekaan sebagai tujuan pendidikan tidak dapat ditoleransi.
Dalam masyarakat negara Kota Sparta, misalnya seluruh aktivitas pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan dalam diri peserta didik sikap hormat dan taat pada atasan, patriotisme dan loyalitas kepada negara. Semua ini penting sebab sebagai bangsa yang suka berperang mereka harus selalu siap siaga mempertahankan diri dari serangan bangsa lain yang menjadi musuh mereka.
Di sini timbul persoalan menyangkut siapa yang harus menjadi fokus dalam hubungan antara pendidikan sekolah dan negara. Sejak zaman Yunani dan Romawi terjadi ketegangan antara supremasi individu negara dalam pendidikan sekolah di Romawi, juga dibedakan bahwa secara tegas diakui bahwa individu berbeda dari negara. Oleh karena itu, kedua tempat: supremasi individu dibandingkan negara dalam pendidikan sekolah mendapatkan pengakuan yang cukup kuat.
Seorang pemikir dan pendidikan Prancis Condorect (1734-1794) dengan mengeluarkan pendapatnya yaitu tujuan pendidikan oleh negara adalah mengajak kepada setiap individu cara-cara untuk memenuhi kebutuhan mereka, menjamin kesejahteraan mereka, memenuhi kebutuhan mereka. Negara harus bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan bagi warganya, antara lain dengan menetapkan tujuan-tujuan dan menyediakan sarananya.
Tugas utama pendidikan adalah membentuk seorang warga negara, bukan hanya individu tetapi seorang anak lebih merupakan milik negara daripada milik kedua orang tuanya. Fungsi utama negara adalah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah menyiapkan warga negara dan membekalinya dengan aneka kemampuan yang berguna untuk mengabdi negara.
Fenomena tersebut dalam kadar tertentu dan yang berlainan dari masa ke masa, biasanya kita simak dalam sejarah pendidikan nasional kita. Beberapa pengamat, baik dari luar maupun dari dalam, menilai bahwa di negeri kita ini pada umumnya negara kurang memperhatikan kepentingan masyarakat dalam menentukan suatu kebijakan pembentukan aneka kebijakan kurang didasari pada berbagai kebutuhan nyata yang ada di masyarakat.
Kekuasaan terpusat pada negara, yakni di tangan elite birokrasi militer dan sipil sedangkan kesempatan bagi warga negara untuk berperan dalam perumusan kebijakan adalah kecil. Melalui apa yang disebut strategi korporatis negara.
Negara menguasai berbagai pranata dalam masyarakat, termasuk pendidikan. Pendidikan sekolah praktis menjadi instrumen belaka untuk mewujudkan tujuan dari kepentingan individu warga negara lewat berbagai mata pelajaran, lebih-lebih rumpun mata pelajaran.
Sejarah dan kewarganegaraan yang disusun menurut perspektif, pemerintah yang berkuasa, pendidikan sekolah dimanfaatkan untuk menanamkan kehendak negara dalam individu.
Citra atau kesan subordinasi individu terhadap kepentingan negara.
Manfaat dari proses pendidikan sekolah sebagai sarana mencari keuntungan pribadi, oleh oknum-oknum dalam jajaran elite birokrasi negara pendidikan sekolah cenderung kehilangan fungsi normatifnya yakni keuntungan peranan sebagai lembaga pendidikan nilai-nilai kemanusiaan dan pembentukan karakter peserta didik. Berdasarkan kebajikan-kebajikan serta prinsip-prinsip universal, dan cenderung berperan sebagai lembaga pelatihan yang dengan kebutuhan pembangunan dan tuntutan dasar kerja belaka.
Penerapan pola penyelesaian masalah lewat kekerasan marak di kalangan guru.
Gejala itu barangkali muncul dari perasaan frustasi, antara lain karena merosotnya martabat para guru di hadapan orang tua murid. Akibatnya tereduksinya peran mereka dari pendidikan menjadi sekadar pelaksana aneka target dan intruksi. Kecenderungan subordinasi individu dan institusi pendidikan sekolah di bawah kepentingan negara yang berlangsung pada era pembangunan.
Pendidikan sekolah harus memainkan perannya yang lebih sejati, yakni sebagai sarana regenerasi sosial, pandangan semacam ini sesungguhnya sudah mulai dilontarkan oleh karena itu misi pendidikan sekolah secara progresif membantu mewujudkan bentuk masyarakat yang dicita-citakan.
Pendidikan sekolah harus memimpin upaya menciptakan dunia yang lebih baik. Tugas pokoknya adalah merefleksikan jalan-jalan alternatif menuju kehidupan bersama yang lebih baik lagi, untuk itu tentu saja pendidikan sekolah harus membebaskan diri dari aneka bentuk potensi individu demi transformasi masyarakat.
Peran progresif-transformatif ini barangkali memang lebih sulit menggerakkan diri dari keharusan nya memenuhi tuntunan masyarakat pada zamannya. Isu kedua tentang tujuan pendidikan sekolah adalah ketegangan antara pendidikan untuk membina kehidupan bersama dan pendidikan untuk mendorong pertumbuhan pribadi sang individu seoptimal mungkin, maksudnya ada masa pendidikan patriotik peserta didik dibina agar loyalitas kepada negara dalam arti geografis.
Dalam pendidikan nasionalitik, peserta didik dibina untuk merasa bangga pada sumber identitas yang lebih luas dari sekadar geografis, misalnya sejarah, kebudayaan agama, bahasa atau warisan tradisi lain dari bangsa lain.
Pendidikan bagi pembentukan warga negara juga harus bersifat membebaskan dan memerdekakan. Sifat liberal atau memerdekakan ini diwujudkan dalam bentuk pengutamaan pengolahan intelektual di atas yang merupakan kekhususan pendidikan yang individualistik, dalam arti mengutamakan pemekaran pribadi individu itu, juga dianjurkan oleh sejumlah pendidikan pada masa yang akan datang nanti misalnya pada pranata sosial lainnya, pendidikan harus diselesaikan dengan tujuan bagi pemekaran aneka naluri dan dorongan bawaan individu.
Isu ketiga dengan tujuan pendidikan menyangkut isu atau materinya. Dari awalnya pendidikan sekolah atau pendidikan formal memang tidak terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Kata sekolah sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu scola yang berarti waktu senggang artinya pendidikan sekolah merupakan aktivitas di luar kesibukan sehari-hari untuk mempelajari kebudayaan. Pengajaran tentang metode mendapatkan pengetahuan versus pengajaran isi aneka mata pelajaran menurut pandangan yang pertama, pendidikan sekolah harus mengutamakan pemekaran berbagai keterampilan bertaraf tinggi.
Misalnya pemikiran secara kritis, pemecahan masalah, serta pemahaman yang mendalam. Sebagai institusi penyelenggaraan pendidikan, sekolah harus mampu mengembangkan kemampuan berfikir melakukan berbagai hal dengan benar. Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah hubungan antara pendidikan sekolah dan negara. Dalam hal ini tampaknya adanya perbedaan kepentingan yang sulit dipecahkan.
Dalam pengertian modern sekarang negara diartikan sebagai pemerintah, birokrasi dan aneka instrumen. Lain dari masyarakat yang dikenal sebagai aparat dan yang bersama-sama merupakan aktor tunggal paling penting dalam kehidupan ekonomi kemasyarakatan, dan politik suatu bangsa.
Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh pendidik untuk memperdayakan kembali pendidikan sekolah. Pertama menyangkut tujuan pendidikan, para pendidik untuk melestarikan segi-segi tertentu. Budaya yang memang penting untuk dipertahankan dan untuk menumbuhkan nilai, sikap, kebiasaan baru, yang sesuai dengan tuntutan zaman. Keseimbangan juga perlu ditemukan antara tujuan pendidikan untuk menumbuhkan, ketaatan demi kebersamaan.
Lebih lanjut keseimbangan perlu diusahakan antara tujuan pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan praktis demi kepentingan jangka dekat. Di sini istilah subversif tidak diartikan dalam konotasi politis yang berarti makar terhadap pemerintah yang sah, melainkan peran sebagai sarana utama untuk menumbuhkan dalam diri generasi muda sikap dan keterampilan untuk krisis terhadap keadaan sosial, politik dan kultur masyarakat.
Peran itu dapat dilakukan dengan beberapa cara-cara pertama ialah melalui apa yang ditemukan oleh David Reisman, yaitu sekolah berusaha menekan nilai-nilai terutama yang kurang diperhatikan oleh keluarga atau pranata sosial.
Cara kedua ialah mengikuti saran Hobert Wiener dengan berusaha menghasilkan lulusan yang jeli dan terampil untuk mengenali perubahan pola, terhadap aneka problem yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut serta mempunyai motivasi dan keberanian untuk mengutarakan tanda bahaya.
Cara ketiga, melalui apa yang ditemukan oleh Kenneth Boulding disebut “social selfconscious less” atau kesadaran diri sosial, yakni secara sendiri maupun bersama para pendidikan senantiasa mengembangkan kemampuan untuk menyadari diri sebagai bagian dari kebudayaan sekaligus berada di luarnya.
Ini sebuah bagian dari kebudayaannya. Ini sebuah fungsi yang oleh Ignas Kledon: kemampuan untuk secara dialektis menciptakan atau membangun persambungan dan pemutusan dengan lingkungan hidup. Itulah tugas panggilan serta tanggung jawab sekolah dan kita semua.