Di balik dekap, peluk, cium dan air mata Esau dan Yakub – Satu refleksi atas Keluaran 33:1-20
Oleh P. Kons Beo, SVD
Sesungguhnya tak cuma jarak fisik melebar dan menjauh yang tercipta. Esau dan Yakub, kakak beradik kandung itu, juga menjauh secara batiniah. Sakit hati Esau sebagai yang sulung tak terobati. Dendam membara berkobar di jiwanya.
”Hari-hari berkabung karena kematian ayah itu tidak akan lama lagi; pada waktu itulah Yakub, adikku, akan kubunuh” (Kej 27:41). Begitulah niat hati gulita Esau terhadap Yakub, adiknya.
Ini semua gara-gara hak kesulungannya itu telah direbut secara licik. Yakub adiknya, yang dibantu oleh Ribka, sang ibu, telah memperdayai Ishak, sang ayah, untuk akhirnya mendapatkan berkat satu-satunya itu (Kel 27:27-30).
Segalanya telah sirna. Tiada apa pun bagi Esau selain kelak ia akan menjadi hamba dari Yakub (Kel 27:40). Esau sungguh memberontak. Kata Alkitab, “Dan dengan keras menangislah Esau” (Kel 27:38). Ia sungguh merasa sakit hati dan benci.
Kakak beradik itu pun berpisah. Terlahir dari rahim dari yang satu dan sama, toh berdua harus berpisah dengan kisah nan pahit. Mencari jalan hidup masing-masing. Jauh dari sikap kepedulian satu terhadap yang lain.
Bayangkan saja betapa penuh pertarungannya Yakub di tanah asing Mesopotamia. Menjadi orang di Padan-Aram. Ia harus tinggalkan suasana kasih sayang at home dan dari Ribka, sang ibu yang lebih mencintainya. Bayangkan pula betapa hari-hari hidup Esau yang penuh amarah dan dendam itu. Dengan beban-beban penuh sesal dan putus asa terhadap adiknya, Yakub.
Tetapi, apakah tak ada harapan sedikit pun untuk ‘bersua kembali adik kakak’ antar keduanya? Benar kah tak akan ada takdir jumpa rekonsiliatif antar keduanya? Bahwa keduanya akan jauh dan terus saling menjauh sampai pada hari ketiadaan?
Cermatilah Alkitab! Akhirnya, terjadilah kisah perjumpaan kembali kakak beradik itu. Mengharukan. Berbau melankolik teramat sangat. Ya, sungguh menyentuh rasa.
Yakub harus pulang. Ia mesti kembali menjumpai saudara sulungnya, Esau. Iya, Yakub mesti mendekati ‘dia yang terlahir lebih dahulu darinya, dari rahim yang satu dan sama.’ Pulang kembali ke pangkuan sang Kakak adalah tanda kebesaran jiwa untuk kembali diterima dan tak boleh lagi ada kata pisah. Dan reaksi Esau?
Kita perlulah ikuti kisah Alkitab. Iring-iringan Yakub menuju Esau berjumlah empat ratus orang. Dan dilukiskan:
“Dan ia (Yakub) sendiri berjalan di depan mereka. Ia sujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga ia sampai ke dekat kakaknya itu.
Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciuminya dia, lalu bertangis-tangislah mereka” (Kel 33:3-4).
Api kebencian panas membara telah padam! Yang kini hadir adalah aliran air sejuk segar pengampunan. Simpan marah dan dendam Esau telah padam untuk sanggup memandang adiknya pulang.
Yang sungguh berkuasa kini adalah KASIH. Aura kasih selalu dapat mengubah dan memeterai ‘yang lama, silam dan usang’ menjadi ‘baru.’ Yakub berani pulang, dan Esau mulia di hati untuk menyambutnya. Tiada apapun lagi yang sanggup memisahkan keduanya.
Hari-hari silam itu tak diandaikan pun disesali penuh pilu lagi. Yang terjadi itu, berkat Ishak sang ayah, telah jadi satu kenyataan! Itulah kisah silam yang kini diterima Esau sebagai cerita hidup bukan miliknya. Tak ada yang perlu ditangisi lagi.
Kasak-kusuk hidup kakak-adik banyak pernak-perniknya. Senggol sana-sini tak terhindarkan. Ya, itulah warna-warna hidup bersama sebagai saudara. Dalam satu keluarga besar.
Adakalanya kita bisa merasa asing pun diasingkan. Tetapi terkadang pula kita sendirilah yang mengasingkan diri dari kehangatan kebersamaan. Tinggal saja kita berani hati untuk kembali.
Oh ya, masih ada hal indah dan mulia lainnya di kisah Esau dan Yakub berbaikan. Istri-istri Yakub, yakni Lea dan Rahel, dan dua hamba perempuan, yang juga lahirkan anak-anak bagi Yakub, ya ipar-ipar Esau itu, sekian gembira hati bersama Yakub untuk kembali. Bahkan dengan semua anak-anak mereka.
Para istri (ipar-ipar) ini miliki kekuatan hati pula untuk muluskan jalan perdamaian antara kakak-beradik, Esau dan Yakub. Mulia hati mereka untuk tidak menambah rumit dan membuat jauh jarak antara kakak-adik itu. Bayangkan, andaikan Lea dan Rahel bersikeras untuk tak taat suami untuk kembali ke Esau? Dan hal lain lagi, lihatlah betapa Yakub rela berbagi kepada Esau, kakaknya, apa yang telah menjadi rejekinya. Ya, itulah maklumat nyata hidup kakak beradik untuk saling membantu dan berbagi.
Dan kini dalam tatanan kekeluargaan secara nasional? Keberagaman itulah fakta tak kita terbantahkan. Kita terpanggil untuk merawatnya dalam sikap saling menghormati. Selalu ada kemauan baik untuk mencapai dan punya tempat bagi yang lain, yang berbeda.
Pemaksaan kehendak sendiri yang disumpeki oleh asap fanatisme sempit selalu membahayakan. Di bidang keagamaan, fanatisme sempit bisa terkikis oleh kesadaran bahwa siapapun tak cuma terhubung pada agama tertentu (religio). Tetapi bahwa dalam regio itu, orang menjadi semakin religius sikapnya bersama dan terhadap yang tak seiman.
Akhirnya, di jelang HUT RI ke 76, 17 Agustus 2021 ini, segenap kita berani pulang dan kembali berkumpul pada rahim seluruh tumpah darah, tanah air Indonesia.
Kita sudah dijajah, tak lagi oleh bangsa asing, tetapi oleh narasi-narasi sarat kebencian internal. Semuanya bisa menjadi bom waktu yang siap mengancam perpecahan. Partai-partai politik sekian panik oleh desakan kepentingan. Merindukan berkat berupa kekuasaan yang mesti digenggam.
“Mungkin kah suatu yang baik datang dari Presiden Jokowi?” Untuk jawaban ‘ya’ rupanya sulit ditemukan dari dalam hati dan pikiran orang-orang seperti Refly Harun, Fadli Zon, Said Didu, Rocky Gerung dan apalagi si Rizal Ramli.
Tetapi selalu ada harapan untuk kembali ke dalam kekariban nasional. Kebencian, rasa tak suka dan dendam itu mesti segeralah berlalu.
Verbo Dei Amorem Spiranti