Komersialisasi pendidikan merupakan suatu keadaan atau situasi di dunia pendidikan yang lebih mengutamakan paradigma pendidikan dalam hal ekonomis (profitable) sehingga pengukuran keberhasilan pendidikan dalam proses humanisasi tidak tercapai. Akibatnya individu yang berasal dari kelas sosial rendah tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh akses pendidikan yang layak dan berkualitas seperti individu yang yang berasal dari kelas sosial atas.
Oleh Umbu Tagela, Pengajar di FKIP UKSW Salatiga
Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan terhadap lembaga pendidikan yang semata-mata sebagai lembaga sosial penyedia peluang pendidikan bagi masyarakat mulai mengalami pergeseran makna secara substansial terutama bagi lembaga pendidikan swasta. Penyebab pergeseran itu disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
(1) Maraknya lembaga pendidikan swasta yang tumbuh bagai jamur di musim hujan, di samping makin besarnya volume kebutuhan dakhil, menyebabkan makin menurunnya kekuatan sumber dana dari (lembaga keagamaan dan filantropis domestik dan internasional, yang selama ini menjadi tulang punggung atau penyandang dana operasional).
(2) Perkembangan ekonomi domestik dan global meningkatkan tuntutannya pada penyelenggaraan pendidikan yang selama ini berkutat hanya pada aras kompetensi, yang semakin tinggi dan professional (misalnya penerapan konsep kurikulum berbasis kompetensi), untuk memberi perhatian pada mobilitas pengetahuan dan keterampilan yang semakin deras melewati batas-batas negara, bahkan menjurus kearah maya (virtual).
(3) Meningkatnya tuntutan kebutuhan dalam bidang pendidikan: di mana tuntutan itu hanya bisa diperoleh dengan uang, menyebabkan pihak penyelenggara dan pelaksana pendidikan mesti memperhitungkan secara cermat aspek penerimaan dan pengeluaran.
Fenomena empirik di atas, makin menguatkan cara pandang terhadap lembaga pendidikan sebagai lembaga yang semakin bersifat ekonomi. Ihalauw mengatakan lembaga pendidikan merupakan “knowledge industry atau “service industry”. Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah lembaga pendidikan harus bersaing berdasarkan nilai tambah yakni kualitas.
De facto, fenomena-fenomena tersebut di atas telah menghablur (kristal) dalam upaya lembaga pendidikan meningkatkan kinerjanya. Tetapi de jure belum ada pengakuan eksplisit terhadap lembaga pendidikan sebagai lembaga ekonomi. Pada hal fakta menunjukkan lembaga pendidikan sebagai knowledge industry atau service industry telah berlangsung lama, seperti kewajiban membayar pajak badan, pajak penghasilan, keikutsertaan dalam Jamsostek, membayar pajak bagi setiap tenaga asing yang dipekerjakan, dan penetapan standar akreditasi profesi.
Hal yang pasti adalah bahwa pemerintah dalam berbagai kebijakannya langsung atau tidak telah memeterai lembaga pendidikan sebagai lembaga ekonomi. Salah satu kebijakan pemerintah yang mengarah kepada pemaknaan lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga ekonomi adalah kebijakan otonomi perguruan tinggi (PT). Persoalan yang kemudian muncul secara simultan adalah para penyelenggara dan pelaksana lembaga pendidikan terutama yang berlabel swasta kurang memiliki keberanian moral untuk memanage lembaga pendidikan sebagai lembaga ekonomi, walaupun kenyataannya menjurus ke arah itu.
Diduga salah satu faktor penyebab adalah para penyelenggara dan pelaksana pendidikan tidak mau terjebak pada dimensi kemampulabaan (profitable) sebagai salah satu karakteristik utama lembaga ekonomi. Pada sisi inilah penyelenggara dan pelaksana menerapkan pola manajemen yang berdimensi ganda yang selalu mengundang reaksi dan kritikan terutama dari kalangan dakhil (intern). Mestinya para penyelenggara dan pelaksana menyusun formulasi baru yang lebih akomodatif terhadap konsep lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial dan lembaga pendidikan sebagai knowledge industry atau service industry, sehingga semua pihak yang terlibat dan melibatkan diri di dalamnya dapat segera menyesuaikan diri.
Pandangan yang dikemukakan Ihalauw merupakan pandangan yang realistis, tanpa bermaksud mencederai kandungan nilai yang telah menghablur pada keberadaan lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial. Dalam tautan makna yang sama dikatakan bahwa lembaga pendidikan pada dirinya sendiri adalah suatu integrated service system.
Pandangan ini mendeskripsikan bahwa integrated service system berintikan lembaga sekolah, karena sekolahlah yang diakreditasi pada dimensi mutu, kepenadahan, kesangkilan yang meliputi komponen masukan, proses, keluaran dan indikator pasar pasokan yaitu siswa baru yang sangat berpengaruh terhadap posisi keuangan sekolah secara keseluruhan. Karena itu semua unsur dalam lembaga pendidikan mesti proaktif untuk dapat meluncurkan kepada customer utama layanan yang berkualitas dan senantiasa meningkat dari waktu ke waktu.
Baca juga:
Humanisme dan Implikasinya dalam Pendidikan
Konsep Dasar Profesi Tenaga Kependidikan Kristen
Proses pembangunan pendidikan membawa perubahan-perubahan dengan berbagai dimensi permasalahan, peluang dan ancaman. Karena itu perubahan bukan untuk perubahan itu sendiri, sebab dapat membawa malapetaka atau menjebak manusia pada suatu kehidupan materialistik. Pada sisi inilah dibutuhkan visi dan misi sebagai pemandu aktivitas civitas academica. Di samping dasar atau landasan pijak berdirinya suatu lembaga pendidikan.
Penerapan prinsip-prinsip ekonomi dalam pengelolaan suatu lembaga pendidikan saat ini adalah merupakan suatu keharusan dan merupakan hal yang wajar. Tetapi keharusan dan kewajaran dimaksud mesti diletakkan pada bingkai atau roh berdirinya lembaga pendidikan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali arti penting dari “integrity of creation” yang bernuansa keadilan, perdamaian dan kebersamaan baik pada tataran dakhil maupun eksternal, agar sistem yang dibangun tidak mengalami entropi.
Dalam tautan makna seperti itulah saya mengajak pembaca untuk memahami tentang konsep komersialisasi pendidikan yang berkonotasi membisniskan pendidikan. Kata komersial atau commercialize berarti memperdagangkan. Seperti dikemukakan oleh Milton Friedman dan Frederik Van Hayek bahwa “komersialisasi pendidikan merupakan keadaan pendidikan yang berpegang pada masyarakat industri dan selera pasar (market society).” Seperti juga dikatakan oleh Habibie, bahwa “komersialisasi pendidikan telah mengantarkan pendidikan sebagai instrumen untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat.” Adanya komersialisasi pendidikan telah menggambarkan keadaan pendidikan saat ini bahwa pendidikan lebih mengarah kepada praktik pendidikan layaknya lembaga penghasil mesin yang siap mem-supply pasar industri dan diukur secara ekonomis.
Komersialisasi pendidikan telah mengubah institusi pendidikan yang berbasis kesangkilan dan kemangkusan ekonomis menjadi perusahaan penyedia elite masyarakat dan kuli kerja. Akibat komersialisasi pendidikan inilah, banyak lembaga pendidikan yang kemudian menganut paradigma pendidikan yang bersifat ekonomis, walau secara eksplisit kurang diakui. Banyak lembaga pendidikan yang akhirnya gagal mengaplikasikan bahwa proses pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam memanusiakan manusia.
Baca juga:
Perlu Dicegah Dosen Sebagai Calo Ilmu Pengetahuan
Membangun Inovasi dan “Agile Mindset” di NTT
Peta Jalan Pendidikan di Nusa Tenggara Timur
Komersialisasi pendidikan secara tidak langsung juga telah menciptakan jurang pemisah antara pihak yang mempunyai modal dan pihak yang mempunyai sedikit modal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ivan lllich bahwa komersialisasi pendidikan dianggap sebagai misi lembaga pendidikan modern mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Akibatnya pendidikan yang humanis tidak tercapai dalam proses pendidikan karena adanya komersialisasi pendidikan.
Komersialisasi pendidikan merupakan suatu keadaan atau situasi di dunia pendidikan yang lebih mengutamakan paradigma pendidikan dalam hal ekonomis (profitable) sehingga pengukuran keberhasilan pendidikan dalam proses humanisasi tidak tercapai. Akibatnya individu yang berasal dari kelas sosial rendah tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh akses pendidikan yang layak dan berkualitas seperti individu yang yang berasal dari kelas sosial atas.
Komersialisasi pendidikan yang mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang kuliah dan uang-uang sejenis lainnya, namun mengabaikan kewajiban-kewajiban substantif dari pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasa dilakukan oleh lembaga pendidikan yang menjanjikan pelayanan pendidikan maksimal, tetapi tidak paralel dengan uang yang diminta. Laba atau selisih anggaran yang diperoleh oleh lembaga pendidikan atau sekolah tersebut biasanya tidak ditanam kembali ke dalam infrastruktur pendidikan, tetapi dipergunakan untuk memperkaya atau menghidupi pihak-pihak yang tidak secara langsung bekerja menyajikan pelayanan di lembaga tersebut.
Penyebab terjadinya komersialisasi pendidikan yaitu: (1) Swastanisasi pendidikan sebagai bagian dari liberalisme yang semakin mengglobal dan menyentuh berbagai bidang pendidikan. (2) Pemerintah kurang atau tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai sektor pendidikan.
(3) Pemerintah tidak mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik dengan baik. Sehingga lembaga pendidikan menjadi tidak efisien (mahal dan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan), tidak kompetitif (tidak termotivasi untuk bersaing meningkatkan mutu) dan tidak berkembang sebab swastanisasi merupakan cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan. (4) Lembaga pendidikan kurang memiliki kreativitas dan inovasi dalam melakukan “fund raising”, sehingga hanya mengandalkan siswa dan orangtua sebagai target utama perolehan dana.
Era globalisasi saat ini telah mengancam kemurnian dalam pendidikan sebagai contoh banyaknya sekolah yang didirikan dengan tujuan sebagai media bisnis. Selain itu, munculnya sekolah-sekolah swasta elite yang bersaing menawarkan terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan juga tidak jauh berbeda dalam memungut biaya pendidikan yang tinggi. Sehingga banyak yang menawarkan terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan dengan imbalan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Ideologi kapitalisme menjadi sumber ketimpangan sehingga terdapat pandangan bahwa orang yang berkualitas adalah orang yang memiliki banyak kelimpahan material.
Pendidikan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mempunyai peran penting dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia untuk mencapai kecakapan hidup serta media sosialisasi dalam masyarakat. Namun, peran pendidikan juga mempunyai keterkaitan dengan masalah ekonomi bahkan menjadi faktor yang tidak dapat ditinggalkan dalam proses tercapainya pendidikan yang berkualitas.
Sehingga maraknya komersialisasi pendidikan di era globalisasi saat ini juga menimbulkan berbagai opini pro dan kontra yang dilontarkan oleh masyarakat melalui tulisan-tulisan di media massa yang merupakan suatu fenomena yang begitu memprihatinkan pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan nasional dalam praktiknya masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan kecenderungan dunia pendidikan saat ini yang banyak terjebak ke arah komersialisasi bahwa pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Baca juga:
Tahun 2023 Menjanjikan atau Mencemaskan
Tantangan Dosen di Perguruan Tinggi
Kondisi objektif seperti ini merupakan hubungan produksi kelas dominan yang cenderung mempunyai kesempatan untuk menguasai alat produksi dan melanggengkan kekuasaan penindasan. Hal ini jelas adanya bahwa lembaga atau sekolah-sekolah tersebut sebagai penguasa (kelas kapitalis) yang kemudian akan mengambil tenaga buruh demi kepentingannya yang tidak lain adalah masyarakat yang menyekolahkan anak bagi yang kurang mampu.
Fenomena dan fakta pendidikan di atas merupakan suatu masalah yang lambat laun secara politik bakal menumbuh kembangkan culture capitalism maupun ideologi neoliberalisme di lembaga pendidikan khususnya di Indonesia dengan modus klasik “komersialisasi pendidikan”. Sehingga berakibat pada menurunnya mutu pendidikan nasional serta merusak budaya bangsa tanpa menghiraukan nilai-nilai moral bahkan dari segi sosial pendidikan mahal tidak mengangkat strata sosial masyarakat yang kurang mampu.
Monopoli terhadap alat-alat produksi, tenaga produksi (productive force) berupa sumber-sumber material yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebab terjadinya eksploitasi msyarakat oleh pihak yang menguasai. Pendidikan menjadi hal yang eksklusif dan jauh dari masyarakat umum bahkan hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu (elite penguasa). Kemudian berkembang lagi bahwa pendidikan mulai bergeser perannya bukan untuk memperoleh pengetahuan, tetapi menjadi sarana untuk menyebarkan hegemoni kekuasaan agar penindasan yang dilakukan menjadi hal yang biasa tanpa perlawanan.
Hubungan sosial dibangun untuk mematenkan tatanan bahwa sedikit orang yang berkuasa sedangkan kebanyakan orang mengalami kemiskinan. Dalam kondisi masyarakat inilah kemudian pendidikan dijadikan cara untuk mendukung masyarakat berkelas tersebut. Kondisi ini sepertinya memproklamirkan kemerdekaan kapitalisme bahwa kapitalisme saat ini telah menghegemoni dunia pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari proses komersialisasi pendidikan Indonesia yang dipahami dalam dua pengertian. (1) Pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat. (2) Sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis.