Firman itu telah menjadi manusia, Yoh 1:14.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Perhatikanlah tutur lisanmu! Itu nasihat klasik. Sudah mentradisi. Disuarakan dari waktu ke waktu. Sebab, tutur kata itu punya variasi implikasinya. Ia berpengaruh luas dalam peradaban manusia. Punya konsekuensi psikologis pula. Ini dipastikan saat tutur bahasa itu terkonek pada dunia rasa. Berimbas lanjut pada tindakan.
Sekian banyak orang jadi pemenang dalam hidup. Berhasil dalam cita-cita. Tak hanya itu. Bahkan terdapat sekian banyak orang yang nyaris senyap dalam hidup didera keputusasaan. Namun akhirnya dapat tiba pada alam hidup penuh harapan.
Terdapat rentetan ‘kata dan suara yang bermakna’. Yang jadi sumber lokomotif gerbong-gerbong hasrat dan semangat untuk maju, bergerak dan hidup. Penuh harapan!
Sebaliknya, tidakkah ada sekian banyak orang yang terkolonisasi akibat peristiwa berbahasa yang tak sejuk? Di situ, harapan tercemar. Semangat jadi memudar. Optimisme jadi kabur. Gairah hidup segera melempem. Batin manusia terpolusi oleh asap semburan kata-kata pengap.
Apa yang patut bahkan mesti direnungkan? “Sprache ist das Haus des Seins,” kata Heidegger. Rumah bagi (apa saja) yang ada, itulah bahasa. “Di dalam rumah itu,” tulis G Mohamad, “Ruang tempat manusia tinggal, benda dan barang-barang terhimpun dan diberi label, hingga dikenali.”
Bisa ditafsir lanjut. Ketika ‘bahasa’ itu adalah ‘rumah’ maka ia isyaratkan suasana di mana batin dan hati berada dalam kedamaian. Di situlah kesejukan dirasakan. Maka rumah mesti jadi identitas pertama dari kisah berbahasa. Ketika kata-kata mulai dikenal, ditangkap dan diucapkan.
Jelas pula bahwa ‘kisah berbahasa adalah dinamika manusiawi’. Sebab, di situ setiap individu ungkapkan dirinya sebagai manusia. Pun serentak pada saat yang sama, ia menggapai yang lain sebagai ‘manusia’. Iya, sebagai panggilan untuk bersikap ‘manusiawi terhadap siapa pun sesama.
Dalam spirit kristiani, Yesus Kristus yang datang ke dunia, tak hanya ditangkap sebagai pribadi ilahi yang hadir untuk ‘menebus dosa-dosa manusia’. Tak hanya dipahami seperti itu. Yesus adalah “Kata-Firman-Logos ilahi sempurna yang menyata dalam pribadi Yesus”.
Sebab itulah, injil tidak secara sederhana ditangkap sebagai kata-kata biasa, tindakan-tindakan biasa. Tetapi bahwa semuanya terinkarnasi dalam “pribadi Yesus. Firman yang telah menjelma menjadi manusia”. Dan terlebih bahwa “Ia tinggal di tengah-tengah kita”.
Itulah sebabnya, selama berabad-abad lamanya Israel menantikan kedatangan seorang penyelamat. Kedatangan pribadi ilahi ‘yang berbahasa’.
Kitab suci tidaklah diturunkan satu demi satu dari langit, untuk dipahami manusia. Tetapi, bahwa ‘kisah keselamatan itu, kisah sapaan teduh Allah kepada manusia nyata dalam -firman yang telah menjadi manusia, dalam diri yesus sendiri-‘.
“Tetapi kedatangan Tuhan bukan sekadar kelahiran seorang anak, melainkan datangnya sabda. Katakanlah kedatangan suatu bahasa,“ itulah keyakinan Radcliffe (2005).
Manusia menjadi tercemar oleh kata-kata yang merusakkan. Yang menjadikannya jauh dari Allah, terasa asing dari sesama, dan menjadikannya merana dalam lingkungan di mana ia tinggal.
Namun, bahasa yang dipermaklumkan demi citra hidup manusia yang elegan, telah jadi terkikis oleh delinguisasi. Proses berbahasa yang berawal sejuk dan damai, mulai rentan oleh deraan berbagai kepentingan manusiawi egosentrik dan oligarkis yang menjepit.
Di sini, bahasa sapaan telah ubah jadi bahasa hardikan! Kata-kata afektif familier telah terpolusi jadi kata-kata opresif-teroristik. Kata-kata yang terangkai dalam warna kesatuan dan persatuan jadi terobok-obok dalam format dan isi fragmentaris, yang meretakkan dan memecahbelahkan.
Kiranya terdapat dua peristiwa suram dalam kisah berbahasa yang sungguh mencemaskan. Itu terjadi ketika kisah berbahasa sungguh diracuni oleh virus penyesatan.
Tradisi bertutur gagal untuk mengusung nilai demi manusia dan kemanusiaan. Tetapi, adalah narasi-narasi sesatlah yang tetap dipompa. Penyesatan adalah kisah yang membuat sesama tak berdaya. Untuk sungguh tak sanggup melihat apa yang ‘seharusnya dan selurusnya’.
Kisah suram berbahasa pun muncul dalam alur pembohongan yang deras mengalir. Si bijak sungguh ingatkan, “Jika kita menabur kata-kata di sekeliling kita tanpa memperhatikan makna dan kebenarannya, secara harfiah kita dapat membunuh orang lain.” Dan memang, kepalsuan sungguh membunuh!
Sebab itu, Divine Word, firman ilahi, mesti menjadi antitesis sempurna dan tegas dari diabolic-satanic voice, dari suara-suara iblis yang menghancurkan dan membinasakan. Menjadi sahabat atau hamba ‘Sabda Ilahi yang Menjadi Manusia’ adalah satu kewibawaan atau panggilan untuk mempersekutukan dan memperdamaikan. Dan bukan mengenyahkan sesama.
Sekian banyak orang yang tersandung dan jatuh dalam nasib hidupnya. Inilah akibat dari kisah pembohongan dan ketidakbenaran yang ditiup oleh sesamanya.
Sedari awal mula manusia telah jatuh dalam noda akibat kisah pembohongan dari si ular yang cerdik di Taman Eden. Dan kisah-kisah seperti itu tentu masih akan tetap terjadi dalam peristiwa-peristiwa hidup manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tak ada perang yang lebih dahsyat selain perang berbahasa. Di situlah, peluru-peluru kata beracun dilesatkan. Lancar dan berulang-ulang dilontarkan dari senjata lidah.
Sebab, terkadang orang bisa saja ketagihan untuk terus saja melukai, menyerang, memfitnah, mempermalukan, serta menyudutkan sesamanya.
Atmosfer kebersamaan jadi keropos, iya itu tadi, sebab kata-kata atau kisah berbahasa kita serasa sulit untuk menyapa dan mempersekutukan (kembali).
Merayakan Hari Natal, tentu tidak hanya sebatas memperingati kelahiran seorang Anak Manusia – ilahi ke dunia. Natal adalah pula kisah KATA SEMPURNA yang membumi.
Yesus adalah ‘Pribadi yang BERKATA, yang BERSABDA, yang menyapa, yang mengutuhkan, yang membebaskan, yang mempersatukan, yang membawa kasih, damai dan pengampunan.’
Sebab itulah, mari kita siapkan ‘rumah diri kita’ dan ‘rumah berbahasa kita’ dalam semangat Natal. Untuk belajar santun, terhormat dan beretika dalam saling menyapa satu terhadap yang lain. Siapa pun sesama kita itu…
Verbo Dei Amorem Spiranti