Perempuan dalam Pilkada Nusa Tenggara Timur 

Pilkada NTT tanpa perempuan terasa hampa. Tidak ada peran ibu akan ada kesepian (Paus Fransiskus).

Oleh Dedy Dariston Bistolen, Alumnus S2 FH Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Puisi penyair Prancis, Brecht, sungguh inspiratif, terutama buat para pejuang perempuan.

“Ada orang yang berjuang sehari dan mereka orang baik

Ada orang yang berjuang setahun dan mereka lebih baik

Ada orang yang berjuang bertahun-tahun dan mereka lebih baik lagi

Tetapi ada orang yang berjuang sepanjang hidup mereka

Mereka adalah orang yang dibutuhkan”.

Demokrasi pada umumnya berbicara tentang kedaulatan rakyat. Dalam konteks elektoral semua orang berhak menjadi pemimpin  tidak terkecuali perempuan sesuai pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang mengatur tentang asas equality before the law. Juga diatur dalam  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang  Hak asasi Manusia Pasal 43 ayat 1 tentang Hak Memilih dan Dipilih. Merujuk aturan itu, maka perempuan NTT dapat memainkan peran penting dalam politik untuk berkontestasi di Pilkada Nusa Tenggara Timur.

Demokrasi di NTT telah hidup dan tumbuh dalam cengkaman stereotype budaya patriarki yang menganggap perempuan hanya sebatas ibu rumah tangga, merawat anak, mencuci, dan berbagai urusan dapur, bahkan perempuan dianggap belum mampu meraih cita-cita dalam kontestasi politik seperti disampaikan Chandra Mohanty (2007) yang mengatakan, demokrasi selalu diisi oleh laki-laki karena laki-laki dianggap paling kuat, dan lebih cerdas.

Pemimpin perempuan di NTT terhambat karena stereotype itu. Sementara itu, kasus perdagangan orang di NTT melibatkan paling banyak perempuan sesuai data International Migration report, 2017 yaitu sebanyak 185 orang. Perdagangan orang itu terdorong oleh tekanan kemiskinan.

Klik dan baca juga:  Natal dan Bahaya Adaptasi Hedonis

Selain itu, akses perempuan terhadap pendidikan juga kurang dibanding laki-laki.  Akibatnya perempuan (termasuk perempuan remaja) menjadi pekerja migran bahkan budak prostitusi atau menjadi kurir perdagangan narkoba. Hal ini terjadi karena institusi-institusi negara gagal merespon kebutuhan-kebutuhan perempuan. Bahkan, negara terlibat dalam kasus pelecehan peran perempuan dengan memproduksi regulasi yang tidak sensitif gender.

Kancah politik

Kini provinsi berjulukan ”Tertinggal, Terdepan dan Terluar” ini memasuki kancah politik. Pengalaman sebelumnya mengajarkan banyak perempuan telah terjun ke dalam kancah politik seperti Emilia Julia Nomleni, Ketua DPRD Provinsi NTT dan masih banyak yang lain.

Emilia Nomleni dikenal seorang militan. Kiprahnya memberikan inspirasi. Dia memberikan pernyataan refleksi ketika mempertanyakan apakah perempuan NTT masih berpikir seperti era Kartini? Dia juga mempertanyakan bagaimana peran perempuan dalam masyarakat? Dapatkah perempuan memberikan legacy yang baik untuk menjadi role model bagi generasi berikut sebagai women leader?

Pilkada NTT membutuhkan struktur kepemimpinan politik yang kuat karena kepemimpinan yang kuat dapat menentukan nasib rakyat NTT ke depan. Dalam proses mencari dan menemukan calon pemimpin dan kepemimpinan yang kuat, bijak cerdas dan agen perubahan, maka proses pemilihan umum adalah ajang untuk mencari dan menemukan pemimpin yang kuat dimaksud.

Pemimpin dapat mempengaruhi kebijakan publik dan mengalokasikan semua sumber daya bagi kepentingan masyarakat. Kepemimpan yang kuat juga mampu memahami keragaman budaya dan melakukan evaluasi sekaligus solusi terhadap problem sosial di NTT.

Keterlibatan perempuan dalam Pilkada di NTT merupakan usaha perempuan untuk memperoleh akses terhadap kuasa politik. Perjuangan kaum perempuan dalam rangka pemenangan kursi eksekutif diharapkan memberikan perubahan perspektif terhadap perempuan sekaligus mempertegas identitas perempuan sebagai subjek politik. Oleh sebab itu, sebagai subjek politik perempuan wajib terlibat dalam partisipasi politik melalui Pilkada.

Klik dan baca juga:  Berani Memeluk Diri yang Tak Indah

Politisi Jane Natalia Suryanto dalam konteks pemilihan gubernur NTT merepresentasikan kepentingan perjuangan kaum perempuan. Dia tampil sederhana, tetapi tangguh, punya karakter yang kuat, agak keras, tetapi setia dan berhati lembut. Dia menjadi buah gosip para mama dan kaum milenial dalam ruang publik bahkan media sosial. Kehadirannya di Pilkada NTT adalah representasi dialektika dinamika kehidupan sosial perempuan mulai dari rumah tangga hingga dunia pendidikan.

Jane bagi para mama adalah sosok ”AJAIB” yang menentukan proses pembangunan di NTT ketika pembangunan hanya didominasi laki-laki. Politik elektoral sepertinya tidak sempurna tanpa kehadiran perempuan. Maka kehadiran Jane menjadi refleksi penting bagi kaum perempuan NTT.

Jane dianggap sebagai sosok ibu yang melayani masyarakat dengan ketulusan hati, peduli, tangguh, dan penuh perhatian melalui program “Mama Bantu Mama”. Program ini adalah simbol perjuangan perempuan yang menentukan perubahan yang dimulai dengan kerja kolaboratif antara perempuan, khususnya bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dengan harapan terciptanya kesejahteraan dalam lingkup keluarga dan masyarakat.

Sasaran utamanya adalah kesejahteraan ibu dan anak yang dicapai melalui partisipasi bermakna perempuan (meaningful participations) atau hak untuk didengarkan, hak untuk dijelaskan, hak untuk dipertimbangan dari tingkat desa termasuk kewajiban pemerintah merespon kesejahteraan ibu dan anak.

Jane Suryanto dapat menjadi pusat utilitarian, yang memainkan peran penting dalam kehidupan (vide: Annaetal., 2000).  Kepemimpinan Jane berintergritas, memiliki kapasitas distribusi dan responsif terhadap masyarakat

Klik dan baca juga:  Menjelang Pemilihan Gubernur NTT, Paket SIAGA Hadapi Kampanye Hitam

Selain itu, Jane Suryanto memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni sebagai faktor kunci untuk mengatasi masalah di NTT. Kemampuan intelektual yang luas dapat merumuskan kebijakan yang baik bagi rakyat karena disadarinya mayoritas masyarakat berpengetahuan kurang dan keterampilan terbatas. Sulit membayangkan jika NTT dipimpin oleh orang bebal. Pemimpin bebal memproduksi kegelapan, karena kegelapan menambah masalah.

Jane Suryanto memiliki integritas. Ukurannya gampang. Sebagai calon wakil gubernur, Jane tidak pernah terdengar tercela apalagi beraroma korup. Dia jujur. Integritas adalah syarat penting untuk memastikan preferensi pemilih serta memperkuat legitimasi pemerintah yang merujuk pada prinsip-prinsip moral dan etika.

Kiranya syarat pemimpin perempuan NTT tidak dimulai dengan konsideransi tebal tipisnya isi saku. Isi saku mungkin penting, tetapi tidak yang utama apalagi keutamaan.  Isi saku hanyalah unsur supporting dalam tim sukses elektrokasi. Kemampuan berpikir Jane Suryanto merupakan sine qua non untuk konteks pilkada karena kualitas calon memastikan kesanggupan merumuskan dan memecahkan masalah rakyat dengan tepat.

Pilkada NTT tanpa perempuan terasa hampa. Tidak ada peran ibu akan ada kesepian (Paus Fransiskus). Dalam konteks pesta demokrasi, siapa saja  memiliki kebebasan untuk memilih. Tetapi, kita perlu orang cerdas. Selamat memilih.