Kebanyakan dosen-dosen kita di tanah air menganut ilmu pisang alias sekali berbuah mati.
Oleh Ben Senang Galus
Tidak sedikit perguruan tinggi (PT) kita di tanah air, sebagai toko kelontong. Bagaimana mungkin perguruan tinggi selevel toko kelontong, dosen-dosennya mereproduksi pengetahuan bertaraf internasional. PT kita tidak banyak memiliki keunggulan dalam mengajar dan penelitian. Jumlah tulisan dosen di media massa tidak banyak. Begitu pula, masih minimnya tulisan ilmiah dosen di jurnal internasional yang bereputasi atau dikutip ilmuwan negara lain.
Dampak dari itu semua kualitas mahasiswa kita mutunya merosot, disebabkan karena ulah dosennya yang tidak berbeda jauh sebagai “calo” ilmu pengetahuan. Semua ilmu yang dimiliki berhenti ketika sudah mendapat gelar magister atau doktor, tak ada reproduksi pengetahuan lagi. Kebanyakan dosen-dosen kita di tanah air menganut ilmu pisang alias sekali berbuah mati.
Perguruan tinggi merupakan tempat mendidik mahasiswa menjadi manusia jujur, menjadi manusia yang berpengetahuan luas, menjadi manusia yang memiliki knowledge power yang kuat. Oleh karena itu perguruan tinggi tidak perlu alergi untuk diperdebatkan, dikritik oleh masyarakat. Semua problem di PT diperdebatkan, tanpa ada praduga buruk. Pengelolaannya harus atas dasar sikap jujur, objektif, dan transparan. Sebab pengetahuan itu sendiri sifatnya jujur, objektif, dan transparan.
Dosen sebagai transfer of knowledge (membagi ilmu pengetahuan) kepada mahasiswanya, supaya mahasiswanya menjadi cerdas dan pintar. Maka fungsi dosen sebagai tranfer of knowledge, dipacu untuk menyampaikan pendapat, melakukan inovasi pembelajaran, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bereksplorasi. Sebab mahasiswa bukan botol kosong, yang perlu diisi. Setiap dosen harus mengetahui kemampuan mahasiswanya. Oleh karena itu sistem pembelajarannya menggunakan pendekatan student center learning. Mahasiswa menjadi teman diskusi untuk memecahkan masalah. Minimal masalah materi kuliah yang sedang dipelajari.
Berani untuk membuang konsep yang sudah usang, menciptakan sesuatu yang baru. Dan paling sederhana dosen harus bisa menyusun makalah seminar, menyusun bahan ajar, setidaknya soal-soal kecil itu, sudahlah kalau menulis buku tidak bisa.
Calo ilmu pengetahuan
Perguruan tinggi tempat dosen menimba ilmu, kemudian ilmu yang diperolehnya itu, akan ditransfer kembali kepada mahasiswa. Jika dalam tugas menyelenggarakan ilmu pengetahuan itu dosen hanya sekadar membagikan apa yang pernah diajarkan dosen-dosen mereka terdahulu atau hanya memindahkan catatan kuliahnya saja, tanpa mengubah sedikit pun apalagi dengan menambah dengan pendapatnya sendiri, ini sama halnya dosen sebagai “calo ilmu pengetahuan”.
Baca juga:
Waspada terhadap Bandit Demokrasi Menjelang Pemilu 2024
Peta Jalan Pendidikan di Nusa Tenggara Timur
Membangun Inovasi dan “Agile Mindset” di NTT
Tipe dosen seperti ini adalah sungguh mematikan kreativitas mahasiswa, memanipulasi aspirasi mahasiswa. Mahasiswa yang daya analitis dan daya kritisnya rendah, mahasiswa yang minder ketika diajak berdiskusi dengan mahasiswa lainnya dari perguruan tinggi besar, misalnya, adalah mahasiswa yang diajarkan oleh dosen sebagai calo ilmu pengetahuan.
Tipe lain dosen sebagai calo ilmu pengetahuan ialah tidak berani mengambil risiko menyampaikan gagasan. Dengan kata lain “cari selamat tetapi gaji jalan terus”. Ketika bimbingan skripsi, tesis, atau disertasi, dosen sering memperhambat, dengan alasan sibuk.
Saya mengakui, ada mahasiswa yang pintar. Ketika dia menyusun skripsi, tesis atau disertasi, narasi dan argumentasinya bisa saja melebihi kemampuan dosennya. Namun karena dosen merasa ilmu mahasiswa tadi lebih tinggi dari pada dosennya, lalu dosennya mengatakan, bahasamu tidak beraturan. Dosen kadang tidak paham apa yang ditulis mahasiswa. Itulah sebabnya sistem pendidikan itu harus jujur. Dosen harus mengakui kepintaran mahasiswa.
Saat ini mahasiswa sudah semakin kritis, untuk menerima mana yang baik dan mana yang jelek. Tanpa dipastikan kalau cara membagi ilmu pengetahuan masih memakai pola pikir sebagai “calo”, dapat dibayangkan kualitas mahasiswa kita pasti rendah.
Di sisi lain pun banyak dosen kita yang mengajar di sejumlah universitas atau “nyambi” di perusahaan atau instansi di luar universitas. Dengan demikian banyaklah dosen kita terpecah konsentrasinya jika memberikan kuliah, soalnya ia tidak siap menghadapi mahasiswanya, maka timbullah pikiran untuk mentransfer ilmu yang diperolehnya ketika ia peroleh pada saat kuliah dulu, tanpa menambah atau mengubah sedikit pun yang sudah usang. Materi yang diberikan, ibaratnya “dapat mentah jual mentah, dapat matang jual matang”. Dengan cara membagi ilmunya ketika ia pernah didapatnya dibangku kuliah, tanpa mengubah atau menambah dengan ide-ide baru.
Kesulitan perguruan tinggi di dunia ketiga, termasuk Indonesia, terlampau banyaknya memiliki dosen-dosen yang kurang baik, yang mengajar para mahasiswa yang kurang baik pula persiapannya. Hal ini menyangkut raw in put (SMA atau sederajat), yang kurang baik pula. Masalahnya amat kompleks.
Mahasiswa yang selalu rajin menghafal apa yang keluar dari mulut dosenya, mahasiswa yang tahu letak tanda seru, tanda koma yang persis apa yang diucapkan oleh dosennya, itulah mahasiswa yang dininabobokan oleh dosen. Apakah dengan demikian, mahasiswa yang tidak kritis adalah merupakan hasil sistem pendidikan kita selama ini? Ataukah ada kaitannya dengan sistem pendidikan yang dianut perguruan tinggi selama ini?
Baca juga:
Mempercepat Pembangunan Perbatasan di NTT
Membangun Kultur Inovasi Birokrasi di NTT
NTT Menciptakan Competitiveness Strategy
Bagaimana supaya sistem pendidikan kita mampu menghasilkan manusia yang kritis, inovatif, dan kreatif? Atau masih adakah niat kita untuk menciptakan manusia yang kritis, inovatif, dan kreatif? Untuk mencapai ke sana rasanya tidak sulit. Yang terpenting asalkan harus dicegah dosen sebagai calo ilmu pengetahuan, dan perlu ada penelitian sistem pendidikan yang menghasilkan dosen-dosen yang mengajar di perguruan tinggi. Termasuk juga penelitian ijazah tamatan luar negeri.
Kalau niat ini kita sudah laksanakan, PT pasti menghasilkan manusia-manusia yang kritis, kreatif, dan inovatif dan sewajarnyalah pendidikan kita berorientasi ke sana. Dampak negatif dosen sebagai calo ilmu pengetahuan, dan dosen sebagai transfer of knowledge, dalam pengertian “membagi”: dapat mentah jual mentah, dapat matang jual matang, mahasiswa kita kurang kritis, inovatif, dan kreatif. Mahasiswa akan tetap malas membaca, malas belajar keras dan lebih banyak santai. Mereka menghafalkan pelajaran hanya sekadar untuk mendapatkan nilai, gelar, dan ijazah. Selebihnya tidak.
Socratic method
Untuk mencegah dosen sebagai calo ilmu pengetahuan, barangkali sudah saatnya di setiap PT memperkenalkan sistem perkuliahan Socratic Method (SM). Secara singkat sistem perkuliahan SM adalah dosen bertanya, mahasiswa menjawab. Menurut filsuf Sokrates, bertanya adalah berfilsafat.
Dosen menggilirkan kepada mahasiswa dan seterusnya dan terakhir kalinya membuat perumusan yang final. Secara psikologis cara seperti ini baik karena mahasiswa selalu berpacu dan dituntut untuk berpikir secara filsafat, kritis, sistematis, logis, dan runtut.
Dengan selalu sabar menunggu sampai ada jawaban yang benar, semua mahasiswa diajak untuk berpikir, memecahkan masalah, sehingga terjadilah variasi dan diskursus berpikir yang sangat berkembang, di mana mahasiswa mengajukan pendapat-pendapat tertentu.
Yang dipertanyakan bukan saja kasus apa yang benar-benar terjadi, atau apa yang sedang terjadi, dapat juga “hypotheticals”, yaitu kemungkinan yang diselundupkan dalam kasus. Dengan menyelundupkan satu atau lebih elemen hipotetis, ke dalam kasus, maka mahasiswa dipancing untuk menilai, apakah penyelesaiannya berubah atau tidak.
Metode SM, ada juga bahayanya. Seperti apa yang diceritakan oleh seorang mahasiswa dari Yale University, Kennedy. Kennedy, bercerita, “… student see proffesors as people who want to hurt them, proffesors action aften to hurt them deeply” ( Nico Nagani, 1982).
Sepanjang waktu diskusi, dosen bukan saja peserta biasa, tetapi memegang peran utama yang menentukan, dan menerapkan aturan main diskusi. Tetapi tidak disangkal metode ini dapat menggairahkan belajar dan sikap tidak mau menyerah di kalangan mahasiswa, apabila dosennya tidak siap. Hal ini ternyata dari cerita Kennedy, “…The thing that specially impressed me was the general intense interest displayed by the whole class in the discussion, event by those who did not remmember that a student, when called could not all gave an adequte answer.”
Baca juga:
UKSW Menjadi Entrepreneurship Research University
KAGAMA NTT Harus Berperan Aktif dalam Pembangunan di NTT
Meperkenalkan metode perkuliah SM saya pikir adalah salah satu cara untuk menumbuhkan minat dan gairah mahasiswa berpikir kritis, logis, runtut, dan sistematis. Dengan kuliah ini saya maksudkan sedikit mengubah sistem perkuliahan yang kita pakai selama ini, yaitu satu arah, menjadi dua arah. Jadi yang berbicara tidak hanya dosen, tetapi juga mahasiswa.
Dalam kuliah SM ini, setiap mahasiswa atau dosen mempersiapkan materi yang akan disampaikan. Semua materi dibahas, dan lalu menyampaikan keberatan-keberatan atau sanggahan-sanggahan, terhadap pendapat dosen atau teman mahasiswa lain. Sistem perkuliahan ini mengajak mahasiswa masuk ke dapur, mahasiswa harus tahu proses memasak yang benar. Bukan diajak ke meja makan. Dengan demikian mahasiswa, mau tidak mau dipaksa untuk berpikir dan berpendapat untuk menjawab semua permasalahan yang muncul.
Metode ini baik, sekaligus mengetahui, apakah dosen sebagai calo ilmu pengetahuan dan sekaligus mengukur seberapa banyak bacaan seorang dosen, karena akan diketahui dosen itu siap atau tidak. Rekomendasi ini, sudah pasti ada yang tidak setuju. Paling tidak, rekomendasi ini untuk menghambat berpikir kreatif, tidak mau mengubah sudut pandang, enggan menerima perubahan, merasa tidak berdaya, takut ditertawakan. Sekurang-kurangnya rekomendasi ini untuk memenuhi, Five Minds of The Future (Howard Gardner, 2013), yaitu the disciplinary of mind, the synthesizing mind, creating mind, the respectful mind, the ethical mind.
Sekaligus rekomendasi ini untuk memenuhi kompetensi lulusan yang dipersyaratkan oleh dunia kerja, yaitu, mahasiswa bisa berpikir analitis, menguasai ilmu pengetahuan, bisa bekerja mandiri, bisa berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis, berpikir logis, menguasai teknologi, dan mampu bekerja dalam tim.
Ben Senang Galus, penulis buku pemikiran ekonomi dari klasik sampai 4.0, dan dosen di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta.