Oleh Juan Pesau
Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) 2024 semakin mendekat, dan dinamika pencalonan kali ini menyuguhkan sebuah fenomena baru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Pilgub NTT, calon gubernur dan wakil gubernur berasal dari wilayah dan suku yang sama, yakni suku Flores. Tiga pasangan calon yang terdaftar dalam pemilihan ini adalah Simon Petrus Kamlasi dan Andry Garu, Ansy Lema dan Jane Natalia Suryanto, serta Melki Laka Lena dan Johni Asadoma.
Tradisi politik NTT selama ini cenderung mengedepankan pasangan calon yang berasal dari wilayah dan suku yang berbeda. Langkah ini dirancang untuk mengoptimalkan potensi elektoral sekaligus menciptakan keseimbangan representasi antara berbagai suku dan daerah di provinsi ini.
Sebagai contoh, jika calon gubernur berasal dari Flores, wakil gubernur biasanya dipilih dari suku Tirosa (Timor, Rote, dan Sabu) atau dari wilayah lain seperti Sumba. Pendekatan ini bertujuan untuk menghindari dominasi suku atau wilayah tertentu dan memastikan bahwa kepemimpinan mencerminkan keragaman NTT secara lebih luas.
Namun, Pilgub NTT 2024 menunjukkan perubahan signifikan dengan kemunculan pasangan Melki Laka Lena dan Johni Asadoma. Melki, yang berasal dari Ende, Flores, dan Johni, dari Alor, memperkenalkan paradigma baru dalam pencalonan. Jika terpilih, NTT akan dipimpin oleh pasangan yang sepenuhnya berasal dari Flores, sebuah langkah yang akan mempengaruhi keseimbangan representasi yang selama ini menjadi norma.
Sementara itu, pasangan Ansy Lema dan Jane Natalia Suryanto juga menampilkan pendekatan yang berbeda dengan memilih wakil yang berasal dari luar wilayah NTT. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa Ansy memilih Jane Natalia Suryanto, seorang politisi yang bukan merupakan putri asli NTT. Padahal, ada beberapa tokoh perempuan NTT yang memiliki pemahaman mendalam tentang karakteristik wilayah dan masyarakat NTT, seperti Emi Nomleni, Ince Sayuna, Ratu Wulla, dan Anita Jacoba Gah.
Pasangan calon yang masih mempertahankan keseimbangan representasi suku adalah Brigadir Jenderal Simon Petrus Kamlasi dan Adrianus Garu, dengan nama Paket SIAGA. Simon Petrus Kamlasi berasal dari Timor, sedangkan Adrianus Garu dari Flores. Keduanya mewakili dua wilayah yang berbeda di NTT, sehingga prinsip keseimbangan representasi tetap terjaga.
Melki Laka Lena, di sisi lain, secara konsisten menekankan pentingnya menjauhi politik identitas berbasis suku, ras, atau agama (SARA). Dalam sebuah acara di GOR Oepoi, Melki menyatakan, “Isu SARA membuat NTT sulit maju. Saya menghimbau seluruh pendukung untuk fokus pada latar belakang dan visi calon, bukan pada isu suku dan agama.” Pernyataan ini menegaskan komitmennya terhadap kepemimpinan yang berorientasi pada visi dan program, bukan pada perbedaan suku atau agama.
Meskipun demikian, muncul pertanyaan tentang mengapa Melki merasa perlu menyoroti isu SARA. Apakah ini mencerminkan kekhawatiran bahwa isu tersebut dapat mempengaruhi hasil pemilihan, atau menunjukkan ketidaknyamanan terhadap kemungkinan perpecahan akibat politik identitas? Apakah ada kekhawatiran bahwa Melki dan pasangannya mungkin dianggap melanggar prinsip keseimbangan representasi yang selama ini dijunjung tinggi?
Keseimbangan representasi dalam pemilihan bukan hanya tradisi politik, tetapi juga merupakan upaya untuk menjaga keharmonisan sosial di NTT. Jika Melki dan Johni atau Ansy dan Jane berhasil dalam pemilihan ini, mereka akan membuka babak baru dalam sejarah politik NTT, beralih dari pertimbangan asal-usul suku menuju fokus pada visi dan program kepemimpinan.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—termasuk Melki, Ansy, dan partai pengusung mereka—untuk memahami bahwa tradisi keseimbangan representasi bukan hanya soal kepentingan elektoral, tetapi juga tentang memastikan kepemimpinan yang inklusif dan mencerminkan keragaman NTT.
Apakah Melki dan Ansy siap memimpin dalam kerangka baru ini? Hanya waktu yang akan menjawab apakah pendekatan mereka akan memicu perubahan positif atau merubah paradigma representasi di NTT.