Satu permenungan atas tantangan Ferdinand Hutahaean.
“Kita telah belajar terbang bagai burung, berenang di laut bagai ikan, tetapi belum belajar bagaimana berjalan di bumi sebagai saudara” – Martin Luther King, Jr, 1929-1968, pendeta dan aktivis hak sipil Amerika.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Memandang Tuhanku ‘yang lemah’
Di hadapan penguasa, wajahNya nyaris tak dikenal lagi. Telah jadi memar. Bilur bertebaran di sekujur tubuh. Dia telah jadi manusia sepih dan remuk. Semuanya bermula dari taman Zaitun. Ia berdoa dalam kesendirianNya. Sebab para murid terlanjur lebih mencintai tidur. Lebih memilih lelap di kegelapan. Yesus terlalu lemah di jelang derita yang bakal menjemput. “Sekiranya biarlah piala ini berlalu….” (cf Mat 26:39). Iya, piala penderitaan itu. Para penginjil melukiskan keringatnya jatuh bagaikan tetesan darah (cf Luk 22:44).
Yesus terlalu lemah untuk hadapi pasukan bersenjata lengkap di malam itu. Dengan mudah si ‘penista agama dan Bait Suci’ itu disergap serdadu. Digiring dengan enteng menuju kediaman Hanas. Selanjutnya ke istana Pilatus. Yesus tanpa perlawanan sedikit pun! Sebab memang Ia lemah. Tak berdaya. Petrus, sang murid hanya ‘berani intip-intip dan maen kucing-kucingan dari jauh’.
Semua itu, pada titiknya, berujung pada derita akhir di salib. Memalukan. Sungguh ‘najis dan penuh kehinaan tampilan Allah’ seperti itu. Tanpa daya. Tiada keakraban dalam citra diri. Bila harus mundur lagi pada kisah kelahiranNya, maka semakin teballah keyakinan akan citra ‘Allah yang lemah tak berdaya’. Seorang Raja yang hanya lahir di kandang hina. Ditemani para gembala miskin berstatus pinggiran. Raja yang ditolak. Sebab tak ada tempat bagiNya di rumah penginapan itu (Luk 2:7).
Itulah tampilan fisik-ragawi Allahku yang lemah. Tanpa daya. Miskin, hina, terkucil, ditolak, diludahi, disesah, dimahkotai duri, diolok-olok, dipaku pada salib, dan yang lambungNya pun ditikam. Mungkinkah Allah sehina dan tanpa daya seperti itu?
Tuhanku yang ‘lemah’ namun sunguh mahadaya
Tetapi, pribadi dan kisah penuh kelemahan itu justru jadi tanda nyata kebesaran dan kekuatan! Yesus adalah kemuliaan jiwa dan keagungan spirit. KebesaranNya adalah keteduhan hatiNya mahadalam. “Aku bukan penyamun seperti sangkamu. Tak usah histeris datang dengan senjata tajam” (cf Mat 26:26). Itulah suara teduh nan agung. Berwibawa menantang komplotan beringas.
Tak hanya itu. Ada perintah tegas pada Petrus, muridNya. Tangan Petrus pun harus bersih dari kenajisan darah kekerasan. “Sarungkanlah pedangmu!” (Mat 26:52). Sebab, tombak dan pedang kekerasan adalah tanda ketakutan. Cuma membahasakan aura hati penuh kepanikan. Menandakan kelemahan diri untuk harus ‘dipersenjatai dan mempersenjatai’. Sungguh, Yesus, Tuhanku, kuat di kesendirianNya di hadapan para elitis Yerusalem.
Yesus, sungguh dalam kesendirianNya. Tanpa siapa pun. Dan Ia tak mau dibela. Yesus tak mau berlindung di balik massa. Segala ‘buat baikNya’ bukanlah modal empuk untuk garansi nyaman diri. Walau begitu, tidakkah Pilatus, si penguasa itu kejut terperangah? Tidakkah keagungan bayangan si Pilatus jadi kabur dan bahkan runtuh di saat harus mendengar, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku…?” (Yoh 19:11).
Mari kita kembali ke jalan menuju Kalvari. Tidakkah Yesus yang lemah, di jalan Salib itu, justru berdaya peneguh untuk ‘menghibur perempuan-perempuan Yerusalem yang meratapiNya?’ (cf Luk 23:28). Hanya orang yang punya keluasan hati, keagungan akhlak dan kemuliaan jiwa yang sanggup ‘meneguhkan yang dirundung sedih dan duka. Yesus pun kuatkan hati “Ibu dan murid di kaki salib untuk saling menerima” dalam iman (cf Yoh 19:26).
Iman itu mesti digugat
Kita tak sedang hakimi si Ferdinand Hutahean. Cuitannya seputar ‘Allahmu lemah’, justru sebaliknya, tengah menguji ortodoksi imanku akan karakter kemahakuasaan Allah. Tak disebutnya Allah dalam ‘bingkai agama tertentu’. Ia cuma di batas bagai ‘satu percakapan hati’. Namun, perang opini tak terkendali. Reaksi berontak tak terhindar. Tetapi, entahlah berontak atas dasar apa? Atas dasar kegaduhan yang ditimbulkan? Kiranya kita mesti pulang pada keteduhan batin.
Namun, bila harus menafsir si Ferdinand, di matanya ada keyakinan bahwa ‘terdapat krisis iman yang masih menganga’. Masih ada jurang terlampau dalam dan lebar antara iman dogmatis dan iman experiensal. Sebab dictum et practicum sering tak karib seiring. Bahkan bisa bertubrukan sengit. Lain di bibir, lain di hati, lain lagi pada sikap dan tindakan sering deras mengalir.
Allahku sungguh mahasegala. ‘Status’ Allah-ku yang mahakuasa itu tak ditentukan oleh apa pun sikap dan perbuatanku. Sebaliknya, akulah yang butuhkan kehadiran dan perlindunganNya. Sebab akulah manusia rapuh, bobrok dan lemah tanpa Dia. Tuhanku pun tidak menjadi ‘mulia atau lebih mulia’ karena doa dan sembah sujudku. Dalam perayaan ekaristi (misa) ada doa agung yang ku-lantunkan: “Sebab sembah bakti kami tidak menambah kemuliaanMu. Namun sangat berguna bagi kami”.
Sejenak teringat lagi Imam Al-Ghazali. Pelukisannya sungguh mencerahkan. Kurang lebih begini jika tak salah ingat: “Obat dari dokter memang untuk pasien dan demi kesehatan pasien itu. Entah pasien setia atau tidak komsumsi obat itu, toh dokter tetaplah sebagai dokter. Tetapi obat sungguh berguna demi kesembuhan pasien. Doa, memuji Tuhan atau tidak berdoa dan tidak memuji, Tuhan itu tetaplah mahabesar. Selamanya! Tetapi bahwa doa itu sungguh berguna bagi manusia beriman”.
Tuhan memang tak perlu dibela
Yesus, Tuhan, memang tak perlu dibela. Tentu sejarah usang di masa dulu pernah ‘cacat.’ Saat kekristenan sungguh ingin jadi besar dan kokoh. Namun itu serentak membuat ‘Tuhan tak berdaya’. Saat kekerasan dan berbagai hukuman maut menebar ancaman! Saat Tuhan ‘dilucuti dari kemahakuasaanNya dalam kasih’ untuk diganti dengan rupa-rupa tekanan berlabel demi agama.
Saya memang paham pada narasi si Hutahean. Ia tak sedang menyangkal ‘kekuatan kuasa Tuhan’. Malah cuitannya jadi titik pijak reflektif: bahwa sayalah yang sering bersuara, berlaku, berbuat dan bertindak seolah-olah Allahku lemah.
Allahku tak lemah. Dalam Yesus, Allah dan Tuhan, justru jadi tempat perlindungan. Demi hadapi kenyataan hidup sebagaimana adanya. Dia jadi biduk teduh kehidupan saat taufan gelombang datang menerjang (cf Mrk 4:39). Di saat pengutusaanNya diibaratkan ‘bagai anak domba diutus ke tengah-tengah serigala’ (cf Mat 10:16). Allahku sungguh tak lemah saat Ia ingatkan untuk “Datanglah kepadaKu hai kalian semua yang letih lesuh dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegahan kepadamu” (Mat 11:28).
Allah sungguh tak lemah. Kekuatan adalah karakter Allah. Sebaliknya, manusialah yang letih lesuh tanpa daya. Maka, kembalilah dan biasakan diri untuk ‘pulang’ pada Allah secara sehat. Itulah adalah jalan iman yang benar! Untuk tetap teduh berziarah di bumi yang berputar. Dalam situasi apa pun yang mesti dihadapi.
Akhirnya
Allah tetaplah ‘benteng hidup’ (cf Mzm 27). Sebenarnya, tinggal diubah pola pikir dan arus merasa. Demi singkirkan segala yang membentuk sikap laku yang justru nampakan distorsi keyakinan seolah-olah ‘Allah itu lemah’. Sebab, acapkali, misalnya jabatan, pangkat, kedudukan, kuasa, harta kekayaan, gelar kehormatan, popularitas, klaim pemilik mutlak kebenaran, klaim mayoritas dan punya pengaruh, jadi tameng godaan untuk ‘membentengi diri yang rapuh’.
Saya belum sampai pada kerepotan untuk mengira-ngira mengapakah si Ferdinand mesti mengaku sebagai mualaf di saat ia lagi dalam kegamangan siuasinya kini. Namun, sentilannya adalah amunisi positif untuk bertafakur dalam iman. Seorang mualaf, si Ferdinand Hutahean itu kini jadi ‘pencerah’ bagi saudara-saudari seimannya.
Dan juga bagiku untuk membuktikan keyakinan betapa Allahku kuat perkasa dalam diriNya, di dalam Kasih dan KebenaranNya. Hanya dengan cara itu, imanku jadi kokoh dan benderang. Dan Ferdinand, dalam ilham Martin Luther King, Jr, sudah mengajarku untuk ‘berjalan di bumi Indonesia sebagai saudara’. Dan bukannya sebagai musuh yang mesti ditumpas.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma