Hingga hari ini, sedikitnya enam nama kesohor beredar dalam ruang politik dengan status terdengar sebagai kandidat yang pantas dan layak memimpin Kota Kupang. Siapakah mereka itu? Berikut ini adalah nama mereka.
Oleh Pius Rengka
Tak dapat dipungkiri, tahun 2023 adalah tahun demam dan gegap gempita politik. Suhu demam politik itu meninggi dan meluas di sekujur tubuh tanah air.
Bagaimana tidak. Pada 2023, semua partai politik (17 parpol) telah, sedang dan pasti melakukan seleksi terhadap aktor politik untuk ditempatkan sebagai calon tetap legislatif dan eksekutif. Salah tempatkan orang, pasti akibatnya fatal. Apalagi, konsep vote getter telah basi di zaman ini.
Pada fase ini, pilihan partai politik terbatas. Mengapa?
Pertama, partai politik terbatas dan membatasi diri atau dibatasi oleh keharusan menentukan siapa yang bakal ditempatkan dalam daftar urutan calon legislatif untuk di setiap daerah pemilihan dengan sistem proporsional terbuka, dan siapa pula gerangan calon yang disodorkan untuk posisi eksekutif.
Menentukan calon di daftar calon tetap (pasti) bukan tanpa risiko konflik, intrik, orientasi kepentingan diri sendiri, dan penciptaan massa mengambang atau massa yang sengaja diambangkan.
Penentuan para calon legislatif pasti dilakukan cermat sambil mempertimbangkan elektorasi dari tiap calon. Tujuannya, supaya partai politik menang dalam pawai pemilihan umum atau sekurang-kurangnya partai politik lolos batas parliament threshold (PT) 4% dari total perolehan suara pemilih di DPR RI.
Karena itu, tiap daerah pemilihan legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota), mesti berada dalam satu barisan yang solid dan kuat. Secara organisatoris, pengelolaan placement para kandidat di masing-masing partai politik dapat berbeda.
Umumnya (atau seharusnya), Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum Partai Politik (Bappilu) wajib cermat mencakar potensi dan kecenderungan elektorasi tiap-tiap calon yang diusung.
Pada fase inilah kerja Bappilu kian ngotot untuk melakukan analisa terkait perkiraan keadaan (kirka), topik isu politik dan strategi yang sensible dengan dinamika situasi empirik.
Ketua Bappilu dan jajarannya, ditugaskan partai politik untuk mengerahkan seluruh potensi dirinya secara super maksimal. Karena itu, biasanya, partai politik menempatkan orang yang diduga paling cerdas di lembaga Bappilu ini.
Stefano Bartolini dalam artikel: Electoral and Party Competition: Analytical Dimensions and Empirical Problems (2002), mengingatkan, bahwa penentuan calon sejak awal sudah merupakan konfigurasi kompetisi politik.
Kompetisi politik ke dalam partai politik itu sendiri dan kompetisi politik dengan partai kompetitor lain dalam pemilu. Kondisi kompetisi internal maupun eksternal dilukiskan Stefano Bartolini seperti pipa bermulut banyak. Tetapi, tidak bervariasi.
Kedua, partai politik tidak bebas dari peran aktor partai. Artinya, tidak ada partai tanpa orang, kecuali ada orang tanpa partai. Maka kelakuan orang di partai ikut menentukan pesona pemilih terhadap partai politik.
Aktor partai selalu terhubungkan dengan kondisi relasi para kandidat masing-masing dengan konstituen mereka. Karena itu, problem elektorasi merupakan problem sama tua dengan problem demokrasi. Imajinasi pemilih dengan imajinasi orang yang akan dipilih mungkin saja bertolak belakang secara ekstrem.
Sejak era klasik, 500 tahun sebelum masehi (Socrates, Plato dan Aristoteles) problem ini tampaknya belum tuntas terpecahkan sampai sekarang. Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju, dan peradaban demokrasi kian dinamis, tetapi perihal voting selalu jadi soal.
Idealnya, para calon legislatif dan eksekutif wajib memenuhi dua syarat kunci personal yaitu integrity and capacity. Integrity terkait status moral dan mutu moral (misalnya calon tidak pernah melakukan perbuatan tercela secara hukum/unlawfulness) seorang calon.
Capacity terkait status ontologis intelektual para calon. Tetapi, isyarat dan syarat formal hukum telah jelas. Bahwa calon anggota legislatif dan eksekutif wajib minimal tamat Sekolah Lanjutan Atas (tidak peduli apakah tamat dari sekolah bermutu tinggi atau bermutu rendah. Pokoknya sapu rata).
Problem selalu muncul pada syarat ketiga yaitu constituency. Constituency terkait dengan tindakan para pemilih. Tindakan para pemilih bervariasi. Pemilih memilih calon dengan alasan sosiologis, antropologis. Artinya, pemilih memilih calon karena calon legislatif dan eksekutif itu adalah “sesama”.
Diksi sesama di sini dimaknai sebagai sesama keluarga genealogis, sesama etnis, sesama agama dan sejenisnya. Jadi, tindakan memilih para pemilih dominan berbasis unsur primordial, atau unsur identitas pemilih dengan calon. Dengan demikian, politik itu terkait dengan politik identitas.
Terkait dengan tindakan pemilih ini, ada empat kemungkinan.
Pertama, perspektif party identification. Pemilih memilih orang atau partai politik karena kekuatan politik atau tokoh politik tersebut, memiliki identifikasi yang sama dengan pemilih. Mereka memilih tokoh atau partai politik tertentu karena calon tersebut atau partai tersebut diduga atau terbukti telah atau akan menampung keinginan/kepentingan psikologis pemilih.
Kedua, socilolgy voters. Orang memilih karena berdasarkan pertimbangan sosiologis yang dimiliki para pemilih dan calon. Faktor sosiologis itu antara lain, agama, suku, ras, pekerjaan, lokasi tempat tinggal atau daerah, golongan dan sejenisnya. Hal ini pun membuktikan politik itu adalah urusan identitas.
Ketiga, prospective voting. Orang memilih karena pemilih mempertimbangkan bahwa calon akan memenuhi kriteria normatif para voters. Misalnya, si A dipilih karena A diharapkan sanggup memenuhi kriteria normatif para voters.
Kriteria normatif para voters itu misalnya, orang yang dipilih itu cerdas (capacity) dan reputasinya baik (integrity) sehingga sulit baginya untuk menjadi salah satu calon penjahat di kemudian hari. Jadi jejak pribadinya ditelusuri dan dicermati. Tidak peduli dia punya agama apa dan tunduk pada adat istiadat mana.
Keempat, retrospective voting. Pemilih memilih calon atau partai politik tertentu karena berdasarkan hasil evaluasi voters terhadap kinerja partai politik atau calon. Seberapa kesungguhan calon memenuhi tuntutan dan keluhan rakyat, serta seberapa sering calon mengontrol kekuasaan politik dalam skema kepentingan yang lebih luas.
Teori ini menggabungkan teori public policy dengan election theory. Tekanannya terutama terhadap para calon incumbent ya. Jadi para calon incumbent boleh mengevaluasi diri sendiri sejauh mana Anda telah merepresentasikan kepentingan rakyat yang lebih luas dibanding melayani kepentingan diri sendiri dan sekitarnya.
Wali Kota Kupang
Mencermati alur pemikiran di atas (agak tekstual) kemudian dibenturkan ke dunia empirik di Kota Kupang. Kita boleh saja memulai dengan pernyataan begini.
Belakangan ini, selalu ada pertanyaan. Siapakah gerangan calon wali kota yang pantas dan layak memimpin Kota Kupang agar Kota Kupang bebas dari sampah, bebas dari kegelapan, bebas dari jalan berlubang, bebas dari korupsi, bebas dari kas kosong daerah, bebas dari perkauman, bebas dari tebas hutan demi hutanisasi Kota Kupang, bebas rebutan tempat parkir, dst…, dst. Dan, masih banyak pertanyaan lain.
Hingga hari ini, sedikitnya enam nama kesohor beredar dalam ruang politik dengan status terdengar sebagai kandidat yang pantas dan layak memimpin Kota Kupang. Siapakah mereka itu? Berikut ini adalah nama mereka.
Pertama, Jonas Salean. Belum lama berselang, nama Jonas Salean berkibar dan memadati langit politik Kota Kupang. Nama politisi kawakan dari Golkar ini mencuat kian kuat ketika Partai Golkar dengan terang menyebutkan Jonas Salean menjadi calon Wali Kota Kupang periode 2024-2029.
Jonas dipasangkan dengan Aloysius Sukardan, satu dari ratusan intelektual Manggarai di Kota Kupang. Pasangan ini telah merebut perhatian khalayak politik Kota Kupang dan partai-partai politik ketika nyaris dua minggu nama mereka beredar dalam liputan media online dan media mainstream.
Kedua, Jefri Riwu Kore. Tokoh fenomenal ini, berselancar meluncur melalui jalur perseorangan. Meski dia gagal menjadi Ketua Partai Demokrat NTT, tetapi toh hingga tulisan ini dibuat, dukungan untuk Jefri Riwu Kore meluap hingga menyentuh angka 100.000 dukungan.
Para suporter di lingkungan terdekatnya adalah kalangan anak muda profesional cerdas yang sehari-harinya bertindak antara lain sebagai peniup seruling dukungan di mana-mana.
Tokoh ini ditengarai telah membuat banyak hal dan banyak hal tanpa masalah atau diduga tanpa masalah. Karena itu pencalonannya dipastikan mulus tanpa hambatan, apalagi jalur yang dipilih bukan melalui jalur partai politik yang bikin pusing kepala.
Ketokohan Jefri Riwu Kore, tentu saja masih kuat dikenang sebagian pendukungnya sebagai pencetus Kupang Smart City, kota dengan aneka taman nan elok, hutanisasi kota dengan jenis pohon yang didatangkan dari tempat yang cukup dikenal, dan membereskan air minum.
Kepemimpinan politiknya sungguh bersih. Bebas korupsi, tak ada KKN. Sirkulasi elit birokrasi berlangsung bagus dan tanpa perbuatan tercela.
Ketiga, dr. Herman Man. Tokoh ini, dua kali menjadi wakil wali kota mendampingi dua wali kota berbeda keahlian. Jonas Salean dan Jefri Riwu Kore. Dokter humoris ini pertama kali disebut-sebut Partai Hanura tatkala Rakerda partai itu di Kupang tahun lalu. Video wawancara pencalonannya beredar luas sembari merancang bangunan jalur masuk ke kompetisi Pilwakot 2024.
Keempat, Christian Mboeik. Wakil Ketua DPRD NTT dan Wakil Ketua DPW Partai NasDem NTT ini pertama kali disebut-sebut di kalangan internal NasDem.
Dia juga disebut dalam orbit Rakerda Partai Hanura di Kupang tahun silam. Balihonya sudah digantung di beberapa tempat. Ada di antaranya yang bergambar bersama Christ Widodo yang adalah juga anggota DPRD NTT dari unsur Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ketua PSSI NTT ini terus merajut tikar pengaruh sosial dengan aneka pendekatan.
Kelima, Bobby Fanggidae. Direktur Utama Bank TLM ini disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat karena selain kapasitas intelektualnya yang mumpuni, juga relasinya dengan masyarakat cukup luas, apalagi dia adalah salah satu elit keluarga Alumni Gadjah Mada NTT.
Bobby, demikian dia biasa disapa, diakui banyak pihak sebagai salah satu politisi dengan isi kepala yang sangat padat. Cerdas, humanis dan tindakannya selalu dengan rencana rinci dan detail.
Keenam, George Hadjoh. Mantan Kepala Biro Umum yang kini pejabat Wali Kota Kupang ini belakangan disebut-sebut mengingat kinerjanya sebagai pejabat yang sangat spektakuler meski dalam waktu 5 bulan belakangan ini.
Pesona kepemimpinannya menguat apalagi ketika dia sanggup menjalin relasi dengan DPRD Kota Kupang dengan cara sangat dewasa dan humanis tanpa cacat hukum, dan kepiawaiannya dihadapkan masalah dengan kondisi keuangan Kota Kupang kas daerah kosong.
Dia sanggup mengatasinya dengan sangat cepat sehingga kekosongan kas daerah teratasi. George Hadjoh, menurut desas-desus bakal berpasangan dengan politisi PDIP Epy Seran.
Nah, siapa gerangan yang bakal potensial unggul di antara enam calon wali kota dalam status terdengar ini? Tulisan berikut nantinya akan dibahas dengan cara seksama.