Gejala keretakan kerekatan sosial saat ini, sudah semakin kentara. Setiap kelompok masyarakat saling berhadap-hadapan menjagokan pasangan calon presiden untuk tampil pada Pemilu 2024. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan cerdas akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling memercayai) di antara kelompok-kelompok sosial.
Oleh Ben Senang Galus
Indonesia kini telah mengalami proses demokratisasi yang sesungguhnya. Namun, jika proses demokratisasi ini tidak dipelihara dan dirawat dengan baik, bukan mustahil akan mengalami titik balik, berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan terjal demokrasi.
Bila proses demokratisasi ini tidak dapat dilalui dengan baik, ancaman yang dihadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa, akan tetapi berdampak terhadap perubahan sosial budaya pada kalangan kelompok masyarakat. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau keretakan social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat.
Gejala keretakan social bond saat ini, sudah semakin kentara. Setiap kelompok masyarakat saling berhadap-hadapan menjagokan pasangan calon presiden untuk tampil pada Pemilu 2024. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan cerdas akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling memercayai) di antara kelompok-kelompok sosial.
Sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi ini, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all (belum omnium contra omnes), bukan lagi menjadi khayalan.
Situasi yang penuh pertentangan di antara masyarakat itu dinamakan state of nature. Di mana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan jika perlu membunuh dan menghalalkan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain.
Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai”.
Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya.
Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban.
Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan di antara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik. Kedua pemikir ini dipandang sebagai peletak dasar teori-teori kontrak sosial yang populer di dalam alam pikiran Barat.
Di Indonesia, konflik horizontal dan pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif, telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara ke dalam kekalutan, ketegangan, dan krisis berkepanjangan.
Jika demikian Indonesia akan mengalami tidak hanya political decay tapi lebih-lebih pada democratic decay dan social-economic decay, seperti yang pernah kita alami selama 32 tahun Orba. Modal politik (political capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional.
Ancaman demokrasi
Akibatnya economic capital meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan maupun kepemimpinan nasional dalam mengelola perekonomian, sedangkan social capital tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin nasional yang ada.
Ancaman demokrasi saat ini tidak hanya nampak pada ketidakadilan, ketidaksejahteraan masyarakat, etnonasionalisme atau etnodemokrasi, atau politik uang, akan tetapi hadirnya bandit-bandit demokrasi. Yang perlu diwaspadai saat ini maupun menjelang Pemilu 2024 adalah hadirnya bandit-bandit demokrasi.
Bandit-bandit demokrasi hadir dalam bentuk dua wajah yaitu bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits). Pada masa represif, seorang bandit berkuasa, tapi dia bandit menetap. Artinya, dia tidak akan menguras wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya. Setelah rezim represif runtuh, muncullah bandit berkeliaran.
Sebagaimana di zaman kuno, jenis bandit ini mendatangi sebuah wilayah, menjaga habis wilayahnya, lalu pergi. Begitu cara kerjanya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun.
Begitu bandit menetap runtuh muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang “bos”. Jika mereka semula tertunduk dan terbungkuk di depan bos, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apa pun termasuk menjarah harta kekayaan Indonesia mulai dari pusat pemerintah sampai ke desa-desa.
Mereka-mereka itu ialah para pelaku pejabat di daerah dan kroni-kroninya, termasuk bandit oligarki. Mereka menancapkan diri sebagai pemalak dan pemeras harta kekayaan masyarakat. Rusaknya sistem demokrasi di Indonesia selain munculnya para bandit demokrasi ditambah juga hadirnya “economic hit man“.
Ekonomi tangan kotor
Datangnya demokratisasi pascareformasi memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini. Bila tesis ini benar, sebenarnya demokrasi tidak mempunyai masa depan di Indonesia, bila bandit-bandit demokrasi terpelihara dengan baik.
Baca juga:
Meski saat ini Indonesia sudah berdemokrasi, namun bukan demokrasi yang bertakhta di sana melainkan bandit-bandit demokrasi dan munculnya ekonomi tangan kotor (economic hit man) sebagai yang bertakhta.
Ekonomi Indonesia terperosot karena korban permainan “economic hit man” atau yang dipelesetkan ekonomi tangan kotor, yang dimainkan oleh invisible hand. Ini menjadi awas terhadap Indonesia sebagai negara demokrasi.
Lembaga ekonomi dunia seperti IMF dan Bank Dunia yang kelihatannya “baik, dermawan” malah menjadikan negara Indonesia pengutang sebagai korban. Utang melumpuhkan negara Indonesia itu sendiri. Ternyata banyak faktor yang terlibat di dalamnya.
IMF dan Bank Dunia, pekerjaannya mengidentifikasi negara yang memiliki sumber daya, bisa minyak, emas atau lainnya, kemudian pihaknya mengatur pinjaman kepada negara itu, tapi uang yang dipinjamkan tidak pernah sampai ke negara itu, melainkan kembali ke perusahaannya dalam bentuk pembangunan jalan tol, rel kereta api, lapangan terbang, pembangkit listrik, dermaga yang malah menguntungkan para orang kaya maupun korporasinya sendiri.
Akhirnya negara tersebut memiliki utang besar. Saya tidak mempunyai data yang valid apakah utang Indonesia mencapai Rp7.879,07 triliun per 31 Maret 2023, karena permainan IMF dan Bank Dunia.
Bisa menjadi benar jika menyimak tulisan Perkis (2002) yang mengatakan “The debted state is a servant to the corporatocracy … today we have a global empire, and it is not an American kingdom. This is not a national kingdom … It’s a corporate empire, and big corporations are ruling. Once the country is in debt, it will return to the country with another mask of the IMF. The IMF makes demands for the owed state to increase taxes, reduce spending, sell public sector utilities to private companies, privatize state assets and essentially become slaves. The World Bank, the IMF and the European Union are only tools of big companies, what I call ‘corporatocracy’. After being unable to pay, finally lift the white flag, surrender.”
Banyak negara di dunia bangkrut, karena terjebak dalam pemikiran liciknya IMF dan Bank Dunia, membuat kamuflase dengan menyebut perekonomian negara target tumbuh baik. Hal itu yang dijual ke politisi-politisi atau calon presiden 2024 menjadi target IMF dan Bank Dunia, namun yang sebenarnya terjadi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, akibatnya kesenjangan semakin meluas.
Negara-negara yang menjadi targetnya adalah negara-negara yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah ruah, termasuk Indonesia. Negara yang berutang akan mengadopsi kebijakan IMF dan Bank Dunia, seperti perusahaan utilitas milik publik, air, transportasi, kepada perusahaan-perusahaan besar.
Baca juga:
- Peta Jalan Pendidikan di Nusa Tenggara Timur
- Membangun Kultur Inovasi Birokrasi di NTT
- NTT Menciptakan Competitiveness Strategy
Selanjutnya yang akan terjadi adalah privatisasi-privatisasi. Negara berutang akan menjadi hamba korporatokrasi. Di dunia ini, sesungguhnya yang memerintah adalah kekaisaran global (baca IMF dan Bank Dunia, atau G to G). Perusahaan itu mengendalikan politik global, dan untuk tingkat besar mereka mengontrol banyak kebijakan negara-negara seperti China maupun seluruh dunia.
Korporatokrasi merujuk kepada sebuah kekaisaran global yang dibangun oleh tiga pilar yaitu korporasi, perbankan, dan pemerintahan. Berbagai korporasi besar, bank dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksakan masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.
Lalu apakah dengan membaca ramalan di atas dan melihat kondisi Indonesia saat ini kita menjadi kollapse state atau weak state? Kesimpulan: we are quite concerned but there is no need to panic.
Selain risiko secara filsafat bubarnya suatu negara, yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah kemungkinan seperti berikut ini. Dan mungkin ini yang paling dirasakan oleh masyarakat Indonesia, seperti al: 1) Pasar saham akan crash, 2) Semua lembaga keuangan akan gagal, 3) Program pendanaan pemerintah akan berakhir sehingga tidak ada lagi jaminan bagi masyarakat, seperti kesehatan, pertahanan, keamanan, pendidikan, dukungan infrastruktur seperti jalan dan lainnya, termasuk infrastruktur sosial.
Ketika sebuah negara bangkrut, maka banyak sistem di negara tersebut yang selama ini menjadi ketergantungan rakyatnya hilang. Seperti, penghentian pasokan listrik, aparat keamanan tak lagi bekerja, toko-toko kehabisan stok makanan, bank tutup dan lainnya.
4) Pelaku bisnis akan menutup usaha mereka sehingga tidak ada lagi pekerjaan, sehingga banyak PHK terhadap karyawannya, 5) Ekspor dan produksi sulit, 6) Terjadi kerusuhan massal sementara aparat keamanan tidak ada, 7) Setiap orang akan mulai saling melakukan segala cara untuk mendapatkan pasokan makanan (homo homini lupus), 8) Orang kaya akan menguasai negara dan mengubah sistem demokrasi menjadi kediktatoran, 9) Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi itu, dan 10) Hutang luar negeri yang semakin menumpuk.
Masyarakat sipil harus kuat
Demokrasi yang kuat di Indonesia jika didukung oleh masyarakat sipil (civil society/CS) yang kuat sebagai kekuatan moral (moral force), dan sekaligus menjadi katalisator perubahan sosial dan demokrasi. Tatkala demokrasi di persimpangan jalan keselamatan (at the safety crossroads safety) di tangan para bandit, CS segera mengambil alih.
Civil society, bergerak pada manusia, sehingga demokrasi di Indonesia berwajah kemanusiaan (democracy with humanity). Mengabaikan wajah kemanusiaan demokrasi berarti CS telah melakukan eutanasia demokrasi dengan berbagai senjata yang telah dihasilkan dari bangku kuliah.
Oleh karena itu sebagai peringatan terhadap CS Indonesia termasuk generasi muda harus menjalankan dua kewibawaan: 1) Das rehnende denken: pemikirannya memperhitungkan—kehadirannya perlu diperhitungkan sebagai aset strategis, menguasai dengan alasan membuat kalkulasi politik, 2) Das andenkende denken, pemikirannya yang memperhatikan, kehadirannya mampu untuk berpikir, bersikap terbuka, perlu menjadi pribadi yang bebas dari mentalitas ikut arus.
Bagaimana CS di Indonesia memposisikan dirinya dalam konfigurasi kebangsaan Indonesia ke depan dalam mengawal demokrasi sebelum dan sesudah Pemilu 2024? CS memposisikan diri sebagai kekuatan nasional, kekuatan demokrasi, katalisator perubahan, mengembangkan politik populis—option for the poor, nonmachiavelis, solidaritas universal, non diskriminasi, menjadi garda depan perjuangan demokrasi, menjadi reference group.
Untuk menjamin posisi di atas, ada empat fokus perjuangan politik CS Indonesia pada saat ini maupun ke depan dalam menyelamatkan demokrasi dari tangan para bandit: 1) Pemberdayaan masyarakat sipil (civil society), 2) Penataan sistem politik yang bermoral, 3) Pembangunan kultur keterbukaan dan demokrasi.
Prinsip berpolitik CS hendaknya berpedoman pada prinsip moral yang dikumandangkan Mgr. Sugiyapranoto, pertama, in principiis, unitas, in dubuiis, libertas, in omnibus, caritas (dalam hal prinsip kita bersatu, dalam hal terbuka kita bebas menentukan pendapat, dalam segala hal harus ada kasih).
CS harus terlibat dalam kegiatan politik dalam rangka menempatkan diri sebagai noblesse oblige, sembari berpegang pada prinsip moral kedua, serviens in lumine veritatis, melayani dalam cahaya kebenaran (serving in the light of truth).
Dengan cara demikian CS menjalankan sebagian Academic Social Responsibilty. Dan percayalah apa pun yang Anda lakukan, Anda telah mewartakan prinsip moral ketiga Gloria Dei Vivens Homo, Irenius, Adversus Haereses (memancarkan cahaya kemuliaan Allah penciptanya).
Sekali lagi Vox civilem societatem Vox Dei (suara masyarakat sipil adalah suara Tuhan). Selamatkan demokrasi Indonesia dari tangan para bandit-bandit demokrasi dan jangan biarkan bandit demokrasi dan ekonomi tangan kotor meraja (dan) lela di Indonesia.
Ben Senang Galus, penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta.
Baca tulisan lainnya di sini