Kupang, detakpasifik.com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur Martinus Mitar menanggapi dan memberikan klarifikasi atas pernyataan salah satu anggotanya tentang boikot sidang paripurna pada Kamis (14/7/2022).
Martinus mengatakan 21 anggota DPRD tidak hadir dalam rapat tersebut. Namun, ketidakhadiran itu bukan berarti “memboikot” seperti yang diberitakan media sebelumnya.
Adapun alasan ketidakhadiran 21 anggota dalam rapat paripurna tersebut karena sakit, sedang melakukan kerja representasi politiknya ke luar daerah, dan sebagiannya sedang memonitor proyek fisik pembangunan pemerintah dalam tahun anggaran berjalan sebagai implementasi wewenang pengawasan DPRD.
Martinus mengakui, sebagai anggota DPRD yang diberi wewenang oleh undang-undang, setiap anggota DPRD mempunyai hak untuk menyatakan apa yang dianggapnya baik dan perlu bagi kemajuan daerah, baik di dalam sidang dewan atau langsung di hadapan publik. Namun, pernyataan (boikot) itu sifatnya terbatas hanya sebagai pendapat pribadi semata.
“Pendapat itu sifatnya terbatas hanya sebagai pendapat pribadi semata. Kecuali itu disampaikan secara literal oleh anggota dalam pernyataan atau pandangan resmi fraksi partai atau partai yang bersangkutan seperti lazimnya dalam rapat dengan agenda pandangan umum fraksi,” kata Martinus dalam keterangan yang diterima detakpasifik.com, Jumat (15/7).
Karena itu, pernyataan seorang anggota DPRD Mabar tentang “boikot” bukan mewakili pernyataan resmi DPRD sebagai lembaga. Karena kewenangan itu hanya terdapat dan melekat pada ketua DPRD sebagai penanggungjawab tatalaksana kerja dan kinerja DPRD.
“Saya perlu dengan tegas mengatakan bahwa itu hanya pendapat pribadi berdasarkan interpretasi sang anggota dewan yang terhormat terhadap situasi dan keadaan kerja kemitraan antara pemerintah dan DPRD,” tegasnya.
Kritik
Sementara itu, mengenai kemitraan dan kritik, penting diklarifikasi bahwa kemitraan antara pemerintah dan DPRD itu merupakan perintah undang-undang otonomi. Karena undang-undang itu mengikat dan berlaku sebagai dasar kerja kelembagaan, maka atas dasar apapun wajib hukumnya kemitraan dibangun oleh kedua belah pihak, tanpa satu pihak menjadi lebih tinggi di atas pihak yang lain.
Dalam hubungan itulah kritik merupakan suatu hal yang lumrah dan diperlukan dalam kerja DPRD sebagai penyambung aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Kritik adalah bentuk artikulasi pandangan setiap anggota yang bisa mewakili pandangannya atau pandangan fraksinya dalam pandangan umum fraksi yang biasanya disampaikan dalam setiap jenis rapat kedewanan, rapat komisi, RDP, rapat paripurna atas soal-soal yang dinilai anggota/fraksi belum maksimal dikerjakan oleh mitranya (pemerintah).
Pemerintah sebagai eksekutor teknis administratif lapangan setiap program kerja yang sudah sedang atau akan dikerjakan pada suatu periode anggaran pembiayaan berjalan dan telah ditetapkan bersama DPRD.
Dengan kata lain, kritik ini adalah suatu yang melekat dan absah dari kewenangan anggaran, legislasi dan pengawasan yang dilimpahkan kepada setiap anggota DPRD yang diimplementasi dalam rapat-rapat bersama pemerintah dalam kerangka kemitraan tersebut.
“Karena itu kritik tidak pernah dilarang tetapi dalam kerja kedewanan DPRD, ketika kritik itu disampaikan yang penting adalah adanya kehadiran secara fisik sang anggota dalam menyampaikan kritik itu bukan ketidakhadirannya,” katanya.
Dia menjelaskan, sebagai institusi politik demokratik-dialogis representatif itu, DPRD adalah lembaga yang kerja dan kinerja bisa dilihat dan dinilai oleh siapa saja, karena akuntabilitas menjadi salah satu dasar kerja kelembagaannya.
“Tapi ketidakhadiran anggotanya dalam sebuah rapat tidak berarti sebagai bentuk ‘boikot’ atau ‘kritik’ terhadap mitranya eksekutif. Boikot sebagai kritik itu tidak dikenal dalam budaya kerja DPRD sebagai parlemen mitra eksekutif dalam menjalankan ‘pemerintahan daerah’,” kata Martinus.
(dp)