Mari kita fokus dengan pemimpin baru Kota Kupang tanpa harus membandingkannya dengan yang lain yang pasti punya kelainan sebagaimana terpantul dari makna ucapan Carnegie.
Oleh Pius Rengka, jurnalis detakpasifik.com
Usia kepemimpinan politik simpai George Hadjoh, tentu saja, belumlah setahun jagung. Dia dilantik di aula Fernandez Kantor Gubernur NTT, di Jalan El Tari, siang 22 Agustus, persis sesaat setelah Jefri Riwu Kore meninggalkan panggung singgasana kota. Tetapi, marwah pengaruh kepemimpinan politik gaya kepemimpinan George Hadjoh mulai terasa bergetar ke mana-mana.
Begitulah sedikit kesan serta merta saya, ketika saya membaca cermat sejumlah berita media online yang terakses. Di belakang kesan itu, seperti tersembul semburat optimisme, cahaya berpendar harapan kabar gembira bahwa Kota Kupang menemukan roh, jiwa atau atma kehidupan dari pemimpin yang sungguh autentik dan berdaulat atas dirinya sendiri.
Dia seorang pemimpin. Pemimpin yang menggerakkan, yang mengarahkan dan disiplin dengan arahan. Dia bukanlah pemimpin yang serta merta meninggalkan panggung birokrasi dengan kerisauan bisik-bisik entah ke mana dia pergi melancong tanpa kabar. Atau dia pergi tanpa kabar kepada siapa dia melimpahkan delegasi wewenang. Tetapi, George Hadjoh adalah simpai yang tegas melatih anak buah, disiplin dengan waktu dan memberi teladan terdepan, serta tertib menjalankan arah perubahan.
Namun, George Hadjoh, kata sejumlah sumber, memang telah sanggup memberi warna baru hanya baru memimpin tiga hari. Dia seolah memiliki pesona kepemimpinan yang memberi harapan pasti kepada semua lapisan sosial. Tetapi tidak. Saya tidak mau berkomentar banyak tentang apa kata mereka.
Apalagi jika yang dikatakan oleh para suporter dungu (useful ideot). Mungkin saya tak rela dan tak patut diri bertepuk tangan di pagi hari. Saya, sebagaimana biasanya, taat pada nasihat para diplomat dalam sirkulasi politik. “Jangan bertepuk tangan di pagi hari, karena hari masih sangat panjang”.
Tak hanya itu. Saya pun punya akses sejumlah sumber di Pemerintahan Kota. Kata sebagian besar dari mereka nyaris similar: “Memang dia berbeda”. Berbeda dengan siapa atau berbeda dengan apa? Pertanyaan itu saya urung diteruskan, karena dia telah jelas dengan sendirinya.
Kata para sumber itu, gaya kepemimpinannya tandas, tegas, lugas dan jujur. Tanpa basa basi. Kadang, kata para sumber, George Hadjoh anti basa-basi. Tidak sebagaimana menjadi sangat biasa pada pemimpin lain. George Hadjoh, tanpa tedeng aling-aling datang pagi pulang malam.
Baca juga: Kota Kupang dan Dambaan Para Warga
Dia menegur, menuding dan menghardik kepada siapa pun mungkin yang bergerak lamban, pelan, santai. Tetapi, sebaliknya, semua orang tak terkecuali, diajaknya ikut bergerak. Aparat birokrasi digerakkan, masyarakat sipil diajak serta urun rembuk untuk memerangi masalah sama yang dihadapi kota ini. Sampah.
Masalah yang tak sanggup diatasi pemimpin lama yang agak lindur dalam linglung leadership, kata mereka. Dengan nada datar saya berkomentar, ingat apa kata Dale Breckenridge Carnegie, penulis kesohor Amerika itu.
Dia pernah mengatakan: Remember there has no one like you in the world. You are unique. Artinya (terjemahan sangat bebas), sudahlah setiap orang itu unik, khas dan lain.
Mari kita fokus dengan pemimpin baru Kota Kupang tanpa harus membandingkannya dengan yang lain yang pasti punya kelainan sebagaimana terpantul dari makna ucapan Carnegie.
Thomas Carlyle
Saya suka mengutip Thomas Carlyle. Pemikiran pemikir abad 18 ini, juga suka dikutip oleh John F. Kennedy tatkala pada satu kesempatan Carlyle mengatakan, adalah lebih terhormat untuk hidup secara jantan daripada mati secara terhormat.
Kennedy, memang memakai pikiran Carlyle itu, tak hanya sebagai inspirasi yang menerangi kepemimpinannya dan gaya kepemimpinannya di Amerika Serikat, tetapi juga pikiran Carlyle dipakai sebagai credo kepemimpinan tiap kali Kennedy harus berurusan dengan kepentingan rakyat. Persis di situlah inti pentingnya hadirnya pemimpin dan gaya kepemimpinannya itu.
Pemimpin, kata Carlyle (1840), sebagai pahlawan. Great man theory, persis berawal dari pikiran Carlyle. Meski memang, jauh sebelum Carlyle mengatakan demikian, banyak pemikir besar menyebutkan bahwa pemimpin itu tidak dibuat apalagi dibuat-buat, tetapi pemimpin itu dilahirkan. Tersebutlah antara lain, Plato, Lao-tzu, Aristoteles dan juga Machiavelli.
Dalam beberapa kasus, kepemimpinan dilukiskan sebagai sebuah proses, tetapi kebanyakan teori dan riset kepemimpinan menyebutkan variabel manusia itu sendiri adalah kunci. Hal ini dapat dibaca dalam Bernard, 1926; Blake, Shepard and Mouton, 1964; Drath and Palus 1994, Fiedler, 1967; dan House and Mitchell, 1974.
Namun, asumtif bahwa great man theory pada abad 19 menerangkan kepemimpinan itu pertama harus berurusan dengan tabiat pribadi, watak individual. Tabiat pribadi dan watak individual itu terkonstruksi melalui kultur kehidupannya.
Pemimpin jujur dan berani, misalnya, selalu bukanlah produk kampus atau hasil karya mata pelajaran kepemimpinan atau latihan kepemimpinan, tetapi para pemimpin jujur dan berani adalah produk jalan hidup yang membentuk seseorang melalui kultur kehidupan.
Secara ikonik dapat disebut sebagai misal, adalah Abraham Lincoln, Winston Churchill atau Nelson Mandela. Kita semua sama tahu, Nelson Mandela dikepung kekejian penjara politik apartheid 27 tahun. Tetapi, begitu dia bebas dari penjara, justru orang pertama yang diampuninya adalah sipir penjara yang menghinanya saban hari. Karakter Mandela tentu langka. Tetapi pemimpin kuat pasti dapat kita temukan di tengah sirkuit kemelut derita manusia NTT.
Begitu pun kepemimpinan di sektor lain, semisal Jack Welch, Steve Jobs, Elon Musk, Albert Einstein, Norman Morlaug atau Stephen Hawking. Bahkan Albert Einstein, pernah diduga orang bebal, idiot, atau dungu.
Siapa pernah menduga, teori relativitasnya telah memproduksi aneka cabang ilmu pengetahuan. Meski dia kemudian sesali ketika Bom Atom Napalm di Vietnam adalah salah satu buah dari pengembangan pikiran Einstein.
Singkatnya, kepemimpinan dan gaya kepemimpinan seseorang dikonstruksi oleh tabiat dan watak pribadi yang dibentuk dan diproses dalam sejarah hidupnya. Tukang tipu muslihat tentu saja, tidak masuk dalam hitungan tulisan ini.
Bahwa mungkin saja, kita temukan ada-ada saja bapak perjanjian dalam kehidupan politik setiap hari di Kota Kupang atau di mana pun di tempat lain, tetapi orang yang sama dapat berubah menjadi bapak perjamuan terutama menjamu para suporter dungu yang melilitnya saban hari dengan janji palsu.
Maka bukan saja ada para suporter dungu yang memanah pemimpin dengan kata-kata sanjungan, tetapi juga ada para suporter penjebak yang menjebak pemimpin ke dalam lingkaran setan kebodohan dan kemudian pemimpin itu bernafas dalam lingkaran para setan.
Ada banyak ceritera, entah sungguhan atau main-main, tentang anak-anak muda yang mengatur lalulintas proyek di sebuah kota entah di mana, lalu petenteng petinting mengatur para pejabat kota untuk mengenyangkan para suporter dan permaisuri kota melalui distribusi proyek-proyek.
Bukan hanya jasalah yang ditanam, melalui tim sukses abal-abalan, tetapi jasad tanaman ditanam dengan jalan jahanam menebang hutan di tempat lain demi menghutani kota. Ceritera itu, mungkin fiktif, mungkin benar objektif. Tetapi saya selalu awas untuk tidak lekas percaya jika para pelakunya belum ditangkap dan diringkus.
Wali Kota Kupang, George Hadjoh, telah banyak mendengar. Dia telah pula menampung banyak informasi tentang Kota Kupang, justru karena dia adalah bagian dari kota ini sebagai salah satu penduduk di bilangan Liliba.
Dia bagaikan seorang pemain catur yang mengatur langkah permainan pembuka dengan sangat presisif. Menyerang. Di titik ini, seringkali orang salah menduga.
Dikira George Hadjoh akan datang dengan cara santai sebagaimana kesantaian yang pernah dirasakan banyak kalangan. George Hadjoh juga dikira akan berpikir terpilih kembali (minat reelection), sebagaimana banyak kalangan lain menampung aspirasi kalangan bawah dengan spanduk senyum di perlintasan lalu lintas, dan kumpul-kumpul identitas orang untuk menepuk horeee dan hura.
George Hadjoh adalah pemimpin dengan tugas khas. Bereskan Kota Kupang karena Kupang adalah kota bermasalah jamak. Itu saja. Jika Kota Kupang beres, rakyat pun bahagia hidup berdampingan secara damai. Kota bersih, kota pusat peradaban para manusia beradab.
Saya pasti tetap akan peduli, entah kritis atau tidak kritis, melalui aneka cara, termasuk antara lain mendatangi kantornya dan berdiskusi dengannya, dengan harapan secukupnya, siapa tahu pintu telinga ruangannya di wali kota dibuka untuk mendengar bisikan dari seseorang yang kepadanya sungguh berkenan.
Kita pernah sering beradu argumen perihal kantor bau busuk, minus ramah lingkungan, dan konstruksi yang tidak bahagia. Tak hanya nyawa, tak ada jiwa bahkan tak ada identitas.
Saya, sebagai orang sangat sahaja, cukup puas melihat jika di Kantor Walikota mulai semerbak aroma harum penuh warna dan necis di mana-mana. Para gadis cantik dan pemuda ganteng pegawai kota, selalu senyum di kulum merdeka ekspresi, menebarkan kebebasan humanis.
Akhirnya, menutup tulisan ini, saya berdoa dengan sungguh jernih meski agak pendek bahwa saya pun penduduk kota yang entah karena takdirnya selalu menjadi pelihat serius dari tepi lalu lintas kekuasaan di kota ini.
Baca juga: Tugas Berat Penjabat Wali Kota Kupang
Sebagai bekal kehidupan (vita ticum) mungkin penting dan perlu untuk sekadar mengingat makna kutipan dalam tulisan Juan J. Linz (Parties in Contemporery Dempcracies: Problems and Paradoxes, 2002) yang mengutip Diamond (1999) menyatakan: In all societies where people are free to express their preferences there is broad consensus on the legitimacy of democracy as form of government.
Salam hormat simpai.